Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bantahan Organda Jakarta
MENGUTIP Tempo edisi 21-27 Februari 2005 halaman 130, Menanti di Ambang Tak Terjangkau, yang disampaikan oleh Sdr. Aip Syarifuddin yang mengatasnamakan Ketua DPD Organda Provinsi DKI Jakarta, dengan ini kami membantah sekaligus mengoreksi pemberitaan tersebut.
- Bahwa Organda Provinsi DKI Jakarta yang definitif dan sah hingga saat ini belum mengambil langkah-langkah apa pun, apalagi mengusulkan adanya kenaikan tarif angkutan, sehubungan dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM.
- Bahwa adanya pihak-pihak yang mengaku dirinya sebagai Ketua DPD Organda Provinsi DKI Jakarta, apalagi memuat berita atas nama DPD Organda Provinsi DKI Jakarta, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi yang bersangkutan dan tidak ada sangkut pautnya dengan DPD Organda Provinsi DKI Jakarta.
- Bahwa sebagaimana dimuat di Tempo dengan judul Menanti di Ambang Tak Terjangkau dengan sumber berita Sdr. Aip Syarifuddin, yang mengatasnamakan dirinya selaku Ketua DPD Organda Provinsi DKI Jakarta, adalah menyesatkan dan ia tidak menjadi sumber berita dari DPD Organda Provinsi DKI Jakarta yang sebenarnya.
- Bahwa Sdr. Aip Syarifuddin secara legalitas formal organisatoris telah mendapat sanksi organisasi dengan terbitnya Keputusan DPP Organda Nomor SKEP 095/K/DPP/I/2004 tentang pemberhentian sementara Sdr. Drs. Aip Syarifuddin sebagai anggota Organda (terlampir). Dan SK 095/K/DPP/I/2004 telah dipertanggungjawabkan oleh DPP Organda masa bakti 1998-2003 di Munas XIII Organda di Manado.
- Bahwa dengan demikian, apabila ada pihak-pihak termasuk dalam hal ini media cetak yang ingin mendapatkan berita tertentu tentang DPD Organda Provinsi DKI Jakarta, berita itu dapat dikonfirmasi atau diperoleh dari pengurus DPD Organda Provinsi DKI Jakarta yang sah dan definitif sesuai dengan Keputusan DPP No. SKEP. 134/K/DPP/XI/2004 tentang Pengesahan Susunan Pengurus dan Personalia Dewan Pimpinan Daerah Provinsi DKI Jakarta Periode 2004-2009 (terlampir).
- Bahwa dengan keluarnya keputusan tersebut, DPD Organda Provinsi DKI Jakarta yang sah dan definitif adalah yang diketahui oleh Herry J.C. Rotty selaku ketua dan T.R. Panjaitan selaku sekretaris dengan alamat sekretariat Jalan Raya Pelabuhan 19, Pelabuhan Tanjung Priok
HERRY J.C. ROTTY Ketua Dewan Pimpinan Daerah Organda Provinsi DKI Jakarta
Artikel Divestasi Saham PT KPC
SEHUBUNGAN dengan artikel pada Tempo edisi 21-27 Februari 2005 dengan judul Perjalanan Masih Panjang (pemerintah menolak usul tentang harga divestasi saham Kaltim Prima Coal gara-gara pemerintah kikuk), dengan ini kami memberikan penjelasan untuk meluruskan beberapa hal atas pemberitaan tersebut sebagai berikut:
- Pemilik saham PT KPC yang baru terdiri dari Sangatta Holdings Ltd. (40,7 persen), Kalimantan Coal Ltd. (40,7 persen), dan pemerintah Kabupaten Kutai Timur (18,6 persen).
- Dalam proses divestasi saham KPC, pemerintah tidak melakukan proses tawar-menawar harga, tetapi pemerintah melakukan penghitungan harga yang wajar 100 persen saham KPC.
- Apabila harga telah disepakati dan ditetapkan, harga tersebut adalah merupakan harga tertinggi (maximum offering price) yang akan ditawarkan PT KPC kepada pemerintah dan pihak nasional lainnya. Pihak nasional yang berminat membeli hak melakukan due diligent untuk melakukan perhitungan harga yang wajar menurut versi pembeli.
- Dalam pelaksanaan divestasi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bukan sebagai Ketua Tim Perunding karena, melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 812.K/40/MEM/2003 tanggal 23 Mei 2003, pengelolaan PKP2B (termasuk masalah divestasi dan pengalihan saham perusahaan) sudah dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral. Dengan demikian, Ketua Tim Perunding adalah Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral. Anggota Tim Perunding terdiri dari unsur Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan Departemen Keuangan.
- Setelah proses penetapan harga disepakati, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral melaporkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
- PT KPC telah menawarkan saham sebesar 32,4 persen kepada pemerintah pada 9 Desember 2004 dengan surat No. 251/KPC/XII/04.
- Sesuai dengan prosedur dan peraturan perundangan yang berlaku, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan tawaran tersebut kepada Menteri Keuangan, apakah pemerintah berkeinginan menerima tawaran tersebut. Menteri Keuangan telah memutuskan dengan surat No. S-14/MK.2/2005 tanggal 14 Februari 2005 kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bahwa pemerintah tidak berminat membeli saham dimaksud.
- Selanjutnya, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan kepada PT KPC bahwa pemerintah tidak berkeinginan membeli saham yang ditawarkan dan selanjutnya agar menawarkan saham dimaksud kepada pihak nasional lainnya sesuai dengan Pasal 26 PKP2B.
SIMON F. SEMBIRING Direktur Jenderal Geologi dan SDM
Terima kasih atas penjelasan AndaRed.
Imbauan untuk Kedubes Australia
SAYA sebagai orang yang sehari-hari berkantor di Jalan HR Rasuna Said bersama ini mengajukan keluhan atas penutupan dua jalur lambat di depan Kedutaan Besar Australia.
Penutupan jalan tersebut telah menyebabkan kemacetan yang luar biasa panjang sehingga kami, yang dalam satu hari rata-rata tiga kali melewati area tersebut, terbuang waktunya kurang-lebih 2 jam dibandingkan dengan sebelum adanya penutupan. Hal yang sangat menjengkelkan dan memboroskan waktu serta bensin.
Yang lebih memprihatinkan lagi, sering kali dijumpai tidak ada pekerjaan di daerah yang ditutup tersebut. Kedutaan Australia terlihat tidak mempunyai tenggang rasa terhadap kemacetan yang ditimbulkannya tersebut, yang sangat mengganggu aktivitas masyarakat sekitarnya.
Saya berharap agar pihak Kedutaan Australia segera menyelesaikan pekerjaan dan membuka jalur lambat tersebut.
DICKY SETIAWAN Jati Padang Raya, Jakarta Selatan
Pemerasan di Terminal 3
BUKAN hanya empat juta rakyat Aceh yang memiliki mimpi buruk dengan KTP "merah putih", tapi buruh migran yang memegang paspor TKI pun memiliki hal sama. Saat berada di pesawat untuk kembali ke tanah air, bukan kerinduan untuk berjumpa dengan keluarga yang ditinggalkan yang dipikirkan, melainkan kegelisahan menghadapi setiap petugas di Terminal 2 dan 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Saat terbang dari Hong Kong ke Jakarta pada 28 Maret 2005, seorang TKW asal Lampung, yang dikenai PHK oleh majikan tanpa alasan apa pun selama empat bulan bekerja, menyatakan khawatir bisa keluar dari Terminal 2 tanpa mesti ke Terminal 3. Sebelumnya, saat kembali kerja di Singapura, dia mesti membayar Rp 1 juta di Terminal 3. Trauma itu masih melekat.
Setelah melalui imigrasi dan kami mengambil barang dan langsung menuju pintu keluar, beberapa petugas menanyakan paspor kami dan kami menolak memberikannya. Tapi, mereka memaksa agar TKW tersebut mesti melalui jalur khusus Terminal 3. Saya menjelaskan bahwa dia melalui Jakarta untuk kembali ke Lampung. Namun, argumen tersebut tidak ditanggapi. Dengan kasar, para petugas menarik troli kami dan kami berdebat cukup lama. Setidaknya enam lelaki mengelilingi kami, termasuk petugas Depnaker. Mereka ngotot bahwa TKW tersebut mesti melalui Terminal 3, dan akhirnya TKW tersebut mengikuti mereka.
Pertanyaan saya, apakah konstitusi republik ini sudah membedakan warga negara berdasarkan suku dan jenis pekerjaannya? Apakah konstitusi republik ini memberikan kewenangan kepada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan otoritas bandara untuk memaksa dan membatasi hak buruh migran turun di Terminal 2? Apakah konstitusi republik ini masih melindungi hak warganya untuk bebas turun di terminal mana pun?
Saya hanya bisa malu ketika peserta pelatihan hak asasi manusia dari luar negeri melihat langsung bagaimana sebuah diskriminasi yang dilakukan republik ini kepada warga negaranya terjadi di Terminal 3 itu.
CARLA NATAN Batu Wulung, Jakarta Timur
Kepada Keluarga Motinggo Busye
SUATU ketika, kurang-lebih 17 tahun silam, saya mengunjungi Motinggo Busye, pengarang yang saya kagumi lahir batin, di rumah beliau di Jalan Nanas, Utan Kayu, Jakarta. Waktu itu hari Minggu pagi 1988. Kami berbincang di teras rumah beliau. Yang menghidangkan air minum waktu itu putra beliau, Son, mungkin Mohammad Sonata. Yang mempersilakan saya minum selain Motinggo Busye adalah Ibu Laxmi yang cantik, yang mengintip dari balik pintu.
Saya menyesal dan kecewa. Sebab, itulah pertemuan pertama dan terakhir saya dengan sastrawan yang semestinya mendapat penghargaan dari negara. Minimal sekadar nama sebuah jalan. Sebab, Motinggo Busye adalah salah seorang anak negeri yang telah ikut membuat jembatan atau menjembatani agar orang Indonesia gemar membaca.
Seterusnya, waktu itu saya memberikan hadiah ulang tahun kepada Motinggo Busye sebuah buku kamus Jerman-Indonesia. Mungkin bisa dicek di perpustakaan beliau. Lalu beliau waktu itu berjanji akan memberi saya sebuah buku kumpulan puisi beliau yang berjudul Balada Wali-Wali. Buku tersebut belum dicetak. "Nantilah, kalau sudah dicetak, akan dikirim ke Riau," kata beliau.
Saya ingin bertanya kepada keluarga almarhum, mungkin Ibu Laxmi, Mohammad Sonata, Satrio, Vera, dan lain-lain. Apakah sudah dicetak buku kumpulan puisi Balada Wali-Wali tersebut? Saya sudah mencari di toko buku di berbagai kota, tetapi tidak ada. Kalau sudah diterbitkan, saya tidak minta gratis seperti janji almarhum, tetapi saya akan memesan (beli) 10 eksemplar. Satu untuk saya, yang 9 lagi akan saya bagikan ke SD, SMP, dan SMA, tempat dulu saya pernah sekolah. Bagaimana keluarga Motinggo? Mohon maaf telah mengganggu.
PANDU SYAIFUL (STEPON) Guru SMP Cendana, Duri Riau
Kecewa pada PT Sarana Citra Promosindo
RABU 2 Maret 2005, saya menerima sepucuk surat pemberitahuan dari PT Sarana Citra Promosindo. Pertama kali saya membaca surat pemberitahuan tersebut, perasaan saya sangat gembira. Pasalnya, saya mendapatkan hadiah utama dari undian tahap ke-II "Gebyar Susu Indomilk 2005" yang diadakan oleh PT Sarana Citra Promosindo berupa satu unit mobil Honda Jazz.
Namun, kegembiraan tersebut langsung pupus saat untuk kedua kalinya saya membaca dengan cermat isi surat pemberitahuan itu. Betapa tidak, tanggal penerimaan surat pemberitahuan, 2 Maret 2005 (cap pos), ternyata telah melebihi limit waktu pengiriman hadiah yang seharusnya berlaku terakhir tanggal 28 Februari 2005. Artinya, surat pemberitahuan tersebut baru saya terima dua hari setelah batas waktu terakhir pengambilan hadiah. Menurut saya, kelalaian seperti ini tak pantas dilakukan oleh sebuah perusahaan besar seperti PT Sarana Citra Promosindo. Sejujurnya saya kecewa pada PT Sarana Citra Promosindo, yang bertanggung jawab penuh atas hasil keputusan tersebut.
Selanjutnya melalui surat pembaca ini saya hendak menanyakan kejelasan masalah hak saya atas hasil undian tersebut. Jika PT Sarana Citra Promosindo tidak bisa memenuhi hak saya ini, saya akan menempuh jalan lain dengan mengajukan somasi.
SOFYAN HADI Jalan Hayam Wuruk Gg Darul Ansor 24, Bandar Lampung
Kerusakan Hutan di Papandayan
Tulisan rubrik perjalanan di Tempo edisi 21-27 Februari 2005 tentang menelusuri jejak Bossca di gunung Papandayan cukup mengasyikan. Saya bisa merasakan atmosfir Pangalengan dengan hamparan perkebunan tehnya karena saya cukup sering melakukan tea walk dan cross country bersama kerabat di daerah itu. Begitu pula ketika tulisan itu menyinggung kerusakan hutan di kaki gunung Papandayan akibat pembukaan lahan untuk dijadikan kebun kol dan kentang. Pikiran dan perasaan saya kembali mendidih jika mengingat betapa hancurnya kerusakan hutan yang terjadi di kawasan Pangalengan saat ini.
Hasil pengamatan saya, perambahan hutan tidak hanya terjadi di kawasan perkebunan milik PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN) tetapi di kawasan yang dikelola Perhutani pun tidak kalah parahnya. Ironisnya perambahan itu ternyata atas seizin kedua instansi pemerintah itu. Para pengusaha sayuran bermodal besar mendapat konsesi pemakaian lahan dari pihak manajemen PTPN VIII dan Perhutani. Tak cuma dari penyewaan lahan, keuntungan besarpun bisa didapat dari kayu-kayu hasil tebangan ilegal yang dilakukan para pekerja dan buruh tani saat membuka lahan.
Jadi sebenarnya yang menjarah hutan adalah pihak yang punya lahan.
HERYAWAN Kiaracondong, Bandung
RALAT
PADA Laporan Utama Tempo edisi 13 Maret 2005, dalam tulisan berjudul Prarekonstruksi Selalu Batal, terdapat kutipan yang menyatakan Adnan Buyung Nasution berhenti sebagai pengacara Garuda Indonesia. Yang benar, Adnan Buyung Nasution dan Rekan menolak membela dan mewakili Garuda (Presiden Direktur Indra Setiawan) dengan alasan konflik kepentingan. Keputusan tersebut tidak menyangkut pembelaan dan representasi Garuda di luar kasus Munir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo