Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PINTU TERLARANG
Sutradara dan Skenario: Joko Anwar
Diadaptasi dari novel karya Sekar Ayu Asmara
Pemain: Fachri Albar, Marsya Timothy, Henidar Amroe, Tio Pakusadewo, Ario Bayu, Arswendi Nasution
Produksi: Lifelike Pictures
Ketika kita memutuskan bergabung dengan dunia Joko Anwar, kita harus siap dengan risikonya. Kita akan memasuki sebuah kepala yang penuh dengan lapisan imajinasi kelam yang tak berkesudahan. Memasuki batok kepala Joko Anwar bak memasuki labirin yang bersulur-sulur ke sana-kemari. Liar dan gelap. Sementara dari luar batok kepala itu, kita melihat kemasan wajah tampan yang penuh pesona seperti sosok Gambir, sang pelukis yang menjadi protagonis film ini.
Film terbaru Joko Anwar ini dibuka dengan sebuah adegan pembukaan pameran lukisan Gambir (Fachri Albar). Dengan istri jelita yang dominan, Talyda (Marsya Timothy); seorang ibu yang tampak anggun tapi penuh tekanan ”ingin mempunyai cucu”, Menik Sasongko (Henidar Amroe), dan seorang pemilik galeri yang oportunis, Koh Jimmy (Tio Pakusadewo), hidup Gambir seolah tampak sempurna dan menjadi pusat kecemburuan kedua kawannya, Dandung (Ario Bayu) dan Rio (Otto Jauhari).
Hanya beberapa menit setelah itu—setelah pembukaan yang menggunakan animasi yang penuh warna dengan gaya tahun 1960-an—kita mulai memasuki lorong gelap di balik gemerlapnya hidup Gambir. Di balik perut patung yang berbentuk wanita hamil itu, Gambir memasukkan gumpalan janin bayi hasil aborsi. Belum selesai kita terguncang oleh adegan itu, kita dihajar oleh adegan keanehan hubungan suami-istri Gambir dan Talyda yang penuh ketegangan sekaligus erotis.
Di antara galau dominasi sang istri; tekanan sang ibu untuk segera mempunyai cucu; dan Koh Jimmy yang terus-menerus memaksa Gambir produktif, Gambir didera suatu ”permintaan”: ”Tolong Saya”. Permohonan itu tertulis di mana-mana, mengikuti dia ke mana pun pergi. Sementara Gambir mencari jawaban, kepada kita disuguhkan pertanyaan terbesar dalam film ini. Pintu itu. Sebuah pintu merah yang menantang di bagian belakang rumah besar mereka. Gambir tak pernah mengetahui apa yang ada di balik pintu itu karena Talyda memohon agar suaminya tak membukanya.
Pada saat itu pula, dia menemukan sebuah ”klub rahasia”. Inilah ”klub” yang anggotanya bisa menikmati berbagai peristiwa sinting dalam berbagai keluarga berantakan melalui kamera yang tersembunyi di dalam rumah mereka: seorang ibu yang menyulam sembari menjahit jarinya sendiri; seorang anak yang dihajar terus-menerus oleh orang tuanya....
”Acara siaran langsung” drama keluarga penyiksaan itu sangat mengganggu Gambir. Dia ingin sekali menyelamatkan sang anak yang selalu disiksa orang tuanya itu. Tapi yang ditemukannya kenyataan yang jauh lebih kelam. Dan semua jawabannya selalu membawanya kembali ke pintu merah yang tak boleh dibukanya itu.
MESKI Joko Anwar dengan tim artistiknya sengaja menabrakkan warna mencolok yang meriah: merah, biru, kuning, tetapi dunia pernah warna itu justru seperti tengah mengejek jiwa cerita yang disuguhkan Joko: sesuatu yang gelap. Joko memberikan kontras. Ia menyemprotkan warna cerah dan musik yang lezat, sementara ia menunjukkan lapisan paling rendah dalam diri manusia.
Pernyataan Joko Anwar untuk ingin membuat film yang ”lebih ringan” daripada Kala sebaiknya kita anggap tak ada saja. Film yang kemasannya seperti sebuah film hiburan ini ternyata sepenuh jiwa raga lebih bernapas seperti film noir: dari setting yang mirip negara antah berantah tahun 1960-an; teknik pengambilan adegan (beberapa kali direkam dari balik kerai) atau cenderung menyorot wajah tokohnya dengan pencahayaan yang minim; hanya tokoh protagonis lelaki (Gambir) yang tak berdaya tetapi mencoba melawan situasi itu, meski akhirnya kalah; seorang wanita femme-fatale (Talyda) yang biasanya gila cantiknya, tapi juga gila kejinya. Ditambah lagi dengan musik yang secara keroyokan dikerjakan oleh Aghi Narottama, Bemby Gusti, Ramondo Gascaro (Score), dan beberapa lagu yang diciptakan Zheke Khaseli, kelompok Sore, dan Tika, maka Joko mengawinkan adegan dan musik yang unik. Ia menyajikan sebuah adegan puncak: adegan makan malam yang gemerlap, dipadu kekejian, brutalitas, dan mandi darah itu malah diberi sebuah ”orkestra” yang mengalun, memijit saraf sekaligus menggocoh isi kepala. Segalanya terburai-burai....
Ini adegan gila (dan sebaiknya tak perlu digambarkan di sini).
Adakah rangkaian gambar keras dan brutal ini memiliki tujuan? Jika novel Sekar Ayu Asmara ini jatuh ke tangan sutradara yang mengeksploitasi kekerasan, film ini bisa menjadi sekumpulan gambar yang cuma penuh dengan adegan ”aneh” untuk efek kejut belaka. Sangat mudah menyalahartikan novel ini menjadi film tentang sekumpulan orang gila saja.
Tetapi Joko membuat (tepatnya merombak) adaptasi yang lebih personal dan menyemprotkannya ke layar lebar sebagai sebuah persoalan kejiwaan. ”Ada satu pertanyaan penting dalam setiap karya saya,” katanya serius. ”Pertanyaannya, apakah para orang tua sudah memikirkan betul mereka menginginkan anak.” Pertanyaan yang sangat sah, meski mungkin akan dianggap aneh dalam masyarakat Indonesia yang biasa mencemplungkan anak ke dunia dengan sikap gampangan.
Pertanyaan Joko ini disalurkan melalui suara Gambir ketika ia berbisik, setengah tertawa dengan rasa sakit, di telinga ibunya yang sudah gemetar: ”Saya masih memaafkan para orang tua yang mempunyai anak dan memberikan kasih sayang.”
Gambir adalah produk jiwa yang sudah rusak karena orang tua yang menyia-nyiakannya. Ada elemen surealis ketika adegan Gambir yang melihat persamaan nasib dirinya dengan sang anak yang disiksa orang tuanya. Saat Gambir akhirnya berhasil menembus ke ruang terlarang itu dan terlontar ke masa lalunya, Joko menampilkan adegan yang paling mengoyak hati, yang menurut saya justru paling sukar dilupakan (dibanding adegan kekerasan yang cukup bertubi).
Kita bukan cuma sekadar pedih, tetapi ikut runtuh sekaligus melihat Gambir kecil yang berupaya terus hidup di antara siksaan itu.
Tetapi sajian Joko Anwar bukan hanya kisah masa kecil seorang Gambir yang buruk, yang tumbuh menjadi lelaki dewasa berjiwa koyak. Setelah ”rahasia” pintu merah terkuak, ternyata kita masih digiring ke labirin otak Joko yang tersulur-sulur ke kiri dan ke kanan. Jika ke kiri, kita akan mendapat alternatif: siapa Gambir sesungguhnya (yang kemudian menyimpulkan seluruh film); jika kita mengikuti jalan ke sebelah kanan, ternyata ada kenyataan gelap yang lain tentang identitas tokoh lainnya: Talyda, Dandung, Rio. Dan setelah memilih pun, ada lagi belokan-belokan baru yang terus saja mengoyak teori yang sebelumnya sudah dibangun.
Hanya satu problem Joko kelak: tidak semua penonton akan mau masuk ke labirin itu. Tidak semua penonton bersedia atau bahkan mau berusaha memahami betapa manusia bisa demikian gelapnya dan rendahnya. Tetapi itu memang risiko yang harus diambil Joko dan para pencipta lain yang sengaja membiarkan ruang-ruang untuk interpretasi dan tafsir.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo