PARA deregulator hendaknya sadar bahwa kegiatannya melawan arus kebudayaan Indonesia. Kebudayaan kita bernafsu mengatur segala esuatu di kolong langit. Kita terlalu suka pada ketertiban, dan yakin bahwa ketertiban hanya dapat terlaksana bila diatur. Sebaliknya, para deregulator lebih suka pada pertumbuhan, dan yakin bahwa pertumbuhan lebih terjamin dalam keadaan bebas dari peraturan yang menjerat. Itu sebabnya para deregulator kita melawan arus. Orang yang melawan arus biasanya waspada dua kali lipat, dan ingin menghasilkan kera yang sempurna dua kali lipat. Ini tidak tercermin dalam deregulasi di bidang penanaman modal. Hasilnya adalah kelesuan pemodal dan situasi penanaman modal yang istirahat di tempat. Bulan Desember tahun lalu, pemerintah mengeluarkan suatu peraturan yang bermaksud memberi kemudahan kepada para calon penanam modal. Peraturan tersebut mengizinkan perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang sudah beroperasi di Indonesia menanamkan modalnya dalam suatu perusahaan Indonesia. PMA yang berminat boleh memegang saham maksimal 80% dari seluruh saham yang ada. Sisanya 20% harus dipegang pihak Indonesia. Mayoritas "asing" ini harus berubah menjadi minoritas 49% dalam waktu 15 tahun. Dari segi perimbangan saham, "kemudahan" ini merugikan PMA. Seandainya perimbangan saham semula dalam PMA sudah mencapai 70% asing dan 30% Indonesia, maka perusahaan Indonesia yang 80% dari sahamnya dibeli oleh PMA tidak dapat dikatakan 80% dimiliki asing. Yang sebenarnya dimiliki asing hanya 56%, yaitu 70% dari 80%. Sisanya adalah milik orang Indonesia, baik partner Indonesia di PMA maupun partner Indonesia dalam perusahaan Indonesia yang sahamnya dibeli. Dengan demikian, pada permulaan saja perusahaan Indonesia yang dibeli tersebut sudah 44% dimiliki pihak Indonesia, kalau tidak sahamnya, ya keuntungannya. Ditinjau dari sudut pandangan asing, jelas akan jauh lebih untung apabila penanaman modal dilakukan secara langsung dari luar negeri. Dengan demikian, setidak-tidaknya si asing bisa memulai usaha patungannya dengan mayoritas 80%, suatu mayoritas yang bisa dipertahankan selama 15 tahun. Dari segi perpajakan, "kemudahan" ini menghukum PMA. Katakanlah, keuntungan perusahaan Indonesia yang dibeli sahamnya adalah 1 juta dolar AS setahun. Katakanlah pula, dari jumlah itu 800.000 dolar merupakan bagian keuntungan PMA. Jumlah ini langsung dipotong pajak perseroan 35% sisanya tinggal 620.000. Sebelum jatuh ke tangan PMA, jumlah yang terakhir ini dipotong 15% pajak dividen, sehingga menghasilkan sisa bersih 527.000 dolar. Pada akhir tahun, jumlah ini dikenai pajak perseroan sekali lagi sebesar 35% atau 184.450 dolar. Pajak ini dipotong jumlah pajak dividen yang telah dibayar sebesar 15%, sehingga pajak perseroan efektifnya adalah 91.450 dolar. Sisa bersih yang jatuh ke tangan PMA adalah 424.550 dolar. Dari keuntungan 800.000 dolar jatuh sampai 425.550 dolar itu berarti pajak efektif sebesar 46%, atau 16% lebih tinggi dari pajak yang dikenakan terhadap penanam modal langsung dari luar negeri. Kalau kemudian peraturan itu ditafsirkan sedemikian rupa sehingga PMA hanya boleh menanam modal dalam perusahaan Indonesia yang bidang kegiatannya tidak tertutup bagi penanam modal asing, maka habislah semua pretensi "kemudahan". Sebutan obstruksi atau hambatan penanaman modal barangkali lebih cocok buat peraturan semacam itu. Apa gerangan sebab pejabat yang cerdas tiba-tiba bisa mengeluarkan peraturan seperti itu? Kemalasan tidak mungkin menjadi sebab. Konon, beberapa pejabat deregulator masuk kantor pukul 07.30 WIB dan pulang ke rumah sekitar pukul 01.00 pagi keesokan harinya. Juga, kebodohan tak mungkin menjadi sebab: banyak pejabat pada tingkatan setinggi itu mempunyai berbagai gelar dan perguruan tinggi luar negeri. Saya kira, sebabnya lebih banyak terletak pada hakikat kondisi kepejabatan itu sendiri. Kondisi itu menunjukkan involusi yang sudah lanjut. Kalau kita saban hari bergelimang dalam kepejabatan, bergaul sosial dan resmi dengan pejabat lain, membuat peraturan bersama pejabat lain berdasarkan masukan pejabat lain pula, lambat laun kita akan mengalami pertumbuhan ngurek ke dalam atau involusi. Seperti kuku jempol kaki yang tumbuh masuk ke dalam daging kaki, involusi kepejabatan juga merupakan penyakit. Gejalanya yang paling menonjol adalah jam kera yang melebihi 10-12 jam sehari, sulit ditemui oleh nonpejabat, curiga pada masukan yang berasal dari luar lingkungan atau satelit lingkungan kepejabatan, dan kepercayaan yang berlebihan pada laporan resmi. Peraturan permodalan hasil deregulasi Desember 1987 adalah produk dari involusi pejabat. Bagaikan jendela pengintip ke dalam dunia birokrasi, produk ini memberikan tontonan langka bagi kita tentang dunia barisan meja-meja dan orang-orang di baliknya yang sedang sakit. Kasihan juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini