KERAPU III berlayar terseok di antara gelap, angin kencang, dan gulungan ombak Selat Ombai. Darmaga Tenau Kupang telah tiga jam ditinggalkan. Namun, perjalanan untuk mencapai bandar Larantuka, Flores, masih bersisa 12 jam ketika nakhoda Gafur Likur dikejutkan oleh sebuah laporan, "Kapal bocor, air masuk ke ruang mesin." Nakhoda kawakan itu tak panik. Tanpa diketahui penumpang, Gafur mengerahkan anak buahnya untuk memompa air laut yang menyusup ke badan kapal, lewat dinding di buritan. Rupanya, kebocoran itu sulit ditanggulangi. Lantas, "Putar haluan, kita kembali ke Kupang," perintah Gafur pada Juru mudi. Kapal pun dikebut Alhamdulillah Kerapu III selamat sampai tiba di Kupang, pukul 22.00 WITA, 20 Oktober lalu. Namun, para penumpang tak urung melemparkan cemooh dan gerutuan. Sejak dioperasikan April lalu, KMP (Kapal Motor Penyeberangan) Kerapu III, yang berbobot 133 ton itu, memang telah mengundang sejumlah omelan. Badan kapal yang berukuran 9,5 x 34 meter itu mudah terguncang jika diserempet ombak. Yang lucu, kapal ini jalannya nungging. Keruan saja, baling-baling di buritan terangkat dan tak sepenuhnya terendam air. Alhasil, daya dorong mesin menyusut. Serentetan perkara inilah yang konon membikin tubuh kapal lebih mudah terguncang dan bergetar. Pada situasi demikian, "Duduk salah, berdiri lebih salah," tutur seorang mantan penumpang. Lantas, mabuk laut menjadi pemandangan sehari-hari. Getaran itu menghantam juga tiang dudukan radar, tiang lampu sorot, dan pagar dek, yang patah. Tentang bocornya dinding kapal itu, ada yang menuding dipakainya pelat baja 7 mm pada dinding kapal sebagai penyebab, padahal untuk menghadapi ombak di NTT seharusnya dipakai pelat 10 mm. Kerapu III memang merupakan kapal produksi dalam negeri. Konstruksinya dibangun di galangan PT Dok dan Perkapalan Surabaya, dan rampung Februari lalu. Oleh Biro Klasifikasi Indonesia dia dikategorikan sebagai kapal pantai. Selesai diuji, Kerapu III diserahkan kepada pengelolanya: Perum Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP), yang berada di bawah Ditjen Perhubungan Darat. Kerawanan pada Kerapu III itu rupanya terdengar sampai Jakarta. September lalu, Inspektorat Jenderal (Irjen) Departemen Perhubungan menurunkan sebuah tim khusus untuk menilai kondisi kapal. Setelah diperiksa selama 10 hari, tim itu menyimpulkan bahwa Kerapu III tidak laik laut. Namun, kapal itu ternyata tetap dipaksa melayari jalur rutinnya. Boleh jadi, jalur Timor-Flores cukup ramai, sehingga tak mungkin ditinggal begitu saja. Maka, yang dilakukan oleh pengelolanya hanyalah perbaikan tambal sulam. Buritan Kerapu III dibanduli beban 30 ton -- terdiri atas drum berisi air, dan besi beton -- agar tubuh kapal bisa rata. Rupanya, upaya itu tak banyak menolong. Guncangan tetap saja terjadi. Ujung-ujungnya, seperti dialami Kerapu III pada 20 Oktober malam itu, lunas kapal mengalami kebocoran. Apa yang salah? Dari segi rancang bangun, menurut Direktur Pelayaran dan Perkapalan Ditjen Perhubungan Laut, Sulaiman, sesungguhnya Kerapu III laik laut. Rancang bangun kapal disetujui direktorat ini setelah gambar detailnya diperiksa dan dianggap tanpa cacat. Pokoknya, "Tak ada masalah," ujar Sulaiman kepada Linda Djalil dari TEMPO. Bahwa kemudian Kerapu III berkelakuan aneh, kata Sulaiman, "Pemakaian material kapal dan mutu pengerjaannya pantas dipertanyakan." Perubahan harga bahan baku, misalnya, memang bisa mendorong pihak kontraktor tidak memenuhi bestek. PT Dok dan Perkapalan Surabaya tentu saja tak mau dituding sebagai biang kerok. Dalam membangun Kerapu III, perusahaan ini merasa telah memenuhi ketentuan pembangunan kapal, sebagaimana dipersyaratkan oleh Direktorat Pelayaran dan Perkapalan serta Badan Klasifikasi Indonesia (BKI). Sertifikat laik laut pun telah dikeluarkan oleh BKI. "Kalau tak laik laut, mana mungkin dioperasikan," ujar Ir. Djoko Rukmono, Dirut PT Dok dan Perkapalan Surabaya. Djoko mengakui bahwa tebal pelat dasar kapal hanya 7 mm. Tapi, "itu sudah lebih tebal dari ketentuan standar yang 6,25 mm," tambah Djoko. Tentang posisi kapal yang nungging di kala berjalan, kata Djoko, penyebabnya adalah beban muatan yang tidak merata. Para penumpang lebih suka menumpuk di depan, sambil membawa barang bawaannya. Tentu saja, beban di hidung jadi tak seimbang dengan beban di pantat. Akibatnya, buritan terangkat, dan kapal berjalan nungging. Pendapat Djoko ini sejalan dengan penilaian Direktur ASDP, Ditjen Perhubungan Darat, Ir. J.H.L. Manuaya. "Kapal sebesar Kambuna pun bisa nungging kalau muatan numpuk di bagian depan," ujarnya. Namun, Manuaya mengakui, pada tubuh Kerapu III itu terdapat getaran yang berlebihan. Getaran kuat ini, menurut Manuaya, "bisa menimbulkan keretakan pada dinding kapal." Sumber getaran itu mesin dan propeler. Namun, seberapa besar getaran yang akan timbul pada sebuah kapal, "memang sulit diperhitungkan," tambahnya. Kesulitan perhitungan getaran itu, menurut Manuaya, lantaran terlalu banyak komponen yang harus dilibatkan. Sebab, getaran yang terjadi sesungguhnya merupakan interaksi antara sumber getaran, konstruksi, dan material yang dipakai. "Memperhitungkannya sulit, tapi penanganannya mudah," kata Manuaya. Caranya, dicari titik yang paling rawan, di mana getaran terasa paling kuat. Perbaikan konstruksi mesti dilakukan pada lokasi itu. Tidak harus dengan reparasi berat. "Mungkin hanya dengan menambah batang penguat, getaran itu bisa diredam," ujarnya. Namun, yang barangkali sulit diredam adalah keinginan Perum ASDP untuk tetap mengoperasikan Kerapu III pada jalur ramai Kupang-Larantuka. Padahal, seperti disebt Djoko, Kerapu III sesungguhnya masuk kelas kapal pantai, yang hanya cocok untuk pelayaran pendek dengan masa tempuh 2-3 jam. Untuk jarak Kupang-Larantuka? "Bisa, sih, bisa, tapi kurang pas," kata Djoko. Putut Tri Husodo (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini