YONA Paulina harus menunggu dua bulan ketika menyelesaikan tugas akhirnya, tahun lalu. Maklum, komponen elektronik microchip yang dirancangnya harus difabrikasi di sebuah pabrik di Inggrin. Mahasiswi (ketika itu) ITB Jurusan Teknik Elektro ini hanya mengirim disket berisi rancangan rangkaian yang dibuatnya di layar PC. Di Inggris, program itu digunakan untuk membuat chip (TEMPO 12 November 1988). Bagi pengikut jejak Yona, masa tunggu ini mungkin tak perlu lagi. Pasalnya, kini telah dipasarkan chip multiguna yang biasa disebut programmable Logic Device (PLD). Ini adalah chip yang fungsinya dapat diubah-ubah sesuai dengan program yang dimasukkan ke dalamnya. Untuk mudahnya, PLD ini dapat diumpamakan seperti balok kayu bahan baku seorang pematung. Bagian balok yang tak diperlukan akan dibuang oleh si pematung hingga tercapai bentuk yang diinginkan. Dalam hal PLD, yang dibuang adalah hubungan antara "gerbang" elektronik yang terdapat di dalamnya. Selain itu, kehebatan PLD adalah kemampuannya untuk di rogram berulang-ulang. Jadi, kalau diumpamakan balok kayu tadi, seolah-olah kayu yang tak sengaja dipahat dapat dilem kembali dan dibuat menjadi patung yang lain. Alhasil, untuk membuat sebuah chip dengan kegunaan tertentu, dapat dilakukan dengan membuat rancangan itu di komputer Pribadi (PC). Kemudian sebuah PLD diamnil dan dimasukkan ke dalam boks khusus pemrograman yang tersambung ke PC. Dan, dua menit kemudian, PLD itu sudah menjadi chip seperti yang dirancang di PC tadi. Ini jelas sebuah terobosan baru bagi para pakar mikroelektronika. Sebab, PLD jauh lebih murah daripada meminta pabrik membuat chip sesuai dengan rancangan, yang biasanya makan ongkos sampai sekitar Rp 80 juta itu. Adapun PLD, menurut majalah Business 17 April 1989, harganya mungkin tak sampai Rp 200 ribu sebuah. Jadi, akan lebih murah jika hanya membuat sampai seribu buah. Kalau membuat secara masal, tentu lebih murah memesan ke pabrik chip. Namun, ada juga kemungkinan PLD masih menguntungkan dalam produksi masal. Yakni bila produk yang dihasilkan yang menggunakan chip sebagai otaknya diperkirakan akan mengalami pengembangan. Misalnya saja komputer pribadi ataupun komputer untuk kebutuhan khusus. Bila ternyata ditemukan rangkaian elektronik yang lebih baik, maka pemutakhiran dapat dengan mudah dilakukan. Yakni dengan mengirim disket berisi rangkaian yang baru itu ke konsumen, atau meminta chip di konsumen untuk diprogram kembali. Selain itu, kehadiran PLD tentu akan merangsang para insinyur untuk lebih kreatif. Sebab, membuat chip untuk keperluan khusus menjadi semakin mudah dan murah. Yang tetap mahal adalah kreativitas perancangnya, tentu berdasarkan ilmu yang terdapat di otaknya juga. Program ini memang yang mahal. Untuk PLD yang sederhana, yang tak dapat dihapus, harganya di Indonesia Rp 6.000 sampai Rp 8.000 sebuah. Tapi programnya, menurut Dr.Ir. Soegijardjo Soegijoko, mungkin seratus kali lipatnya. Soegijoko, pakar pada laboratorium mikroelektronika ITB, tak merasa asing lagi dengan kehadiran PLD. "Tapi yang dapat dihapus belum sempat kami tangani," katanya kepada TEMPO. Di laboratoriumnya -- yang sudah tiga tahun ini menangani perancangan chip -- PLD sederhana itu biasanya dimanfaatkan untuk melindungi program dari kemungkinan dibajak. Pembajakan program memang merupakan ancaman besar bagi para pakar mikroelektronika. Sebab, di Amerika Serikat saja, yang mempunyai perangkat hukum perlindungan karya kreativitas, ternyata pembajakan program cukup banyak terjadi. Pada tahun 1986 misalnya, diperkirakan 75% dari 200 juta program yang beredar berasal dari pembajakan. Dengan PLD, dapat dibuat chip yang tugasnya khusus membuat program sulit dibajak karena tak dapat diintip. Dan ini jelas menguntungkan produsen. Sebab, selain karyanya tak dapat dicuri, konsumennya akan bergantung pada produsen untuk pengembangan perangkatnya. Ini, menurut Soegijoko, memang merupakan trend yang sedang berlangsung di dunia teknologi canggih. "Karena tak dapat membaca isinya, konsumen akan bergantung terus pada si pembuat program," katanya. Dan semakin rumit program yang dibuat, semakin besar ketergantungan yang terjadi. Padahal, kecenderungan program yang ada memang semakin pelik. Maklum, selain tuntutan kebutuhan yang terus menaik, kapasitas PLD juga semakin besar. Yang sekarang beredar di pasar, misalnya, sudah berkapasitas 9.000 gerbang. Padahal, microchip ITBME7 yang dirancang Yona Paulina Siregar dan Mervin Tanguar Hutabarat hanya mempunyai 1.440 gerbang, kendati mempunyai empat fungsi (TEMPO 12 November 1988). Maka, dalam upaya memutus ketergantungan ini, Soegijoko berpendapat pabrik chip harus didirikan di Indonesia. "Sebab, kalau kita berhenti hanya pada perancangan, kita akan tetap bergantung pada orang lain," katanya. Sementara pabrik belum berdiri, tentu PLD ini dapat dimanfaatkan untuk merealisasikan pembuatan chip sesuai dengan rancangan yang diinginkan. Mudah-mudahan dengan demikian, semakin banyak mahasiswa elektro yang dapat mempercepat masa studinya.Sigit Haryoto (Bandung) & Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini