Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amarah Rika meledak seperti petir. Ya, Alya, anak tirinya, ngotot melanggar larangannya pergi ke sekolah. Kini kamera menangkap wajahnya yang mengencang, matanya yang melotot, kemudian tangannya yang melayang. Alya (Revalina S. Temat), gadis berwajah teduh, berseragam abu-abu, ambruk ke lantai. Kamera dalam sinetron Bawang Merah Bawang Putih itu pun merekam jelas: Rika menginjak-injak kaki anak tirinya.
Memang, kekerasan bukan menu utama Bawang Merah Bawang Putih. Cerita rakyat Jawa Tengah itu, landasan sinetron ini, punya sebuah pesan luhur: kesewenang-wenangan pasti berakhir, kemenangan ada di tangan si baik yang teraniaya. Tapi kita tahu, Rabu malam itu kamera memperlihatkan telapak kaki Rika menghantam Alya yang terkapar. Kita tahu, sebelumnya, Minggu malam, dalam Ada Apa dengan Cinta?, seseorang memukuli Rangga (Revaldo), tokoh utama sinetron itu. Alkisah, Rangga diculik dan, untuk mengorek pengakuan dari mulutnya, si penculik menyiksa. Kamera mengikuti kejadian dengan seksama: ia memukul tiada henti. Pemuda berambut keriting itu jatuh terduduk, lalu tubuhnya rebah di lantai. Rangga tetap bungkam, pukulan terus menghantam, tubuh pemuda itu melemah, kemudian tak bergerak.
Ya, kekerasan bukan lagi sesuatu yang digambarkan dengan kiasan: diawali dengan pedang berkilat, cepat diakhiri dengan tubuh tergenang darah. Dengan kata lain, adegan di layar kaca nyaris sama persis dengan kejadian di dunia nyata. Adakah para sutradara tidak melihat cara lain kecuali "memindahkan" adegan kekerasan ke layar kaca?
Sinetron yang kita saksikan di layar kaca adalah sebuah kerja kolektif. Produk sepanjang 20 menit per episode itu adalah hasil kerja sama?juga hasil "pertarungan"?beberapa pihak: sutradara, penulis skrip, etika, produser, pasar, bahkan kamerawan. Masing-masing berkesempatan mempengaruhi hasil akhir, tapi yang satu mungkin lebih dominan dari yang lain. Dan kita semua tahu, pasar salah satu faktor yang paling menentukan.
Penulis skenario Ada Apa dengan Cinta?, Jujur Prananto, punya pengalaman menarik. Dan itulah yang akhirnya menelurkan adegan kekerasan di atas. Ia tak menyebut tekanan itu suatu paksaan. Jujur hanya merasa berkali-kali ia "digelitik" pihak rumah produksi, sampai akhirnya ia menyanggupi desakan itu. Di sana-sini ia menambahkan-mengurangi skenario. Hasilnya: adegan Rangga diculik, ditutup matanya, lalu dibawa ke suatu tempat. "Dalam skenario, saya menulisnya tidak detail. Jadi, skenario saya sangat terbuka untuk ditafsirkan seperti itu," kata Jujur. Dan di layar televisi, muncullah adegan Rangga diculik, dimasukkan ke sebuah ruangan, ditendang. Dia juga dipukuli hingga tubuhnya tak bertenaga. Adegan lainnya, ia duduk di kursi dengan tangan diikat di belakang. Ia ditampar, dipukul, ditendang hingga jatuh terjengkang.
Jujur belajar. Dan sekarang ia telah berhasil menumbuhkan kebiasaan baru. "Dalam setiap naskah, saya sering kali rajin menulis catatan kaki. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu."
Cerita penulis skenario Aris Nugraha lain lagi. Sutradara bisa meminta adegan sesuai dengan keinginannya, dan sutradara berhak menerjemahkan naskah. Tapi, "Saya kira ini tanggung jawab kita semua. Tidak hanya penulis dan sutradara. Semua pihak harus bisa membedakan mana media privat, mana media publik," ucap Aris.
Ya, sinetron adalah kerja kolektif. Pasar, muara dari pertarungan di atas, kadang bergerak dengan kecenderungannya sendiri. Dalam sinetron Ada Apa dengan Cinta?, pasar?disempitkan menjadi rating?tampaknya berseberangan dengan penggambaran kekerasan "realistis". "Dari rating rata-rata 15-20 besar, akhirnya melorot ke urutan 45," kata Jujur. Jujur mengakui, ada yang ironis di sini. Penambahan adegan kekerasan mulanya ditujukan untuk mendongkrak rating yang mulai melorot dari 10 besar menjadi 15-20 besar. Strategi yang terbukti salah.
Memang, Bawang Merah Bawang Putih, sinetron yang memiliki cukup banyak adegan kekerasan, menikmati popularitas tinggi. Menurut rating yang dilakukan AC Nielsen, sepanjang 2004 Bawang Merah Bawang Putih menempati posisi teratas (rating rata-rata 11,7 dengan sharing penonton 32,7). Tak melanggar batas-batas yang ditentukan LSF (Lembaga Sensor Film), sinetron ini cepat menembus pasar. "Kami menyadari ada kenyataan seperti itu. Ada fenomena, semakin kejam, semakin antagonis, rating-nya semakin tinggi," ujar Teguh Juwarno, Kepala Hubungan Masyarakat RCTI.
Sinetron di Indonesia adalah sebuah dunia yang luas. Raam Punjabi, pemilik rumah produksi PT Tripar Multivision Plus, menyebut beberapa sinetronnya yang tak mengumbar kekerasan: Terajana, Jamilah Binti Selangit, Bule Masuk Kampung, dan Titipan Ilahi?sayang semuanya tergolong sinetron komedi, kecuali Titipan Ilahi yang punya muatan religius tinggi. Sementara itu, sutradara Garin Nugroho tak keberatan dengan adegan kekerasan, asal kekerasan itu tidak berhenti sebagai tontonan atraktif belaka.
Apa pun, yang terang, sebuah data menyebut: anak Indonesia menonton televisi 35 jam per minggu, rata-rata 5 jam per hari (lihat, Tayangan di Wilayah Abu-abu). Kini lengkaplah, mereka bisa menyaksikan dan belajar kekerasan di jalan raya, di pasar, di terminal, dan di televisi.
L.N. Idayanie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo