Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejenak, ia menatap ke atas panggung. Ia menghitung-hitung anak tangga, menggumam bismillah, kemudian melangkah perlahan. Tak boleh meleset, langkah pertama setelah anak tangga terakhir adalah langkah kaki kanan.
Sebuah piano, grand piano, telah menunggunya. Ia, Ananda Sukarlan, 36 tahun, memang memperlakukan konser-konsernya sebagaimana suatu ritual yang sakral. Dari atas panggung ia berbagi cerita tentang sejumlah komponis, juga karya-karyanya. Shostakovich, komponis Rusia yang menentang diktator Joseph Stalin dengan musik-musik yang menyuruh orang berpikir, merenung. Atau W.A. Mozart, yang tidak hanya menghasilkan karya-karya cerah, warna-warni pelangi, musik yang menghibur. Mozart melahirkan puluhan sonata untuk piano, tapi pilihan Ananda jatuh pada satu karya yang matang, tiga tahun sebelum kematiannya yang tragis pada 1791.
Waktu itu, suatu malam tahun lalu, Ananda di depan piano, di Gedung Kesenian Jakarta. Sonata dalam A minor K. 310 dimainkan. Musik intens—tanpa perkenalan, langsung menyerbu kuping penonton dengan nada-nada kromatis. Potongan melodi yang sama muncul berkali-kali. Sesekali musik bergerak dari minor ke mayor, memperlihatkan kontras yang tegas; tapi itu tak berlangsung begitu lama. Pada akhirnya nada-nada kembali ke habitat sesungguhnya: suasana minor yang suram. Dan kita tahu, Mozart menulis musik itu di Paris, ketika masyarakat tak lagi menoleh kepadanya. Ia merasa dicampakkan.
Komponis makhluk yang kerap dikelilingi citra romantis. Kita gampang membayangkan seseorang menggubah musik pada malam yang temaram. Dunia di sekitarnya senyap, tapi hatinya gemuruh oleh gagasan; ramuan ajaib nada dan irama di tangannya. Ananda sendiri senang mengutip seorang komponis Prancis, Olivier Messiaens (1908-1992), penganut Katolik yang percaya reinkarnasi. Messiaens yakin: musisi adalah hasil reinkarnasi burung. ”Nggak tahu, saya berasal dari burung apa,” kata Ananda terkekeh.
Ananda kini bukan lagi anak Senen yang dua dasawarsa silam gemar menonton pertunjukan Wayang Orang Bharata, Senen Raya. Gedung pertunjukan yang sepi penonton, tapi membubuhkan pengaruh musikal pada dirinya. Tempat dulu ia mengenali slendro dan pelog: gamelan Jawa yang sekarang ini sangat mewarnai karya-karyanya. Ananda jelas bukan sebutir kerikil dalam dunia musik. Selalu ada komponis yang menyodorkan partiturnya, karya mutakhirnya, untuk dimainkan Ananda, sebelum komposisinya disentuh orang lain. Ananda mencicipi, menafsirkan, lalu memperkenalkannya kepada dunia luar lewat konser-konsernya.
Ananda terkenal. Ia satu-satunya orang Indonesia yang oleh The International Biographical Center of Cambridge, Inggris, diabadikan dalam buku prestisius 2000 Outstanding Musicians in the 20th Century. Ia memainkan Anandamania, sebuah masterpiece, karya komponis Spanyol Santiago Lanchares, sebelum orang lain melakukannya. Hidup Ananda adalah perjalanan panjang dari gedung konser yang satu ke gedung konser yang lain. Tahun lalu, dari Gedung Kesenian Jakarta, ia terbang jauh; bermain di #Sydney, Edinburg, Madrid, London, New York, Berlin, atau Wellington. Ananda adalah tokoh yang aktivitasnya dicatat oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan prestasi menyerupai olahragawan: pianis Indonesia yang paling sering menggelar konser di mancanegara.
Ananda memiliki semua. Manakala layar disibak, lampu di ruang pertunjukan dipadamkan, penonton didesak melemparkan pandangan ke sebuah lingkaran spotlight: Ananda di tengah-tengahnya. Ananda adalah nukleus dan ia mempunyai kekuasaan, kontrol atas seisi ruangan. Tahun lalu, di Gedung Kesenian Jakarta ia memainkan Mozart, Shostakovich, Trisutji Kamal, semua mendengarkan. Tahun ini di Hotel Shangri La, Jakarta, ia membawakan Ismail Marzuki, Santiago Lanchares, beberapa komponis lainnya, semua menyimak. Dan manakala Ananda melontarkan lelucon, semua tertawa.
Di sebuah desa terpencil, di perbukitan Cantabria, kota kecil di utara Spanyol, ia hidup bersama keluarganya. Rumah dengan halaman luas; jauh dari lampu panggung, tak ada penonton yang bertepuk. ”Seperti Puncak, tapi tak ada vilanya, kecuali rumah saya,” tuturnya. Ia bercerita tentang para tetangganya, petani, peternak, dan tukang kayu. Tentang koleksi kaktusnya yang meliputi ratusan spesies. ”Saya biasa berkebun kalau sedang di rumah.”
Kita tahu Ananda lahir di Rumah Sakit Gatot Subroto, belajar di SD di Gunung Sahari, sampai kemudian lulus dari SMA Kanisius Jakarta. Ananda, putra Letkol Sukarlan dan Poppy Kumudastuti; kulitnya cokelat, wajahnya Melayu. Tapi Ananda berbeda. Ia lebih mengenal karya Shakespeare, Walt Whitman, Robert Frost, ketimbang Chairil Anwar atau Sitor Situmorang. Ketika berbicara tentang cinta, ia memilih menyitir Symposium-nya Plato. Ananda memang tak fasih mengutip, misalnya, Serat Centhini. Ia berbeda. Sebelum memetik gelar master, ia lulus dari Den Haag Kingdom Conservatory, pada 1993, summa cum laude.
Kini di rumahnya yang berbatasan dengan daerah Basque itu, Ananda sehari-hari berbahasa Spanyol. Tiada yang menghubungkannya dengan Indonesia. Ia hidup bersama istri Spanyolnya, Raquel Gomez; dan putrinya, Alicia Pirena Sukarlan, 7 tahun. Ananda membeli rumah di Cantabria, ketika konser musiknya mulai laku, kondisi ekonominya mulai mapan. Spanyol diyakini sebagai kiblat musik setelah Austria pada abad ke-18, kemudian Jerman. Di sana ia menjadi seorang ayah dan suami yang baik, pianis konser yang melatih jemarinya dengan tekun, seorang komponis yang terus menggali, menciptakan komposisi.
Ananda melihat dan menyerap. Dari legasi Leonid Bernstein, komponis Amerika, ia menarik kesimpulan: musik klasik bukan cuma milik Eropa. Isinya tak mesti mengikuti bentuk. Ia universal, bisa ”berbunyi” Jepang, Cina, India, bahkan Indonesia. Dulu, para komponis Eropa Timur, Stravinsky, Rachmaninov, mengisi bentuk itu dengan musik rakyat. Kini Ananda menempuh jalan yang sama, dan mengisinya dengan gamelan. ”Gamelan lebih kaya, teknik permainannya jauh lebih tinggi, dengan mendengar lalu merespons,” kata Ananda, membandingkan dengan musik klasik—musik sastra, menurut Bernstein.
Orang menyebut musik-musik Ananda resitatif, seperti monolog yang lahir dari batinnya sendiri. Ia sering membuat komposisi dari puisi. Komposisi berjudul Kama dipetik dari syair pendek Ilham Malayu, seorang warga Indonesia yang ditahan selama 15 tahun di penjara Bangkok, Thailand. Ananda membuat musik dari cetusan rindu seorang ayah kepada anaknya yang bernama Kama. Kama adalah komposisi pendek, berdurasi empat menit. Proses kreatif Ananda tidak berawal dari pengalaman visual. Komponis Trisutji Kamal bisa duduk di tepi pantai beberapa saat, lalu pulang dengan komposisi yang hebat. Sedangkan Ananda menangkap ide, perasaan yang intens.
Ritual itu terjadi lagi. Menyebut asma Tuhan, memastikan langkah pertama setelah anak tangga terakhir langkah kaki kanan. Sukses telah dicapainya, sekaligus dibayarnya. Dan Ananda tidak hendak berhenti. ”Kalau nggak populer, bermain bagus kayak apa pun, tidak ada yang datang,” katanya.
Ananda berkisah tentang sejumlah ”kekayaan” yang hilang, tentang persahabatan yang semakin susah terjalin dan kesepian. Dunia setelah layar turun, lampu panggung padam, sama sekali berbeda dengan dunia di atas panggung. Apa pun, dari rasa kesepian itu lahirlah komposisi-komposisi musiknya, cermin dari jiwanya juga.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo