Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Parlemen Australia mengesahkan undang-undang yang melarang anak-anak atau mereka yang berusia kurang dari 16 tahun mengakses media sosial pada Kamis, 28 November 2024. Seperti dilaporkan sejumlah media seperti Reuters dan The Verge, Jumat 29 November 2024, aturan larangan dibebankan kepada perusahaan teknologi pemilik platform media sosial seperti Meta (pemilik Facebook dan Instagram) serta ByteDance (pemilik TikTok).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-undang ini, yang dikenal sebagai Social Media Minimum Age Bill, akan mulai diuji coba pada Januari 2025 dan diterapkan penuh pada tahun berikutnya. Perusahaan yang tidak mematuhi aturan ini akan dikenai denda hingga AUD 49,5 juta atau sekitar Rp 510 miliar. Untuk menghindari pengumpulan data pribadi yang berlebihan, pemerintah Australia juga mensyaratkan platform menawarkan alternatif verifikasi usia selain mengunggah dokumen identifikasi.
Respons Pro dan Kontra
Meta menyatakan bahwa mereka menghormati hukum Australia, tetapi juga menyatakan khawatir tentang proses pembuatannya yang dianggap terburu-buru tanpa mempertimbangkan bukti yang ada. “Tugas selanjutnya adalah memastikan ada konsultasi produktif mengenai semua aturan yang terkait dengan undang-undang ini untuk menghasilkan hasil yang teknis dan layak,” kata perwakilan Meta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Snapchat juga menyatakan akan mematuhi aturan ini tetapi sama, menyampaikan kekhawatiran serius tentang bagaimana aturan ini akan diimplementasikan. “Kami akan bekerja sama dengan pemerintah selama masa implementasi 12 bulan untuk mengembangkan pendekatan yang seimbang,” ujar perwakilan Snap.
Perwakilan TikTok dan X belum memberikan komentar terkait hal ini. Sementara itu, Google yang dikecualikan dari aturan ini karena penggunaannya luas di sekolah, seperti YouTube, menyarankan agar UU ditunda hingga uji coba verifikasi usia selesai.
Pandangan kontra juga datang dari kelompok advokasi privasi dan hak anak muda. Mereka menyampaikan bahwa aturan ini berpotensi memutus akses kelompok rentan, seperti remaja LGBTQIA, dari jaringan dukungan mereka.
Seorang senator dari Partai Hijau, Sarah Hanson-Young, menyebut aturan ini sebagai upaya generasi tua untuk mengendalikan internet. “Ini adalah generasi tua yang mencoba memberi tahu generasi muda bagaimana internet seharusnya bekerja agar mereka merasa lebih baik,” ujarnya.
Namun, larangan ini mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat di Australia. Sebuah survei menunjukkan 77 persen warga negeri kanguru itu mendukung kebijakan ini. Orang tua, seperti Ali Halkic, yang putranya meninggal akibat perundungan siber, menyebut langkah ini penting. “Menetapkan batas usia dan memberikan kendali kembali kepada orang tua adalah langkah awal,” katanya.
Sementara itu, Enie Lam, seorang siswa di Sydney berusia 16 tahun berada di kelompok kontra. Dia menilai larangan ini dapat menimbulkan efek sebaliknya. “Ini hanya akan menciptakan generasi muda yang lebih mahir secara teknologi dalam mengakali aturan ini. Itu tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan,” ucap dia.