Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Media sosial seperti TikTok kini jadi saluran anak muda untuk mengakses berita. Temuan terbaru Pew Research Center menunjukkan empat dari sepuluh kalangan dewasa di Amerika Serikat saat ini mendapat berita dari TikTok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riset bertajuk “More Americans - especially young adults - are regularly getting news on TikTok” itu mensurvei sebanyak 10.658 warga AS usia 18 tahun ke atas pada 15 Juli hingga 4 Agustus 2024. Riset menunjukkan, 17 persen orang dewasa di AS mengatakan secara reguler mendapatkan berita dari platform video pendek tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumlah ini berkembang pesat dari riset serupa yang dilakukan pada 2020, bahwa hanya 3 persen responden yang mengakses berita dari TikTok. Bahkan, temuan itu menunjukkan, 52 persen pengguna rutinnya secara reguler mendapatkan informasi dari TikTok.
Pengguna TikTok mengalami pertumbuhan paling pesat dalam aspek mengakses berita dari platform itu sendiri. Tumbuh 30 persen sejak 2020.
Sementara beberapa platform seperti Instagram hanya tumbuh 12 persen, Twitter stagnan di angka 59 persen, bahkan Facebook mengalami penurunan dari 54 persen pada 2020 menjadi 48 persen pada 2024.
Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Akademisi sekaligus pengamat media massa, Ignatius Haryanto, mengungkapkan belum menemukan riset serupa di Indonesia. Namun, menurutnya kondisi semacam itu tidak bisa dihindari.
“Saat ini konsumsi media sosial di Indonesia kan sangat tinggi, rata-rata mungkin bisa enam jam per hari. Sehingga kemungkinan besar mendapat berita dari media sosial dahulu,” kata Ignatius saat dihubungi Tempo, Ahad, 6 Oktober 2024.
Berdasarkan laporan “Digital 2024: Indonesia” yang dirilis We Are Social, warganet Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 7 jam 38 menit dalam sehari untuk berselancar di internet. 3 jam 11 menit di antaranya digunakan untuk mengakses media sosial.
Menurutnya, tren itu jelas berpengaruh pada bisnis media massa. Hal ini sekaligus membuat media massa di Indonesia memiliki tugas besar untuk memperbaiki strategi di media sosial.
Ignatius berpendapat, setiap media perlu meningkatkan engagement dan strategi distribusi konten di media sosial. Tujuannya, agar warganet bisa mendapatkan informasi yang utuh dari pemberitaan di portal-portal media.
Pasalnya, kata dia, informasi yang beredar di media sosial acapkali tidak terverifikasi. Sehingga, para pengguna internet di Indonesia rentan terpapar misinformasi.
Pilihan Editor: Mengapa Aplikasi Temu Dianggap Berbahaya jika Masuk Indonesia?