A TIME OF DESTINY Pemain: William Hurt, Timothy Hutton, Melissa Leo Cerita: Gregory Nava, Anna Thomas Musik: Ennio Morriccone Sutradata: Gregory Nava JOSEPHINE (Melissa Leo) gadis Amerika keturunan Italia, pada saat Perang Dunia II berlangsung, diam-diam kawin dengan pacarnya Jack. Jorge, ayahnya, berang. Ia menyusul putri tercinta itu dan membawanya pulang. Dalam perjalanan pulang, diburu Jack (dimainkan Timothy Hutton), mobil yang dikendarai Jorge jatuh dan menakibatkan kematiannya. Kecelakaan itu melahirkan dendam dalam hati Marty (diperankan William Hurt), kakak Josephine. Dendam itu dibawanya ke dalam medan perang. Bahkan terus dipupuknya sampai perang selesai. Ia menunggu Jack pulang dan hendak menghabisinya. Padahal, selama perang, mereka berdua telah sempat menjadi sahabat. Melodrama ini adalah sebuah kisah cinta yang terlambat lahir. Sebenarnya ia memenuhi persyaratan formula film laris di tahun 50-an. Ada cinta murni dari seorang dara yan suci sampai ke malam pernikahannya. Ada suami yang membawa cincin kawin ke medan perang dan setia seratus persen. Ada perang yang memisahkan cinta. Kemudian ada ayah yang tak setuju putrinya memilih sendiri suami. Ada masalah keluarga. Air mata, tinju, kemudian darah. Toh semuanya berakhir dengan kebahagiaan. Bagaimana mungkin menghidangkan cerita romantis semacam itu pada masa orang sudah menuturkan cinta dengan cara seperti dalam film The Graduate, Last Tango in Paris, Love Story. About Last Night, Children of the Lesser God dan kemudian Fatal Attraction? Karena cinta agaknya sudah menjadi lebih pelik dan keras? Tak pelak lagi ini sebuah nostalgia. Kesibukan dunia film yang sudah makin panjang sejarahnya. Sebagaimana orang kadangkala rindu mendengarkan kembali lagu-lagu tua. Membaca kembali buku-buku klasik. Atau kangen melihat bagaimana to be or not to be diucapkan oleh Hamlet di panggung. Orang rindu juga kepada adegan-adegan film terkenal di masa lalu. Ada keinginan untuk bernapas dari persoalan-persoalan masa kini yang sesak. Ketika cinta tidak lagi murni, tetapi sudah campur-baur dengan bisnis dan kepentingan-kepentingan lain. Cinta suci, dendam murni, dan sebagainya, yang merupakan bumbu kisah lama teringat kembali, sebagai "lepas lelah". Film di Amerika sudah menjadi semacam dunia kecil. Film-film tua tidak hancur di peti, tetapi masih terus diputar ulang berkali-kali. Di salah satu channel tv misalnya, bahkan ada pemutaran film-film tua setiap hari, lengkap dengan sedikit pengantar, sehingga generasi baru/muda AS tetap dapat menikmati apa yang sudah dinikmati generasi sebelumnya. Nostalgia lewat film itu tidak hanya menjadi "permainan" kaum tua, tapi juga bisa dinikmati oleh generasi berikutnya. Walhasil, bisa menjadi jembatan saling menatap antara generasi tua dan generasi muda. Dalam film A Time of Destiny ini misalnya, bukan kebetulan adegan terakhir berlangsung di atas menara gereja di antara lonceng-lonceng besar yang sedang berkelontangan. Adegan tersebut langsung akan mengingatkan adegan puncak dalam film Vertigo, salah satu karya utama Alfred Hitchock -- dewa film suspense Amerika -- yang dibuat tahun 1958. Adegan "klise" tersebut jelas sebuah nostalgia yang pasti akan membawa keplok tangan penonton yang kenal betul perkembangan film Amerika -- khususnya yang pernah menonton Vertigo. Banyak klise yang lain tampil dalam film ini, bukan karena kebodohan, tetapi karena sengaja. Pada adegan awal, misalnya, ketika Jack menggeletak setelah selamat dari sebuah pertempuran. Ia mengeluarkan cincin dari kantungnya, memandanginya dengan sungguh-sungguh sambil ngomong dan mengenang kekasihnya nun di sana -- disambung dengan kilas balik yang hampir menghabiskan setengah panjang film -- sementara di sebelahnya, berbaring Marty penuh dendam. Begitu romantis dan dramatik. Adegan ini baru akan terasa sebagai upaya "mengulang" kembali "idiom cinta" di tahun 50-an, setelah klise-klise yang lain muncul beruntun. Misalnya: seorang polisi militer memperingatkan lack dan Josephine, di malam yang berhujan, supaya kembali pulang, karena jalanan berbahaya. Penonton segera siap-siap, karena itu peringatan akan terjadi sesuatu. Betul saja, tak lama kemudian terjadi kecelakaan yang membawa maut ayah Josephine. Contoh lain. Di dua pertiga cerita, tiba-tiba Jack menyenggol lentera di ladang pertaniannya. Lampu itu jatuh berantakan. Pada saat yang sama, Jack juga menumpahkan gelas di dalam kereta api. Ini adalah terompet pertemuan kembali keduanya yang menyeret mereka ke dalam perkelahian di atas menara lonceng gereja. Penonton dipersiapkan akan terjadi malapetaka. Semua klise itu terpaketkan dalam sinematografi yang cantik. Sejak awal, kamera sudah menghidangkan gambar-gambar yang bagus. Bahkan kadangkala terlalu bagus, sehingga ada kesan terlalu didramatisir. Misalnya pada adegan Marty menatap mayat ayahnya di rumah sakit. Komposisi dan cahaya begitu diatur. Namun, kehadiran William Hurt sebagai Marty menyebabkan klise itu jadi baru. Aktor yang meroket namanya setelah mendapat Oscar dalam Kiss of a Spider Woman, lalu Children of the Lesser God ini bermain bagus. Ia tak membiarkan film itu jadi kuno. Aktingnya, yang sedikit mengingatkan kita pada aktor Inggris Dirk Bogarde, membuat segala klise itu jadi lain. Dibuat dengan serius, justru karena lahir "terlambat", A Time of Destiny menarik untuk dibicarakan. Isyarat, simbol, dan idiom tua dalam film Amerika itu dibangkitkan kembali, barangkali mengingat membanjirnya kini, apa yang dinamakan "soap opera". Dalam film-film nasional, idiom-idiom seperti itu, sebenarnya masih tetap aktual, sayang tak pernah coba "dimain-mainkan". Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini