Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA muda. Mereka bernyali. Mereka maniak permainan atau yang sehari-hari disebut game. Tanpa modal memadai atau ilmu mumpuni, merekalah yang menghidupkan industri permainan di Indonesia. Kini, mereka menjadi duta negeri di dunia: lebih dari cukup untuk memaklumatkan bahwa Indonesia juga bisa membuat game jempolan.
Silakan mengujinya di Taiwan atau Hong Kong. Selama berpekan-pekan, penggila game di sana demam Burning Armor Code E. Game ini buatan Max Studio di Jakarta.
Sayang, belum banyak yang seperti Max Studio. Dengan mengecualikan game developer yang hanya menjadi subkontraktor perakit game besar, apa yang disebut sebagai studio game yang benar-benar serius menggarap bisnis ini masih bisa dihitung dengan jari. Di Jakarta ada Altermyth Studio dan Braincode Solutions, selain Max Studio. Di Bandung, ada Menara Games dan id Game Studios. Nun di Malang, berkantor Wandah Studio. Rata-rata studio itu baru berumur dua atau tiga tahun.
Walau begitu, sederet prestasi telah digores. Burning Armor Code E adalah raja pada adu rancang game Cutting Edge Coding Competition 2006 yang digelar akhir September lalu oleh Element Interactive, perakit game dari Belanda, bersama situs Clickgamer.com.
Kedigdayaan Burning Armor di ajang Cutting Edge adalah buah dari upaya memeras keringat bertahun-tahun. Ricky Suryo Utomo, 26 tahun, Manajer Max Studio, mengatakan, Burning Armor Code E dikembangkan dari versi pertama Burning Armor yang merupakan proyek game pertama Max Studio pada 2004. Game ini dirancangnya berdua dengan teman kuliahnya di Sekolah Tinggi Teknik Surabaya, Leander Hartono Widodo.
Selama enam bulan penuh keduanya berkutat dengan kode pemrograman C++ dan grafis Burning Armor. ”Rasanya seperti mau nangis,” kata Leander. Wajar saja, meski keduanya lulusan teknik informatika, mereka tidak punya pengetahuan dan pengalaman sama sekali bagaimana merancang sebuah game.
Kemudian kerja keras terbayar tuntas. Burning Armor laris manis. Di Hong Kong dan Taiwan, Burning Armor selama berpekan-pekan menduduki peringkat atas di daftar game terlaris untuk perangkat komputer saku dengan sistem operasi Windows Mobile 2003.
Pembuat komputer saku O2 sempat terpikat dan menawarkan Burning Armor dijual menjadi satu (embedded game) dengan perkakas tersebut. Namun, rencana ini batal karena O2 minta Burning Armor dibuat dalam tiga dimensi. Gara-gara Burning Armor pula, negeri tetangga berniat membajak tim Max Studio.
Otoritas Malaysia, Multimedia Super Corridor, menawarkan ”bedol desa” alias pindah kantor ke Malaysia. Mereka menjanjikan kantor yang nyaman, kredit murah, fasilitas multimedia serba lengkap, dan akses ke pasar dunia. Tapi mereka memilih bertahan di Indonesia.
Selain Burning Armor yang kini tersedia dalam versi Windows Mobile 2003 dan Microsoft Windows untuk komputer, tim Max juga telah menelurkan beberapa game lain seperti Buru-buru, Messy-messy, Fitfat, dan OmniFlash.
Altermyth Studio adalah tempat lain bagi para maniak game berkubang dengan pemrograman dan grafis. Jika Max memilih merancang game ”ringan” berbasis Microsoft Windows Mobile dan Windows, Altermyth memilih membuat game yang butuh ketahanan napas panjang, baik fisik, mental, maupun dana, yakni multiplayer game tiga dimensi di internet.
Kenapa Altermyth memilih jalan sulit? ”Selain menghindari pembajakan, dengan membuat game yang multiplayer, nama Altermyth juga bakal langsung dikenal orang,” kata Marlin Sugama, 26 tahun, Manajer Altermyth Studio.
Akibatnya, game utama karya mereka baru satu: INSPIRIT Arena, yang sudah digarap sejak Januari 2003. INSPIRIT terinspirasi oleh karakter-karakter dalam buku Lords of the Ring karya J.R.R.Tolkien. Model permainannya merupakan kombinasi catur dan permainan kartu, yakni satu lawan satu pemain.
Jika catur hanya punya dua bidak, yakni putih lawan hitam, INSPIRIT memiliki 200 karakter yang terbagi dalam enam ras. Seperti dalam catur, masing-masing karakter mempunyai cara berjalan yang berbeda, lengkap dengan efek audio visual unik. Mereka dinamai seperti karakter-karakter dalam buku Tolkien. Ada Adriel, North Redeemer dari ras kelas Human Warrior, Blind Forger dari ras kelas insinyur Goblin, atau Butcher Knight dari ras kelas ksatria Morgoul.
Semula Altermyth terdiri dari empat orang: satu pemrogram, dua desainer grafis, dan satu orang di bagian pemasaran. ”Awalnya tidak ada target apa-apa. Cuma mau membuktikan kalau kami juga bisa membuat game multiplayer,” kata Andi Martin, 29 tahun, Direktur Kreatif Altermyth. Maklum, selama ini pasar multiplayer game internet Indonesia kini dikuasai games buatan Korea Selatan, seperti Ragnarok atau Pang Ya, sampai akhirnya investor datang menawarkan dana untuk membiayai proyek INSPIRIT. Tim Altermyth pun kemudian menggelembung menjadi 25 orang.
Akhir September lalu, INSPIRIT diganjar penghargaan peranti lunak terbaik kategori riset dan pengembangan pada APICTA Indonesia 2006. Akhir November ini, setelah hampir tiga tahun, versi percobaan (open beta) INSPIRIT bakal segera diluncurkan bekerja sama dengan PT Boleh Net Indonesia.
Tak hanya di Jakarta, gairah membuat game juga menjalar ke daerah. Salah satu alumnus Altermyth, Satya Pramathana, mendirikan Menara Games di Bandung bersama Christian Senjaya, jebolan studio permainan di Singapura. Karya mereka baru satu, yaitu game komputer berbasis Windows, Balloon Express.
Balloon digarap berdua sejak Juli 2005 dan kelar pada Maret 2006. Konsepnya: pemain mengendarai balon udara mengantarkan surat dan paket dari rumah ke rumah di bawahnya. ”Perlu kejelian mata dan ketangkasan untuk menghindari salah kirim,” kata Satya.
Di Malang, Jawa Timur, Wandah Wibawanto, 23 tahun, merancang, membuat game, dan mengelola studionya sendirian. ”Mulanya karena hobi membuat game,” kata lulusan Universitas Negeri Malang tersebut. Karyanya berderet, sebagian besar berupa flash game, antara lain Taxi Challenge, Sim Lemonade, Apache Longbow, dan Dig Dog Out.
Altermyth, Max, Menara, atau Wandah, jelas, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan studio-studio besar seperti Electronic Arts (EA), LucasArts, Activision, atau Konami. Karena, seperti kata Ricky, ”Kami tidak bisa dibandingkan dengan mereka. Yang penting, dunia tahu kita punya kemampuan.”
Sapto Pradityo
Dari Hobi Jadi Industri
Ini dia darah muda yang menumbuhkan kuncup industri game Indonesia. Hampir semuanya bermula dari hobi.
Max Studio Permainan utamanya Burning Armor Code E, yakni game menembak mirip Raptor atau Raiden. Game ini dapat beroperasi pada perkakas komputer saku berbasis Microsoft Windows Mobile 2003 Pocket PC atau komputer berbasis Microsoft Windows
Altermyth Studio Karya utamanya game multiplayer tiga dimensi INSPIRIT Arena. Segera masuk tahap open beta.
Braincode Solutions Punya puluhan game untuk ponsel seperti Anti Teroris Unit 1 & 2, Tiga Jadi, Dam daman, dan Pentung Bandit
Menara Games Karyanya baru satu, yakni Balloon Express
id Games Studio Tengah menggarap proyek G1
Wandah Flash Game Studio Punya beberapa flash game seperti Taxi Challenge, Sim Lemonade, dan Apache Longbow.
Divine Kids Game buatan David Setiabudi ini sempat diberi gelar oleh Museum Rekor Indonesia sebagai game pertama buatan Indonesia. Predikat ini diprotes kalangan pembuat game.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo