Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bali, Agustus 2007. Seorang wanita 29 tahun meninggal setelah demam tinggi di Rumah Sakit Sanglah, Bali. Putrinya, yang berusia 5 tahun, wafat seminggu sebelumnya, tanpa tes. Sang ibu, warga Desa Tukad, Kabupaten Jembrana, 105 kilometer dari Denpasar, kemudian resmi menjadi ”ikon” pandemi yang berkepanjangan: ia korban flu burung pertama yang teridentifikasi di negeri ini.
Dan deretan korban pun bertambah panjang. Di Indonesia, flu burung kemudian merenggut lebih dari seratus korban hingga April lalu—hampir separuh jumlah korban di dunia. Tak aneh bila Lembaga Pangan dan Agrikultur Dunia (FAO) kemudian memusatkan perhatian kemari. Sebuah kompetisi untuk melaporkan dan mendokumentasikan evolusi dan dampak flu mematikan yang disebabkan virus H5N1 itu digelar pertengahan tahun lalu. Dari 13 orang yang terpilih, tiga di antaranya memamerkan karya fotografi di Galeri Foto Antara, Pasar Baru, Jakarta, hingga awal Januari ini.
Diberi judul Human Faces of Avian Influenza, pameran ini mengingatkan kita akan hubungan yang sungguh intim antara kita, orang Indonesia, dan unggas. Kita memuja unggas saban hari: kita potong, kita makan, kita sabung, kita sajen, kita adu, dikerek di tiang, dijadikan teman dan kebanggaan. Ayam ras dan ayam potong, bebek, angsa, itik, entok, atau burung merpati, semuanya menjadi bagian yang tak sekadar di kandang bambu: mereka ada di bale-bale, di ruang tamu, di samping kasur, dan di candi tua.
Simaklah karya Rony Zakaria, fotografer muda yang pernah terpilih mengikuti workshop di Festival Foto Angkor di Siem Reap, Kamboja. Sungguh iba kita melihat wajah seekor unggas yang diambil close-up. Sekilas pandang kita sudah bisa menebak nasibnya: unggas malang itu sudah tentu tak bernyawa lagi karena menjadi sesaji di Bali. Matanya melebar, membelalak, mungkin karena dicengkeram demikian kuat. Mata yang abu-abu, nyaris biru.
Dalam serial fotonya The Shadow of Pandemic, Rony jeli mengambil gambar kehidupan babi dan ayam di Bali yang saling mengisi. Para babi kecil lucu dan menggemaskan, ayam jantan mondar-mandir pamer taji, dan anjing liar berkeliaran bebas—semuanya memiliki potensi menyebarkan virus H5N1 ke manusia. Dan beberapa foto dari tajen (sabung ayam di Bali) yang bahkan tanpa ayamnya pun tetap menyuguhkan pemandangan menarik tentang betapa terobsesinya kita dengan ayam.
Kemal Jufri, fotografer senior yang memasok karyanya antara lain ke majalah Time, Der Spiegel, dan New York Times Magazine, menyuguhkan serialnya yang berjudul Of Fowls and Men. Sebagian di antaranya menjadi potret dari mereka yang mengakrabi unggas sebagai bagian dari pencapaian diri. Seperti wajah Kiai Haji Abdul Mukti dan putranya, M. Sarkawi, yang dengan bangga memeluk ayam bekisar unggulan mereka di ruang tamu rumahnya di Pulau Madura, Jawa Timur. Lalu potret Pak Machmoud dari Desa Beji, Kedu, Jawa Tengah. Ia pengusaha ayam cemani yang sudah berkali-kali menang lomba.
Ada pula foto Budi, pemilik 15 ayam bekisar yang lima di antaranya mati akibat flu burung selama empat bulan berturut-turut. Foto Indar Roub dan Sukarjono, pelatih burung merpati di Muntilan, Jawa Tengah. Foto Totot, penjual burung merpati yang tidur di bawah kandang-kandang burungnya di pasar burung Ngasem, Yogyakarta. Dan foto polah keseharian Ramli, seorang bebotoh (tukang adu ayam) yang sudah 12 tahun berkecimpung dalam bidangnya. Setiap hari ia merawat 40 ekor pejantan yang kerap dielus-elus dan diremas tubuhnya agar bisa pol bertanding di medan laga. Kemal ingin petugas tak sembarangan memusnahkan unggas-unggas itu. ”Ini hidup mereka,” katanya.
Terakhir, simaklah karya Danu Primanto. Dari pasar unggas di Bantul dan Sleman, Danu memotret ayam-ayam yang ditaruh di dalam kandang sempit, diikat di sepeda motor, ditumpuk di truk, hingga beberapa di antaranya mati, dan buru-buru dijual di pasar pada dinihari. Karya Danu yang ditempelkan berderet-deret justru menampilkan imaji luar biasa keji.
Adakah dengan pameran foto ini kita menjadi sadar akan bahaya unggas atau makin menyayanginya?
Kurie Suditomo dan Sita Planasari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo