Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Digital

Singapura Kirim 10 Kecoa Cyborg Bantu Korban Gempa Myanmar

Singapura kirim kecoa Ini merupakan kali pertama di dunia, kecoa cyborg digunakan dalam operasi kemanusiaan.

8 April 2025 | 10.42 WIB

Ilustrasi gempa bumi. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi gempa bumi. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 10 kecoa cyborg dari Singapura dikerahkan ke Myanmar untuk membantu operasi pencarian dan penyelamatan usai gempa bumi bermagnitudo 7,7 mengguncang negara itu 28 Maret lalu. Bencana tersebut menewaskan lebih dari 3.000 orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Serangga hibrida tersebut diterbangkan ke Myanmar dan bergabung dengan kontingen Operasi Lionheart milik Pasukan Pertahanan Sipil Singapura (SCDF) pada 30 Maret. Ini merupakan kali pertama di dunia kecoa cyborg digunakan dalam operasi kemanusiaan, sekaligus menandai debut penggunaan robot hibrida serangga di lapangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecoa cyborg itu dikembangkan oleh Home Team Science and Technology Agency (HTX) bekerja sama dengan Universitas Teknologi Nanyang (NTU) dan Klass Engineering and Solutions. Tim HTX yang terdiri dari dua insinyur, bersama dua insinyur dari Klass Engineering, bergabung sehari setelah SCDF mengirim 80 personel dan empat anjing pelacak ke Myanmar pada 29 Maret.

Kecoa jenis Madagascar hissing ini dilengkapi dengan kamera inframerah dan sensor, serta memiliki panjang sekitar 6 cm. Ukurannya yang kecil memungkinkan mereka menelusuri celah-celah sempit di bawah reruntuhan, dan dikendalikan secara jarak jauh. Pergerakannya diatur melalui elektroda, dan data yang dikumpulkan diproses menggunakan algoritma kecerdasan buatan untuk mendeteksi tanda-tanda kehidupan. Informasi itu kemudian dikirim secara nirkabel ke tim insinyur di lapangan untuk mendukung pengambilan keputusan.

Meskipun belum menemukan korban selamat, kecoa cyborg telah menjangkau beberapa wilayah terdampak paling parah. Mereka pertama kali digunakan pada 31 Maret dan pada 3 April di ibu kota Naypyitaw.

Insinyur HTX Ong Ka Hing mengatakan timnya tiba di Yangon setelah menempuh penerbangan tiga jam, lalu melanjutkan perjalanan darat selama tujuh jam menuju lokasi untuk bergabung dengan SCDF. “Jalan-jalan retak dan kami harus beberapa kali memutar arah. Kami juga melihat banyak orang kehilangan tempat tinggal, tidur di tempat terbuka, tanpa cukup makanan dan air. Ini pengalaman yang surreal,” kata Ong dalam wawancara video pada 4 April lalu, dikutip dari laporan The Straits Times

Misi pertama mereka adalah di area rumah sakit yang runtuh seluas dua lapangan sepak bola. Setelah SCDF menyisir sebagian area dengan anjing pelacak, mereka meminta HTX melakukan pemeriksaan lanjutan menggunakan kecoa cyborg selama sekitar 45 menit.

Rekan Ong, Yap Kian Wee, turut merasakan suasana duka di lokasi saat seorang warga menghampirinya. “Dia datang dan mengatakan bahwa saudaranya berada di dalam rumah sakit saat bangunan itu runtuh, dan berharap kami bisa membantu menemukan korban selamat. Mendengarnya sungguh menyedihkan,” kata Yap.

Yap juga menyaksikan warga berdiri sepanjang hari di sekitar bangunan yang runtuh, berharap orang yang mereka cintai ditemukan, baik dalam kondisi hidup maupun meninggal. Yap melihat tim penyelamat lain mengevakuasi jenazah dari bawah reruntuhan.

Pada 30 Maret, SCDF berhasil menyelamatkan seorang pria dari bawah bangunan tiga lantai yang runtuh setelah delapan jam pencarian. Namun tim penyelamat menghadapi tantangan berat, seperti suhu yang mencapai 38 derajat Celsius, kemungkinan hujan, serta gangguan pasokan listrik dan air. Panggilan video dengan The Straits Times juga sempat terputus akibat pemadaman listrik di lokasi.

Meski menghadapi situasi sulit, Ong dan Yap menyatakan komitmennya untuk tetap bersama tim SCDF selama dibutuhkan. Mereka menyebut kecoa masih dalam kondisi baik dan bertahan hidup dengan makanan berupa wortel dan air. “Kami punya rasa tanggung jawab yang membuat kami ingin terus mengembangkan teknologi ini agar bisa menemukan korban lebih cepat,” kata Yap.

Ong menyebut pengalaman ini membuka wawasan baru tentang tantangan lapangan. “Pengujian di Singapura sangat berbeda. Di sini situasinya nyata dan dinamis. Kami mengalami beberapa masalah teknis, dan tidak semuanya berjalan mulus. Tapi semua ini adalah pelajaran berharga yang akan membantu kami meningkatkan teknologi untuk misi-misi di masa depan,” ujarnya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus