Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM beberapa pekan terakhir, Roland Haas begitu senewen. Manajer investasi asal Belanda ini heran bukan kepalang kepada investor yang membabi buta menjual sahamnya. Gara-gara aksi investor konyol ini, kata dia, indeks saham Bursa Efek Indonesia semakin terpuruk.
Angka penurunannya serius: 30 persen sejak Januari hingga pertengahan September ini. Padahal tak ada alasan kuat bagi investor untuk panik menjual saham di tengah solidnya fundamental ekonomi Indonesia. "Kamu buka jasa psikiater. Beri investor nasihat, kamu bisa untung," seloroh Direktur PT HB Capital Indonesia ini kepada Tempo pekan lalu.
Haas wajar gelisah. Sebab, jatuhnya bursa efek berimbas ke reksa dana. Faktanya sudah terlihat. Nilai produk investasi ini terus melorot. Kekayaan bersih para pengelolanya tergerus. Sampai awal pekan ini, nilai aktiva bersih reksa dana tinggal Rp 85 triliun, menguap Rp 8 triliun dari semula Rp 93 triliun. Reksa dana saham paling babak-belur. Asetnya terpangkas 31 persen menjadi Rp 25 triliun dari semula Rp 37 triliun.
Gara-gara reksa dana saham gering, Kurniawati juga jadi gelisah. Karyawati perusahaan penerbitan ini kerap menelepon kawannya seorang manajer investasi. Topiknya itu-itu saja. "Kapan indeks pasar saham naik lagi?"
Penjelasan sang kawan bahwa badai pasti akan berlalu tak membuatnya tenang. Wanita kelahiran Bangkalan, Madura, ini terus memikirkan nasib duitnya Rp 30 juta lebih dalam reksa dana saham, yang akan jatuh tempo pada awal 2009. Kurniawati bimbang, apakah harus mencairkan dana investasi sebelum waktunya (redemption) atau bertahan.
Redemption inilah yang dicemaskan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan pelaku industri reksa dana. Maklum saja, pada 2005, industri reksa dana hampir sekarat akibat aksi gelombang pencairan dana besar-besaran ini. Banyak manajemen investasi yang tunggang-langgang menjual asetnya demi mendapatkan uang untuk dikembalikan ke investor. Aset industri reksa dana terpangkas hingga kurang dari sepertiganya, dari Rp 104 triliun menjadi Rp 29 triliun.
Agar kejadian tiga tahun lalu tak berulang, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Fuad Rahmany bekerja keras meredakan kegelisahan investor. "Investor tak perlu panik. Penurunan pasar hanya sementara," ujarnya kepada wartawan pekan lalu.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pengelola Reksa Dana Indonesia Abiprayadi Riyanto ikut meyakinkan. Kali ini, kata dia, gelombang pencairan dana besar-besaran tak terjadi meski ada penurunan tajam nilai aktiva bersihnya. Memang, banyak investor menutup investasinya, tapi itu bisa diimbangi oleh investor yang membeli reksa dana baru (subscription). Alhasil, secara neto masih ada kelebihan dana masuk ke industri ini.
Menurut Direktur Utama PT Mandiri Manajemen Investasi ini, redemption besar-besaran nihil karena infrastruktur pasar modal nasional dan peraturannya sudah lebih baik. Regulator, manajer investasi, dan investor telah belajar dari pengalaman buruk masa lalu. "Sekarang investor reksa dana lebih punya pandangan jangka panjang."
Michael Tjoajadi sepakat. Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia ini menunjukkan bukti bahwa gelombang pencairan dana besar-besaran belum terjadi. Faktanya adalah unit penyertaan (kepemilikan) reksa dana naik 15 persen, sementara kekayaan bersih hanya turun 8,5 persen. Artinya, penurunan nilai aktiva bersih bukan disebabkan oleh redemption, melainkan lebih karena penurunan nilai pasar saham (lihat tabel).
Tahun ini pasar saham Indonesia memang kelabu. Setelah pada akhir 2007 terbang tinggi mendekati level 2.800, awal pekan ini indeks saham masih berkutat di posisi 1.897,342, level terburuk sejak 22 Januari 2007. Harga-harga saham pun meluncur tajam.
Menurut Michael, sentimen negatif krisis pasar finansial Amerika Serikat menjadi biang pemicu jatuhnya bursa efek nasional. Pasar uang di Negeri Abang Sam sakit gara-gara krisis kredit macet hipotek (subprime mortgage). Lembaga-lembaga keuangan top di negeri adidaya itu rugi puluhan hingga ratusan triliun. Satu per satu mulai rontok, Bear Stearns, Fannie Mae, dan Freddie Mac, dan terakhir Lehman Brothers serta American International Group (AIG). Pertumbuhan ekonomi negeri ini semakin melambat, sementara inflasi terus melonjak. Resesi ekonomi sudah di depan mata. Krisis ini sekarang telah merembet ke Eropa. "Tapi perekonomian kita justru much, much better," ujarnya.
Fundamental perekonomian Indonesia justru memang tak punya banyak masalah. Sampai akhir tahun ini perekonomian bisa bertumbuh di atas 6 persen. Inflasi tahun depan bisa menurun di bawah 10 persen. Cadangan devisa juga besar, US$ 58 miliar. Ekspansi kredit perbankan 34 persen, tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pendapatan perusahaan-perusahaan juga tak mengecewakan.
Di balik musibah selalu ada hikmah. Di pasar modal juga begitu. Turunnya nilai saham ada sisi positifnya. Harga saham di bursa efek menjadi murah. "Ini saat yang tepat membeli reksa dana saham," kata Abiprayadi. Data Bloomberg menunjukkan rasio harga saham terhadap laba bersihnya (price earning ratio/PER) sekitar 11 kali tahun ini dan 7 kali tahun depan. Dengan rasio itu, kata Michael, harga saham di Jakarta sangat murah. Dalam jangka panjang, ada potensi harga saham akan naik lagi. Ini peluang bagi investor mendapatkan keuntungan.
Bahkan Roland Haas menyarankan pemodal mengalihkan saja investasi reksa dana pasar uang dan pendapatan tetap ke reksa dana saham. Saat ini reksa dana pasar uang tingkat keuntungannya kurang menarik. Kupon dan imbal hasil (yield) obligasi dalam reksa dana pendapatan tetap juga sami mawon. Nilainya tergerus oleh inflasi 11,85 persen.
Menurut analis pasar modal dari PT Sinar Mas Sekuritas, Alfiansyah, saat ini memang pas bagi pemodal, termasuk investor baru, membeli reksa dana saham karena harganya sedang murah. Dengan kondisi ekonomi solid dibanding negara Asia lainnya, seperti ramalan Bank Pembangunan Asia pekan lalu, harga saham berpotensi naik lagi. Secara perlahan nilai aktiva bersih reksa dana juga akan terdongkrak.
Namun, kata Alfiansyah, pemodal perlu berhati-hati. Potensi penurunan indeks saham lebih dalam masih membayangi. Agar terhindar dari kerugian, investor sebaiknya membeli reksa dana secara bertahap untuk menyebar risiko berlanjutnya penurunan harga.
Saat ini di Tanah Air ada 94 manajer investasi dan 539 produk reksa dana. Itu bisa membingungkan pemodal memilih yang terbaik. Michael memberikan kiat. Pertama kali, kata dia, pemodal perlu menentukan dulu tujuan investasi. Untuk investasi dalam jangka pendek 1-3 tahun, pemodal bisa memilih reksa dana pasar uang. Untuk investasi jangka menengah 3-5 tahun bisa memilih reksa dana pendapatan tetap. "Untuk investasi reksa dana saham harus jangka panjang di atas lima tahun."
Selanjutnya pemodal memilih manajer investasi dan produknya yang punya rekam jejak oke, misalnya memberikan tingkat pengembalian (return) optimal dalam jangka panjang. Pemodal juga perlu mencermati sumber daya manusia (tim investasi) perusahaan manajemen investasi dalam kondisi pasar sedang naik (bullish) dan turun (bearish). "Investor bisa membacanya di prospektus," kata Michael. Pemodal juga wajib memastikan ketaatan perusahaan pengelola reksa dana terhadap aturan Bapepam. Terakhir pemodal mempertimbangkan biaya komisi (fee) yang diminta oleh perusahaan reksa dana.
Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) juga bisa memberikan solusi. Lembaga ini, kata Direktur Pefindo Salyadi Saputra, telah mengeluarkan alat ukur kinerja berupa ranking dan rating yang bisa memandu investor memilih reksa dana saham, pendapatan tetap, dan campuran yang terbaik. Ada lima ranking, dari satu (terbaik) sampai lima (terburuk). "Ranking ini mempertimbangkan tingkat pengembalian, volatilitas, dan jumlah asetnya," ujarnya. Adapun rating, Pefindo menilai berdasarkan risiko kemungkinan gagal bayar dari aset dasarnya (underlying assets).
Menurut Direktur Utama Pefindo Kahlil Rowter, sudah ada ranking 115 produk reksa dana. Memang tak semua reksa dana diukur kinerjanya karena kriteria pemeringkatan hanya untuk produk berusia minimal dua tahun dan bermodal minimal Rp 25 miliar. Pada Juli lalu, peringkat reksa dana itu sudah dirilis. Pada Oktober nanti, Pefindo akan merilis lagi peringkat terbaru reksa dana. "Masyarakat bisa melihatnya gratis, lewat koran atau mengunduh di situs kami," ujarnya. Nah, tunggu apa lagi.
Padjar Iswara
Ranking Reksa Dana Pefindo
(PMR)
Ranking | Definisi |
PMR-1 | Reksa dana dengan kinerja sangat baik |
PMR-2 | Reksa dana dengan kinerja baik |
PMR-3 | Reksa dana dengan kinerja rata-rata |
PMR-4 | Reksa dana dengan kinerja di bawah rata-rata |
PMR-5 | Reksa dana dengan kinerja buruk |
Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana
(Rp Miliar)
Jenis Reksa Dana | NAB 31 Jan | NAB 22 Sep | Perubahan | % |
Pendapatan tetap | 20.131 | 14.998 | (5.133) | (25,5) |
ETF Saham | 62,05 | 62,68 | 0,63 | 1 |
Saham | 37.139 | 25.551 | (11.588) | (31,2) |
Campuran | 14.518 | 11.732 | (2.787) | (19,2) |
Pasar Uang | 4.705 | 4.128 | (567) | (12,3) |
Terproteksi | 16.031 | 23.569 | 7.537 | 47 |
Indeks | 125,3 | 128,1 | 2,8 | 2,3 |
Syariah | 730,5 | 984,7 | 254,2 | 34,8 |
ETF-pendapatan tetap | 510,6 | 567,3 | 56,7 | 11,1 |
Total | 93.956 | 85.950 | (8.006) | (8,5) |
Sumber: Bapepam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo