Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pentas itu dibuka oleh sebuah lagu pop dari grup De Pazz berjudul Something Special. Serombongan penari berlenggak-lenggok kenes dalam sebuah iring-iringan. Tubuh mereka terlihat sekali menirukan ekspresi anak-anak berdisko yang konyol dan banal.
Tapi keriangan itu hanya seperlima waktu dari rentang 50 menit pertunjukan. Selanjutnya atmosfer diseret ke suasana temaram dan mencekam. Sebuah sosok "aneh" muncul. Ia mengenakan kerudung jubah loreng militer dengan daging mentah yang terjuntai. Dan dari sudut lain muncul sosok berkerudung merah.
Sosok itu kemudian bertemu. Dan kemudian membawa semua penari yang tadinya girang melakukan gerak dhodhok bedayan. Berjalan dengan posisi jongkok. Sebuah ekspresi kontras terjadi. Wajah mereka semua tampak seragam, pahit tak ada keceriaan atas hadirnya sosok personal. Lalu mereka menggeliat-geliat dalam pola irama gerak lamban seakan-akan seperti bedayan.
Bedaya tersohor karena geraknya yang mengalir lambat. Penuh energi dari dalam. Tapi, yang sering dilupakan orang adalah sesungguhnya bedaya adalah representasi dari pemitosan kalangan adiluhung Jawa tentang keindahan, kecantikan, keagungan, dan pengabdian seorang perempuan.
Selama empat bulan koreografer Fitri Setyaningsih mengamati para penari bedaya Mangkunegaran, dan ia melihat ada pergeseran citra ideal tubuh.
Dahulu kuning langsat adalah kulit yang diidam-idamkan oleh para penari dan kalangan elite sosial di lingkungan kebudayaan Jawa. Tapi kini para penari bedaya diharuskan berkulit putih. Kenapa kulit putih dianggap sempurna? Citra tubuh seperti apakah yang paling diidamkan oleh para penari bedaya kini?
Hasil pengamatan personal itulah, dibarengi dengan diskusi-diskusi intensif, mengantarkannya menciptakan teater tari bertajuk Bedoyo Silikon: Daging dari Dataran Tinggi. Ia bekerja sama dengan penata artistik Afrizal Malna, M. Toha, Popo, dan Tyas Sumarah.
Bagi sementara publik, pertunjukan ini dianggap sederhana, bahkan cenderung simplistik, kurang nuansa, terlalu polos, tidak seperti catatan-catatan prosesnya yang disajikan dalam katalog yang intelektualistik. Tapi, bagi saya, ada banyak hal yang bisa dicatat, bahwa seorang koreografer harus menyadari bahwa dirinya hanya sebagian dari peristiwa pertunjukan.
Bahwa riset merupakan sesuatu yang mesti dilakukan oleh koreografer bersama orang lain. Pertunjukan tanpa struktur dan tanpa bentuk yang jelas, yang dirasakan hampir-hampir seperti improvisasi yang santai, malam itu justru menjadi salah satu kekuatan sajian ini.
Para musisi yang tidak berpretensi menjadi pertunjukan tersendiri, yang selama ini sering terjadi dari kalangan musisi muda lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang terlampau percaya diri dan selalu "menunggangi" pertunjukan tari untuk kehadiran dirinya.
Sajian ini tampak sekali terasa sebagai peristiwa bersama yang masing-masing memberikan ruang untuk kehadiran berbagai elemen dalam ruang yang diyakini sebagai tempat menyatakan sesuatu kepada publik.
Dan di situ pula saya bisa menikmati gerak penari yang menyatakan diri tanpa pola dan seluruh suasana tanpa beban, tanpa dramatisasi masalah dan gerak tubuh yang selama ini begitu dominan di lingkungan para penari-koreografer STSI Solo.
Halim H.D.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo