Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pembatasan koneksi media sosial, seperti WhatsApp dan Facebook, oleh pemerintah untuk mencegah beredarnya hoax, diantisipasi masyarakat dengan beralih ke layanan virtual private network (VPN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namun, pengamat digital memperingatkan bahwa langkah mengakali koneksi yang lambat tersebut, perlu memperhatikan cara kerja dan konsekuensi dari layanan VPN.
“VPN publik ini apalagi yang gratis, memang bisa membantu, tetapi banyak masyarakat yang tidak sadar, apa timbal balik dari layanan yang gratis ini,” ujar pengamat digital, Lucky Sebastian, kepada Tempo, Kamis, 23 Mei 2019.
Lucky menjelaskan bahwa penyedia VPN ini membutuhkan biaya karena mereka harus sewa server dan memiliki IP di beberapa negara. “Dengan memberi gratis untuk apa? Secara skala bisnis kan meragukan ya. Kemungkinan besar pasti ada "biaya" yg harus dibayar pengguna ke penyedia layanan VPN publik gratis ini,” ujarnya.
Untuk itu ada pengelola VPN yang memberikan limit waktu atau batasan kuota, setelah itu harus berbayar sebagai salah satu strategi bisnis. Namun, ada juga yang memberikan gratis terus menerus.
Menurutnya, meski website yang dituju pengguna tidak bisa "melihat" koneksi pengguna dari mana saat menggunakan VPN, misal pengguna di Indonesia, akan terbaca dari Singapura atau Amerika, tetapi penyedia layanan VPN bisa melihat pengguna berasal dari mana.
“Kemudian apa saja yang kita lakukan saat terkoneksi dengan VPN, website jenis apa yang sering kita kunjungi, kebiasaan-kebiasaan apa di internet yang kita lakukan, dan lain-lain, ini adalah data berharga untuk mereka. Data ini bisa diolah sedemikian rupa, dan mungkin dijual ke berbagai perusahaan yang membutuhkan,” ujar Lucky.
Oleh karena itu, Lucky memperingatkan pengguna untuk berhati-hati dengan VPN. “Di satu sisi kita tertolong dengan cloaking, bersama datanya di website atau layanan internet yang kita kunjungi dan sulit di track back, tetapi tetap terdata oleh penyedia jasa VPN,” ujarnya.