BAYANGKAN: sebuah pertunjukan wayang orang yang didukung oleh sejumlah penari kelas satu. Mereka bukan cuma penari grup Bharata yang terkenal, seperti Kies Slamet, tapi juga penari Jawa bermutu internasional, seperti Sardono W. Kusumo, Kardjono, Sulistyo, dan Sentot. Ditambah I Wayan Diya, seniman tari dari Bali itu. Apa tidak luar biasa? Memang luar biasa. Apalagi dalam daftar penari juga ada nama-nama yang "mencurigakan": misalnya bekas Menteri Penerangan H. Budiardjo, bekas Dirjen Bea Cukai Slamet Danusudirdjo, serta bekas Dirjen Radio, Televisi & Film dan sastrawan Umar Kayam. Ini ada apa? Jawabnya: sebuah pertunjukan wayang orang dengan lakon Rama Bargawa (seorang pendeta gagah yang mendendam pada kasta kesatria), di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki Jumat malam. Pertunjukan satu malam itu dimaksudkan untuk memperingati salah satu tokoh Dewan Kesenian Jakarta yang banyak berjasa dalam seni tradisional, D. Djajakusuma. Kalau bukan untuk itu, mustahil para bintang tenar dan aneh tadi mau ikut, biarpun dibantu sejumlah orang lain: Dr. Edi Sediawaty, sarjana arkeologi dan kritikus tari, (yang menarinya masih bagus), guru balet Farida Feisol, (yang hampir tak pernah menari Jawa), dan sutradara dan guru teater Indonesia modern Pramana Padmadarmaya (yang pengalamannya di luar pentas adalah jadi Jend. Ahmad Yani dalam film Pengkhianatan G-30-S). Hasilnya adalah satu kombinasi wayang orang yang hebat (apalagi kalau melihat Kardjono menari) dan kadang menyimpang dari naskah. Slamet Danusudirdjo, Umar Kayam, H. Budiardjo, Farida Feisol Wayan Diya, semua jadi raja raksasa yang mengeroyok tapi ternyata dihabisi oleh Rama Bargawa. Tentu saja perangnya singkat, bukan karena Bargawa sakti, tapi agar badan para "pinisepuh" ini tak pegal linu karena banyak bergerak. "Saya kok seperti pernah ketemu dengan baginda ini," kata Resi Budiardjo, melihat satu-satunya raja yang memakai kaus -- mungkin takut masuk angin. "Tentu," kata Raja Pramana dalam bahasa Jawa tinggi dengan takzimnya. "Wong itu Mas Kayam." Raja Slamet Danusudirdjo yang masih gagah menegur Raja Kayam, kenapa rambutnya panjang. Jawab Raja Kayam, dengan bahasa Jawa raja-raja: "Sebabnya salon tutup." Balik Raja Pramana bertanya: "Jadi, Baginda Slamet Danusudirdjo ini dari dirjen naik jadi narendra?" "Inggih," jawab Si Pandir Kelana. Semua hadirin terkekeh-kekeh, mungkin juga Dubes AS Paul Wolfowitz, yang disertai istri dan anak-anaknya. Perang hampir mulai. Tiba-tiba berbunyi peluit dan muncul satu raksasa kurus yang antara lain pakai kimono. Dia menggunakan bahasa yang tak jelas: bahasa Jawa dengan logat Jepang atau bahasa Jepang logat Jawa. Pokoknya, dia Sardono W. Kusumo. Dia juga kena pukul Rama Bargawa, mati sambil berteriak: "Wayang telat." Sardono, yang baru saja tiba dari Solo, muncul mendadak ke panggung -- bahkan tak diduga sebelumnya oleh para pemain lain, yang sejenak menebak-nebak siapa sebenarnya di balik make-up tebal raksasa kurus yang berkaca mata hitam ini. Tapi fungsinya cukup penting: ketika Raja Kayam kena pukul dan jatuh, mahkotanya copot. Raksasa kurus berkimono itu pun lalu bangun sebentar dari duduknya, lalu memasangi kepala Raja Kayam dengan mahkota. Kekecilan. Sebab, ternyata itu mahkota Ratu Farida Feisol, yang juga tumbang kena busur Rama Bargawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini