Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upacara pemilihan umum kali itu dirasa menyiksa bagi Waluyo. Setelah begadang mengatur kursi, meja, dan segala tetek bengek pencoblosan, siangnya ketua RT di pinggiran Jakarta Timur itu harus melakukan pekerjaan yang membosankan: duduk anteng mengawasi orang-orang yang memberikan suaranya serta menunggu penghitungan suara selesai. Kerja selanjutnya, ia harus menuliskan hasil penghitungan suara tersebut dalam berlembar-lembar formulir.
Puncak kerepotan Waluyo di siang itu tentu saja ketika ia harus buru-buru memacu mobilnya menuju kantor kelurahan, menyerahkan hasil penghitungan suara. "Ini pengabdian yang cuma ada lima tahun sekali," katanya menghibur diri. Seorang kawannya nyeletuk, "Mengapa mesti repot-repot mengisi formulir dan ke kantor kelurahan? Zaman semaju sekarang, kok tak pakai SMS saja, ya?"
Pemilu dengan pesan pendek lewat telepon seluler sehingga tanpa direpotkan urusan mengirim setumpuk formulir? Benar. Itulah yang digagas oleh Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya. Beberapa insinyur di kampus itu sudah merancang sistem pengiriman hasil penghitungan suara dengan pesan pendek (SMS, short message service). Sistem ini ditawarkan untuk mempermudah dan mempercepat penghitungan suara dalam pemilihan kepala daerah yang bakal digelar Juni mendatang.
"Dengan SMS, penghitungan total suara akan diketahui masyarakat hanya dalam waktu dua jam," kata Fajar Baskoro dari Laboratorium Rekayasa Perangkat Lunak Teknik Informatika ITS.
Penghitungan hasil pemilihan kepala daerah yang amat lekas itu bisa terwujud karena, untuk normalnya, data yang dikirim dari tiap TPS itu akan sampai ke komputer pusat KPUD dalam waktu tiga detik! Inilah kedigdayaan pesan pendek. Cepat dan efisien.
Pemilihan kepala daerah dengan teknologi SMS ini, menurut Fajar, juga jauh lebih sederhana ketimbang sistem teknologi informasi yang dibangun Komisi Pemilihan Umum dengan menghabiskan dana sekitar Rp 200 miliar. Pada pemilu lalu data dari tiap tempat pemungutan suara (TPS) harus dikumpulkan ke kantor kelurahan, lalu dimasukkan ke komputer di kantor kecamatan. Dari kecamatan, barulah data itu dikirim melalui jaringan Internet ke kantor KPU di Jakarta.
Birokrasi yang berbelit-belit itulah yang dipangkas dengan teknologi pesan pendek. Dari TPS, data langsung dikirim ke server Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Tak perlu komputer. Cukup dengan telepon genggam biasa, tak perlu baru. Juga tak perlu keahlian khusus, yang penting bisa mengetikkan SMS.
Pemilihan kepala daerah memang tak seribet pemilu. Diukur dari jumlah kandidat yang harus dicoblos, misalnya, pemilihan kepala daerah sangat sederhana. Paling-paling ada dua sampai empat pasangan kandidat. Sungguh beda pemilu legislatif yang melibatkan 24 partai dengan daftar calon anggota legislatif yang mengular sepanjang halaman koran. Itulah sebabnya Fajar dan kawan-kawannya memilih teknologi pesan pendek, yang kini sudah mewabah hingga pelosok desa. Menurut catatan Telkomsel, operator telepon seluler terbesar di Indonesia, kini seluruh kabupaten di negeri ini semuanya sudah terhubung dengan jaringan GSM Telkomsel.
Dalam prakteknya nanti, sistem pelaporan hasil suara dengan pesan pendek ini tak hanya menggunakan jaringan GSM, tapi juga CDMA. "Semua operator sudah bekerja sama untuk dapat saling kirim pesan pendek, jadi semua bisa dimanfaatkan," katanya.
Sistem pesan pendek ini sebenarnya tak cuma melulu soal pelaporan suara. Teknologi ini juga sudah dirancang agar KPUD bisa berkomunikasi dengan panitia pemilihan di level apa pun, dari tingkat kabupaten, kecamatan, bahkan hingga tingkat TPS. Sistem ini juga dirancang bisa membuat laporan kepada masyarakat yang meminta. Misalnya, jika masyarakat Tanjung Priok meminta data TPS 05, mereka cukup mengirimkan pesan pendek dengan format tertentu. Maka, komputer KPUD akan membalas dengan mengirimkan data yang diinginkan itu. "Anda minta, kami memberi," kata Fajar.
Meskipun penghitungan sistem ini bukanlah sistem yang sah secara hukum, Fajar yakin teknologi ini akan mencegah kecurangan penghitungan suara. "Masyarakat bisa memantau perolehan suara dari tingkat TPS hingga kabupaten," ujarnya.
Untuk membangun sistem ini, laboratorium pimpinan Fajar ini melibatkan enam jago komputer. Selama dua bulan, mereka membangun pusat data yang dilengkapi dengan peranti pengolah data MySQL, web server, dan?yang ini terpenting?gerbang pesan pendek (SMS gateway). Pembuatan sistem komputer untuk pemilihan kepala daerah itu menghabiskan dana Rp 20 juta.
Ongkos itu tentu akan membengkak bila sistem ini benar-benar dipakai. Soalnya, bergantung pada jumlah pemilih dan kondisi geografis di tiap daerah. Hitungan kasarnya, Rp 350 untuk tiap pemilih di suatu daerah. Jadi, untuk Jakarta dengan penduduk yang mencapai 4,7 juta, akan dibutuhkan dana Rp 1,6 miliar. Ongkos ini akan menjadi lebih mahal kalau daerah yang bersangkutan tak terjangkau sinyal ponsel, seperti Sumenep yang memiliki 76 pulau kecil. "Solusinya, harus memakai telepon satelit dari Pacific Satellite Nusantara," katanya.
Fajar yakin sistemnya ini memiliki tingkat keamanan tinggi, termasuk mencegah pengiriman pesan pendek lebih dari sekali. Yakni, dengan cara mengirimkan pesan konfirmasi "Apakah angka yang disampaikan itu sudah benar?". Bila dijawab "ya", baru dimasukkan dalam database.
Selain itu, untuk mencegah pengiriman dari orang yang tak berhak, setiap nomor ponsel di tiap TPS harus sudah didaftar terlebih dahulu. "Kalau nomornya tidak teregistrasi, tak bakal bisa masuk ke sistemnya jaringan," katanya.
Untuk pengamanan server-nya, sistem ini menggunakan virtual private network. Teknologi ini bisa mengisolasi Internet KPUD sehingga hacker tak bisa membobolnya. "Kami belajar banyak dari bobolnya penghitungan suara KPU lalu," katanya. Kelemahannya, sistem virtual private network membutuhkan biaya mahal dan butuh perangkat baru. "Sewanya saja Rp 70 juta per bulan," kata Fajar.
Meski masih baru, teknologi ini sudah dilirik beberapa kabupaten. Kabupaten Sumenep dan Lamongan di Jawa Timur sudah menjajakinya. Untuk Sumenep, bila banyak daerah tak mendapat sinyal telepon, teknologi ini digabungkan dengan cara KPU dulu, yakni mengumpulkan data ke kecamatan, lalu dengan Internet data tersebut dikirim ke KPUD.
Untuk kabupaten dengan berpuluh-puluh pulau seperti Sumenep, Fajar menduga pembangunannya akan menghabiskan dana sekitar Rp 200 juta, seperseribu anggaran sistem komputer KPU yang mencapai Rp 200 miliar. Mahal, memang, tapi itulah harga yang pantas untuk mencegah kecurangan penghitungan suara dalam pemilihan kepala daerah.
Yang masih jadi catatan penting barangkali, ya, itu tadi, penghitungan dengan sistem ini belum sah secara hukum.
Burhan Sholihin, Jojo Raharjo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo