PERAN bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa tak dapat dipungkiri lagi. Ia menjadi jembatan komunikasi bagi ratusan puak yang memperkaya bumi tercinta ini. Namun, tentu tak ada gading yang tak retak. Bahasa Indonesia ternyata kurang mampu mengantar kita untuk mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi yang deras mengalir di bagian dunia yang lain. Boleh dikata, bahasa Inggrislah yang kini menjadi jembatan komunikasi antarbangsa. Maka, berbagai buku dan media yang menghimpun segala ilmu itu pun banyak tersusun dalam bahasa ini, yang sulit dimengerti oleh kebanyakan bangsa Indonesia. Wajar kalau upaya menerjemahkannya ke bahasa Indonesia pun lantas menjadi kebutuhan mendesak. Apa daya, upaya menerjemahkan itu ternyata tak mudah. Sebab, seorang penerjemah piawai hanya mampu menerjemahkan 800 hingga 1.500 kata per hari. Padahal, yang harus diterjemahkan semakin lama semakin banyak. Di Selandia Baru, yang berpenduduk 3,2 juta jiwa, misalnya, diterjemahkan 2 juta kata pada 1983. Di Kanada, yang berpenduduk 25 juta, biro penerjemah departemen luar negerinya saja menerjemahkan 300 juta kata per tahun. Sementara itu, Masyarakat Ekonomi Eropa menerjemahkan 1 milyar kata setahun. Wajar kalau Dr. Bambang Kaswanti Purwo, pakar dari Lembaga Bahasa Universitas Katolik Atmajaya (LBUKA), mengatakan "Penerjemahan cara tradisional tak akan mampu mengejar peningkatan ini." Alhasil, harus ditemukan cara lain. Dan itulah yang dibicarakan dalam Simposium Linguistik dan Teknologi Komputer di Universitas Katolik Atmajaya, Rabu dan Kamis pekan lalu. Acara yang diadakan dalam rangka memperingati 60 tahun Sumpah Pemuda ini merupakan kerjasama antara LBUKA, Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi (BPPT) dan pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang, diwakili oleh Pusat Kerja Sama Internasional untuk Komputerisasi (Center of the International Cooperation for Computerization, CICC), menampilkan pengalaman Jepang dalam melakukan penerjemahan dengan komputer. Makalah berjudul Penerjemahan Oleh Mesin (Machine Translation) dibacakan oleh Hiroyuki Kaji, pakar CICC dari Tokyo. BPPT pun tak mau ketinggalan. Instansi ini menunjukkan karya nyata. Berupa program yang membuat sebuah komputer pribadi (PC) mampu menjadi mesin penerjemah bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Program yang dibuat oleh Ir. Darmawan Sukmadjaja, M.Sc. ternyata cukup memukau peserta simposium. Sebab, program ini ternyata mampu menerjemahkan secara tepat, kendati susunan kata dalam kalimat diubah-ubah. Misalnya saja ketika dimasukkan kata The man with gun robbed the bank in the morning, maka dari layar komputer terbaca terjemahannya "Pria berpistol merampok bank di pagi hari". Lantas masukan diubah menjadi The man robbed the bank in the morning with gun. Dan komputer menerjemahkannya menjadi "Pria merampok bank di pagi hari dengan pistol". Namun, gelak tawa muncul ketika masukan yang diberikan adalah The man with guns. Sebab, terjemahan komputer ternyata berbunyi "Pria berpistol-pistol". Inilah salah satu contoh sulitnya membuat program komputer untuk menerjemahkan dengan baik. Karena peraturan bahasa ternyata rumit dan sering banyak terdapat perkecualian. Padahal, komputer justru menonjol kelebihannya jika peraturan jelas dan konsisten dijalankan. Karena itu, tak aneh upaya membuat program yang sempurna belum juga berhasil. Bahkan, "Komputer mustahil dapat menghasilkan terjemahan berkualitas tinggi yang dilakukan sepenuhnya secara otomatis," kata Bambang Kaswanti Purwo. Terutama jika menerjemahkan karya sastra yang penuh metafora dan idiom itu. Pesimisme Bambang bukannya tanpa alasan. Sebab, upaya menerjemahkan dengan komputer sudah dicoba sejak 1954. Yakni dengan dimulainya program mencapai "terjemahan berkualitas tinggi yang dilakukan sepenuhnya otomatis" (fully automatic high quality translation -- FAHQT), di Universitas Georgetown, AS. Proyek ini dibantu IBM dan berjalan selama 12 tahun, serta memakan biaya 20 juta dolar sebelum dihentikan. Ternyata, cuma dapat diciptakan komputer yang hanya memiliki perbendaharaan 250 kata dan menerjemahkannya dari bahasa Rusia ke Inggris berdasarkan enam kaidah bahasa. Kegagalan ini menyebabkan Dewan Penasihat Pemroses Bahasa Otomatis (Automatic Language Processing Advisory Committee -- ALPAC) mengimbau agar jangan menanam modal pada proyek ini lagi. Sebab, penerjemahan oleh mesin ini ternyata lebih lambat, kurang cermat dan dua kali lebih mahal daripada terjemahan oleh manusia. Bukan berarti Amerika lantas tak memikirkan masalah penerjemahan. Hanya saja, mesin yang dibuat kemudian dirancang sebagai alat bantu bagi orang yang melakukan penerjemahan. Maka, mesinnya pun disebut MAT (Machine Aided Translation) atau CAT (Computer Assisted Translation). Kini, dengan mewabahnya komputer pribadi (PC), mulai dipasarkan program penerjemahan dari berbagai bahasa. Dengan menggunakan CAT atau MAT ini produktivitas seorang penerjemah dapat meningkat empat kali lipat. Sayangnya, program yang tersedia biasanya dari bahasa negara maju dan populer seperti Inggris, Prancis, dan Jerman. Ini tentu menyangkut alasan komersial belaka. Siapa yang akan membeli program penerjemahan berbahasa Indonesia? "Tak adanya perlindungan hak cipta menyebabkan orang enggan membuat program," kata J.P. Soebandono, Presiden Direktur PT USI, yang mengageni IBM di Indonesia. Untunglah, pemerintah Jepang membantu. Sebuah proyek kerja sama untuk membuat mesin penerjemah bahasa Jepang-Indonesia dan sebaliknya ditandatangani November tahun lalu. Dalam kerja sama yang berlangsung hingga 1992 itu juga dilibatkan Malaysia, Muangthai, dan Cina. Dan simposium yang baru berakhir itu agaknya merupakan langkah awal dari perjalanan yang panjang. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini