Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELEPON seluler itu berdendang. Dengan santun Pius M. Sumaktoyo menyapa peneleponnya. Tak berapa lama, seperti yang sudah-sudah, caci-maki berdesakan masuk ke telinganya. Tapi pria 55 tahun ini tetap santai. ”Maaf, saya tidak bisa memberikan password yang Anda minta. Yang Anda beli software saya yang bajakan,” ucapnya.
Klik! Telepon diputus dari seberang.
Pius adalah pencipta Rekso Translator, peranti lunak penerjemah teks bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dan sebaliknya. Rupanya, banyak yang suka software ini. Sayangnya, sebagian besar ogah membeli versi aslinya, yang dibanderol Rp 935 ribu. Mereka membeli bajakannya. Harganya? Tak sampai sepuluh persennya.
Itulah ancaman terbesar atas upaya menjadikan 2009 sebagai Tahun Industri Kreatif bagi industri peranti lunak. Padahal sektor ini punya potensi besar. Memang industri ini diperkirakan baru menyumbangkan satu persen dari total ekspor industri kreatif sebesar Rp 81 miliar—hampir 10 persen dari nilai ekspor nasional.
Dari 14 sektor di industri jenis ini, dunia mode memberikan sumbangan terbesar, sekitar 44 persen. Tapi inilah industri ”yang berpeluang meningkatkan lapangan kerja melalui penciptaan dan komersialisasi kekayaan intelektual,” kata Togar Simatupang, doktor di Sekolah Bisnis ITB dan anggota tim penyusun peta industri kreatif Indonesia yang dikeluarkan Departemen Perdagangan.
Lihatlah proyeksi lembaga riset International Data Corporation (IDC) dalam lima tahun ke depan. Laporan itu menyatakan sektor teknologi informasi di Indonesia akan menumbuhkan 81 ribu lapangan pekerjaan dan 1.100 perusahaan baru. Jumlah rumah produksi peranti lunak pun diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dari tahun 2004—yang hanya mencapai 250 buah.
Masalahnya, itu tadi, para pembajak. Pius tahu benar pahitnya jadi korban pembajakan. Dulu, dari program penerjemahnya ia bisa mendapat uang setidaknya setara dengan gajinya sebagai konsultan teknologi informasi. ”Setelah muncul produk bajakannya, per bulan cuma beberapa orang yang beli,” ujarnya.
Merasa jengkel dengan ulah pembajak, suatu kali ia menyatroni toko yang menjual software bajakan itu. ”Saya menunjukkan KTP dan mengatakan kepada mereka bahwa saya pembuat software itu,” ujarnya. ”Saya lalu meminta mereka menghentikan penjualan software itu atau saya akan mendatangkan polisi.”
Hasilnya? Perantinya tetap saja dibajak. Akhirnya, Pius mengambil jalan memutar untuk menangkal pencurian ini: validasi peranti lunaknya dibuat ”ruwet”. Mereka yang sudah memiliki nomor seri tak lantas bisa langsung menggunakan software itu. Mereka harus mendapatkan kata kunci.
Nah, kata kunci itu diperoleh dengan menelepon atau mengirimkan pesan pendek kepadanya. Silakan saja mencoba menjalankannya tanpa kata kunci. Seperti dijajal Tempo, software tanpa kata kunci itu macet di tengah jalan. Toh, ini bukan berarti Reksonya antijebol. ”Memang tak sepenuhnya berhasil,” ujar Pius ketika ditemui di rumahnya di kawasan Pasar Rebo, Jakarta.
Pembajakan cuma salah satu kendala dalam pengembangan industri peranti lunak di Indonesia. ”Dalam segala hal yang menyangkut business environment—dari ekonomi-politik, kualitas infrastruktur, ekspose budaya, hingga keamanan—Indonesia amat lemah,” ujar Djarot Subiantoro, Ketua Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia.
Mengutip riset AT Kearney—lembaga konsultan manajemen yang berdiri sejak 1925, yang melakukan penelitian terhadap kemampuan teknologi informatika di 50 negara—peringkat business environment Indonesia ada di posisi 49. ”Cuma lebih baik dari Senegal,” ujarnya.
Tapi itu bukan alasan untuk mundur. Teknologi ini telah menguasai lebih dari separuh hidup orang. Pagi-pagi, kita dibangunkan oleh alarm yang menjerit-jerit dari telepon seluler. Jam weker, apalagi kukuruyuk ayam, sudah lama pensiun. Sepanjang hari, ponsel ada di saku dan komputer jinjing di dalam tas, siap untuk digunakan sewaktu-waktu.
Sektor ini juga tak perlu modal besar. ”Lebih mengandalkan brainware dan kreativitas. Kebutuhan modal menyusul untuk pengembangan usaha, setelah teruji diterima pasar,” ujar Djarot.
Ini ada contohnya. Dari rumah kontrakan, sekelompok anak muda Bandung berhasil membuat permainan online yang bisa dimainkan seribu orang secara bersamaan. Nusantara Online, game itu, diganjar gelar juara untuk kategori umum dalam Kontes Game Edukasi Indonesia di Malang dan Indonesia Information Communication Technology Award 2007. Kini, mereka tengah mempersiapkan peluncuran secara resmi game online yang memakai latar lokal.
Dalam soal sumber daya manusia, Indonesia juga boleh diadu. Memang, menurut IDC, jumlah pengembang profesional di Indonesia tahun ini sekitar 71.600 orang—setengah persen dari total pengembang profesional di dunia. Tapi, menurut AT Kearney, kualitas sumber daya Indonesia—tanpa memperhitungkan soal sertifikasi—berada pada posisi keenam, setelah Cina, India, Malaysia, Brasil, dan Thailand.
Kendro Hendra, Direktur InTouch dan dedengkot industri software di Indonesia, tahu benar digdayanya orang Indonesia dalam soal mengutak-atik software. ”Orang kita punya modal: kreatif,” ujarnya. ”Sertifikat memang penting untuk meraih kepercayaan pemodal atau perusahaan pemakai, tapi modal untuk menemukan peranti lunak yang diperlukan adalah kreativitas,” dia menekankan.
Masih ada satu lagi. Kreativitas tinggi itu harus dibarengi rasa percaya diri. ”Ahli komputer Indonesia kurang dalam soal ini,” ucap Kendro, yang kini mempekerjakan 50 karyawan.
Begitulah. Bahwa otak orang Indonesia encer di bidang komputer sudah banyak contohnya. Beberapa di antaranya bahkan moncer di industri ini semata-mata mengandalkan otak, tanpa perlu gelar sarjana. Sebutlah Jim Geovedi.
Pada 1998-1999, selepas SMA, dia sempat hidup di jalan tanpa pekerjaan yang jelas. Namun kini dia sering ditanggap ke berbagai seminar nasional dan internasional untuk berbagi cerita soal keamanan sistem. Kliennya antara lain sebuah bank papan atas dan perusahaan telekomunikasi—dua bisnis yang sensitif dalam soal keamanan jaringan.
Ada pula Fadil Fuad Basymeleh, yang sempat kuliah di Jurusan Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung. Saat krisis ekonomi pada 1997, Fadil yang kena imbas malaise ini mendapat inspirasi dari pengusaha kecil yang kesulitan mendapatkan kredit bank pada masa itu. Persoalan mereka hampir seragam, pembukuannya berantakan. Padahal bisnis mereka lumayan maju.
Iseng-iseng, ia menciptakan program akuntansi yang memudahkan mereka. Sistemnya sudah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lokal. Soal harga, bersaing pastinya dan jauh lebih miring ketimbang software dari seberang laut. Hasilnya, setelah 12 tahun, dia pun mendapatkan berkah. Zahir Accounting, perantinya, tak hanya berguna bagi perusahaan kecil, tapi juga untuk mereka yang omzetnya besar. Bermula dari iseng, duit berebut masuk dompetnya.
Kisah serupa terulang pada kuartet Bambang Yuwono, Sujanto Teng, Hary Sudiyono Candra, dan Benny Karyadi. Software buatan mereka, Pesona Edu, tak hanya berkibar di dalam negeri, tapi juga melanglang jauh hingga ke 23 negara, termasuk negara yang selama ini dikenal sebagai rumah software: Singapura, Jepang, Amerika Serikat—sekadar contoh.
Seperti Fadil, kisah empat sekawan ini bermula dari sekadar keisengan. Awalnya, mereka melihat anak-anak yang kesulitan mempelajari fisika dan matematika. Muncul ide untuk membuat program komputer yang bisa membantu anak-anak itu. Pada 1986, mereka mulai bekerja. Modal awalnya: 14 unit personal komputer. ”Tidak ada karyawan, semua kami kerjakan sendiri,” ujar Bambang.
Lima belas tahun kemudian, mereka berhasil membuat software pendidikan Pesona Fisika dan Pesona Matematika. Namun jalan belum lempeng benar. Mereka mendapatkan tantangan dari banyak pihak—dari murid, kepala sekolah, sampai guru. ”Para guru sempat menganggap software kami bisa membuat mereka tersingkir,” kata Bambang.
Toh, itu sudah jadi cerita masa lalu. Pesona Edu terbukti membuat murid senang dan guru terbantu. Tentu saja uang sudah mengalir ke kantong mereka. ”Secara umum, trennya semakin tahun semakin membaik. Karyawan kami cukup sejahtera. Kami percaya, dibandingkan dengan perusahaan sejenis, karyawan di sini lebih terjamin,” kata Bambang.
Yang lainnya maju bermodal utang. Itulah BrainCode. Dari kantornya yang tampak semrawut di bilangan Sudirman, sudah lahir lebih dari 100 aplikasi untuk pengguna telepon seluler—dari aplikasi bernama Tokek Bijak hingga Dam-daman. Untuk produk sekelas wallpaper, nada dering, atau nada sambung, jumlahnya sudah ribuan. Utang pun perlahan dilunasi.
Jika Anda merasa belum perlu uang, tiru saja Buyung Akram. Sejak lima tahun lalu, ia membikin peta digital Indonesia. Nah, ia menggratiskan koleksinya untuk disuntikkan ke perangkat Global Positioning System (GPS). Padahal pengguna peta digital bukan sembarang orang, karena harga perangkat GPS masih lumayan mahal.
Buyung sudah cukup senang karyanya bisa dinikmati orang lain. ”Dengan digratiskan, saya harap bisa menumbuhkan kreasi baru,” ucap lelaki 36 tahun ini. Silakan memilih.
Yosep Suprayogi, Irfan Budiman, Sapto Pradityo, Yandi M.R., Angela Dewi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo