Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yudhoyono dan Kalla lazim bertemu. Tapi pertemuan kedua pemimpin di Istana Negara, Jumat dua pekan lalu, sungguh dinanti orang ramai. Inilah perjumpaan pertama mereka sesudah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani?pada 29 September 2006?surat keputusan pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi alias UKP3R. Isu tentang Unit Kerja itu mulai meledakkan kontroversi sejak dua pekan lalu.
Pro dan kontra terhadap Unit Kerja, yang dibentuk Presiden, menjadi menu utama diskusi politik di Ibu Kota beberapa minggu terakhir. Termasuk dalam Partai Golkar, yang melaksanakan musyawarah nasional pada Senin pekan ini. Ramai disebut, soal ini menaikkan suhu hubungan kedua pemimpin hingga nyaris ke titik didih.
Alhasil, hampir seratus wartawan mengantre, menunggu hasil pembicaraan Yudhoyono-Kalla. Wakil Presiden tiba menjelang siang. Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang lengkap dengan kopiah, dan membawa serta sejumlah berkas dalam sebuah map berwarna hijau telur asin. Eh, para juru warta kecele. Pak Presiden dan Pak Wakil cuma tersenyum saat meninggalkan Istana menuju tempat bersalat Jumat.
Alih-alih memberi bocoran hangat, juru bicara presiden Andi Mallarangeng ganti meyakinkan wartawan bahwa hubungan dua petinggi Republik Indonesia itu kian solid saja. Tapi pertemuan mereka sejatinya tak sehangat paparan Andi. Seorang sumber yang makan siang bersama Kalla di kamar kerjanya sepekan setelah acara di Istana Negara menuturkan ceritera ini kepada Tempo: pertemuan berlangsung kikuk. Kalla mengambil sebuah berkas dari mapnya, menyodorkannya ke arah Presiden, lalu bilang: ?Apakah perjanjian ini masih berlaku??
Si sumber menirukan ucapan Kalla berikutnya, ?Apakah Bapak masih akan menghormati janji kita dulu?? Pria Bugis itu meminta jawaban tegas. Tidak diketahui persis jawaban Yudhoyono. Tapi orang dekat Kalla menjelaskan bahwa Presiden menjanjikan, Unit Kerja yang ia bentuk tidak akan memangkas wewenang Wakil Presiden.
Perjanjian yang ditunjukkan Jusuf Kalla dalam pertemuan empat mata itu adalah semacam nota kesepahaman. Ada yang menyebutnya kontrak politik. Dibikin sebelum keduanya berikrar menjadi calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum 2004, nota kesepahaman itu, menurut sumber Tempo di lingkaran Kalla, ditandatangani Presiden Yudhoyono pada 16 April 2004 di Hotel Darmawangsa, Jakarta Selatan.
Tebalnya cuma dua halaman. Isinya, pembagian tugas antara Yudhoyono dan Kalla jika menang pemilihan umum. ?Di situ jelas-jelas ditegaskan apa saja tugas wakil presiden kalau mereka terpilih,? katanya. ?Salah satunya mengurus masalah ekonomi,? kata Alwi Hamu, staf khusus wakil presiden yang pernah melihat nota tersebut.
Di situ, menurut Alwi, disebutkan pula wakil presiden bukan ban serep. Kata ban serep diberi tanda kutip. Nah, sejumlah orang dekat Jusuf Kalla menilai fungsi dan tugas Unit Kerja Presiden bakal menggergaji wewenang Wakil Presiden sehingga bisa-bisa Pak Wakil terjungkal menjadi sekadar ?ban serep?.
Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) yang diributkan itu lahir lewat Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2006 pada 29 September lalu. Terdiri atas 18 pasal, isinya memuat fungsi, kedudukan, status, juga soal pendanaan. Tugasnya membantu presiden memantau, mengendalikan, dan mempercepat pelaksanaan program reformasi. Prioritas tugas ada pada perbaikan iklim usaha, investasi, reformasi administrasi, peningkatan kinerja badan usaha milik negara (BUMN), perluasan peranan usaha kecil menengah, dan perbaikan penegakan hukum.
Unit Kerja Presiden bisa menggunakan jasa konsultan dari luar pemerintah atas persetujuan presiden. Kepala Unit dapat menghadiri sidang kabinet paripurna dan sidang kabinet lain sesuai dengan keperluan. Dia juga diberi hak keuangan dan fasilitas lain setara menteri. Pendanaan diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta sumber lain yang sesuai dengan ketentuan.
Selain dituding memangkas wewenang Wakil Presiden, Unit Kerja dianggap tumpang tindih dengan tugas Menteri Koordinator Perekonomian dan Sekretaris Kabinet. ?Coba lihat baik-baik, tugas Sekretaris Kabinet malah lebih detail dari tugas unit ini,? kata orang dekat Jusuf Kalla, keheranan.
Kisruh inilah yang dicoba diselesaikan dalam pertemuan Jumat dua pekan lalu. Tapi hasilnya malah membikin bingung. Orang-orang dekat Jusuf Kalla mengaku hasil pertemuan adalah membekukan Unit Kerja. Tapi juru bicara presiden, Andi Mallarangeng, memastikan, ?Unit Kerja jalan terus, tidak dibekukan.?
Ajaibnya, dua informasi yang bertolak belakang itu sama-sama diklaim bersumber dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Presiden Yudhoyono. Dan sama-sama tersiar setelah keduanya bertemu di Istana Negara.
Sesudah dua tahun berkuasa, inilah pertama kalinya Kalla dan Yudhoyono berselisih secara langsung dan terbuka. Sebelumnya ada saja kabar perselisihan beredar. Tapi orang-orang dekat mereka selalu menampik. Kalla juga rajin membantah.
Berita pertama tentang retaknya kongsi kedua tokoh meruyak saat pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu pada Oktober 2004. Yudhoyono, yang akrab disebut SBY, dan Kalla, yang sering disapa JK, sama-sama menjagokan calonnya untuk pos menteri ekonomi. Sampai-sampai ada yang berkomentar kabinet terbelah dua: blok menteri Yudhoyono dan blok menteri Kalla.
Kontroversi lain muncul lima hari sesudah tsunami menggulung Aceh. Saat itu Kalla menerbitkan Surat Keputusan Wakil Presiden/Ketua Badan Koordinasi Bencana Nasional tentang susunan tim penanganan bencana. Dan itu menjadi masalah, sebab dalam kamus tata negara kita tidak dikenal istilah keputusan wakil presiden. Kalla membantah jika dikatakan dia menyalip Yudhoyono. ?Coba bayangkan. Jika saya tidak bertindak cepat, saya akan dituduh lambat atau diam,? dia berkeluh pada suatu ketika.
Meregangnya hubungan mereka kembali terdengar saat reshuffle kabinet pada Desember 2005. Kalla diberitakan tidak setuju dengan pergeseran Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Aburizal Bakrie menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Tapi Pak Wakil memastikan kepada wartawan tidak ada setori soal itu. ?Pergantian menteri merupakan hak prerogatif presiden,? ujarnya.
September 2005 tiba. Presiden berkunjung ke Amerika Serikat. Dari negeri jauh itu, berita kembali bertiup: kedua tokoh, lagi-lagi, tak sepaham. Ketika itu Presiden menggelar rapat kabinet jarak jauh dengan sejumlah menteri?biayanya sekitar Rp 426 juta. Semula Wakil Presiden hadir. Entah kenapa belakangan ia memilih absen.
Sejumlah pengamat menilai rapat jarak jauh itu bukti bahwa Presiden Yudhoyono tidak percaya pada wakilnya. Jawaban Kalla kepada Tempo: ?Tidak masalah. Presiden ingin laporan langsung para menteri.? Di lain kesempatan, dia memastikan kepada majalah ini bahwa keduanya akur-akur saja: ?Kami duet, bukan duel.?
Boleh jadi demikian. Tapi pembentukan Unit Kerja Presiden, yang diumumkan 31 Oktober lalu itu, agaknya membikin Kalla tak lagi sudi merendahkan suara. Kepada wartawan, JK mengaku tidak tahu-menahu soal pembentukan itu. ?Saya tidak tahu soal Unit Kerja itu. Saya tidak pernah dilibatkan,? sahutnya ketika ditanya wartawan.
Pengakuan Jusuf Kalla dibantah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang juga ikut merancang Unit Kerja. Sumber Tempo di lingkar petinggi KPK mengatakan, masalah ini sudah dibahas sejak Oktober 2004 dalam rapat kabinet. Dan Kalla mengetahui hal itu. Petinggi KPK itu bahkan bertemu JK pada 15 Juli 2005.
Kepada Tempo, Kalla membenarkan pertemuan dengan KPK. Saat itu, katanya, dia didampingi Syahrul Ujud, sekretaris wakil presiden, dan Muhammad Abduh, penasihat wakil presiden. Tapi agenda pembicaraan cuma menyangkut perbaikan birokrasi. Soal Unit Kerja Presiden, Kalla kukuh, ?Sebiji pun saya tidak pernah dikasih tahu.?
Pengakuan Kalla kontan menyulut amarah pengurus Golkar, partai terbesar di Indonesia yang kini ia pimpin. Beberapa pengurus daerah bahkan mendesak petinggi Beringin agar menarik dukungan dari pemerintah. Ada pula yang mengancam bakal menjadi oposisi. ?Mau jadi apa pemerintah ini jika Golkar bergabung dengan PDI Perjuangan di parlemen?? kata seorang petinggi partai kepada Tempo.
Adapun PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri, yang meraih 108 kursi di parlemen, sudah mendeklarasikan diri sebagai oposisi. Jika Golkar?kini menguasai 128 kursi?ikut-ikutan jadi oposisi, kekuatan lawan Yudhoyono di parlemen melejit ke 236 suara, dari 550 total suara di parlemen. Ini belum menghitung partai kecil lain yang keberpihakannya belum jelas.
Tapi, bila suatu keputusan harus dipungut melalui jalur voting, diperlukan 276 suara?dengan rumus setengah plus satu?untuk mengajukan hak angket, misalnya. Hitung-hitungan di atas kertas ini memang cukup rawan untuk pemerintahan SBY.
Duet Yudhoyono-Kalla memang unik dalam sejarah politik Indonesia. Menurut Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, posisi wakil presiden sebagai pembantu presiden. Dengan lain kata, sekadar ?ban serep?.
Tapi nota kesepahaman Darmawangsa serta posisi Kalla sebagai Ketua Umum Golkar menjadikan dia bukan sekadar pembantu. Dialah wakil presiden yang posisinya terbilang kuat sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Alhasil, sulit menghapus kesan ?matahari kembar? dalam pemerintahan ini.
Untung saja kisruh soal Unit Kerja Presiden bisa diredam. Paling tidak, itu kesan sementara, setelah Yudhoyono dan Kalla bertemu kedua kalinya Rabu pekan lalu. Sehari kemudian, Presiden mengumumkan bahwa Unit Kerja jalan terus. Tata kerjanya disusun ulang.
Jawaban Kalla seusai pengumuman itu agak sulit ditebak arahnya: ?Soal Unit Kerja, saya kira sudah selesai semua.? Tapi pada lain kesempatan dia bilang, ?Saya tidak punya hak untuk mengatakan setuju atau tidak setuju dengan Unit Kerja itu.? Sejumlah kalangan menilai, jawaban itu mencerminkan Wakil Presiden belum ikhlas menerima Unit Kerja.
Sumber Tempo di Golkar malah menilai perselisihan dua petinggi ini bakal awet. Apalagi kader Partai Golkar dan Partai Demokrat, partai yang didirikan Yudhoyono, sudah berseteru secara terbuka.
Riwayat perselisihan sepanjang dua tahun ini, kata sumber itu, sulit menyatukan Yudhoyono dan Kalla dalam Pemilihan Umum 2009. Aksa Mahmud, adik ipar Jusuf Kalla, dengan sigap membantah tudingan pecah kongsi itu. Pasangan ini, menurut dia, masih berduet di 2009.
?Mereka bagai ikan dan air,? katanya.
Wenseslaus Manggut, Wahyu Muryadi, dan Ramidi
Selisih Paham Dua Tahun
6 Oktober 2004 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) tarik ulur soal calon menteri, terutama penunjukan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang kabarnya tidak disetujui Jusuf Kalla.
5 Mei 2005 Berbeda pendapat tentang anggota Tim Penilai Akhir rekrutmen direksi dan komisaris badan usaha milik negara. Kalla dikabarkan menolak Ketua BIN dan Menteri Pendayagunaan Aparatur menjadi anggota tim, padahal SBY memilih keduanya.
12 September 2005 Presiden menggelar konferensi jarak jauh dengan kabinetnya dari luar negeri. Padahal sebelumnya dia sudah menerbitkan surat pelimpahan wewenang kepada JK.
1 Oktober 2005 Tidak sepakat tentang waktu pemberlakuan kenaikan BBM. JK menginginkan kenaikan BBM secepat mungkin, SBY mempertimbangkan dampak sosialnya.
29 September 2006 Presiden bentuk Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R) dan menunjuk bekas Jaksa Agung Marsillam Simandjuntak mengepalai unit tersebut. JK mengatakan dia tidak ikut dilibatkan dalam proses tersebut.
31 Oktober 2006 Sekembalinya dari kunjungan ke Cina, Presiden menggelar siaran pers untuk menjelaskan perihal pembentukan UKP3R. Presiden mengatakan unit itu diperlukan untuk membantu tugas kepresidenan.
3 November 2006 SBY-JK berbicara empat mata membahas pro-kontra yang timbul tentang UKP3R. Kepada Ketua Umum Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi, JK mengatakan UKP3R diendapkan.
4 November 2006 Juru bicara Presiden Andi Mallarangeng membantah perihal pengendapan UKP3R. Dua hari kemudian, Presiden menyusun ulang tata kerja UKP3R, termasuk tugas dan pekerjaan teknisnya.
8 November 2002 Untuk kedua kalinya SBY-JK bertemu empat mata membahas UKP3R.
9 November 2006 SBY menegaskan UKP3R tetap berjalan di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian.
Ramidi Sumber: riset Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo