Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UDIN, petani asal Subang, rugi besar dalam musim panen kali ini. Sawahnya hanya menghasilkan gabah kering seperempat dari biasanya. Harga jualnya pun anjlok tinggal separuh. Hama wereng merusak panen tahun ini. Petani berusia 65 tahun itu tengah ngaso di bale bambu ketika Tempo berkunjung ke sawahnya di Desa Balebandung, Kecamatan Pabuaran, Kamis pekan lalu. ”Panen tahun ini jeblok,” katanya lirih.
Sawah Udin memang cuma seperempat hektare. Tapi dalam kondisi normal bisa menghasilkan minimal 1,25 ton gabah kering pungut. Tahun ini ia hanya ”kebagian” tiga kuintal gabah kering. Tahun lalu, walaupun hama wereng juga menyerang, Udin masih bisa mendapatkan delapan kuintal. Celakanya, tengkulak hanya mau membeli Rp 2.500 per kilogram gabah kering. Harga itu di bawah patokan harga pembelian pemerintah—yang Januari lalu ditetapkan Rp 2.640 per kilogram.
Mestinya Udin dan petani padi mendapatkan keuntungan besar. Harga bahan pokok, termasuk beras, sedang tinggi-tingginya. Tapi, apa daya, petani dengan satu anak itu bukan hanya tak menikmati hasil panen, melainkan juga harus menanggung harga pangan lain yang membubung tinggi.
Dari tahun ke tahun, penerimaan petani semakin tertinggal dibanding harga bahan pangan. Menurut Danareksa Research Institute, sejak Januari 2008 sampai Juni 2010, nilai tukar petani cuma meningkat 0,7 persen. Sementara itu, harga bahan pangan melonjak hingga 24,4 persen. Kepala Ekonom Danareksa Institute Purbaya Yudhi Sadewa menganalisis, tingginya lonjakan harga pangan tidak mengerek daya beli petani secara signifikan. ”Pendeknya, pendapatan petani semakin berkurang,” katanya dua pekan lalu.
Yang dimaksud Sadewa nilai tukar petani adalah perbandingan antara harga yang diterima petani dan harga yang dibayarkan untuk keperluan konsumsi rumah tangga serta kebutuhan produksi pertanian. Angka yang dinyatakan dalam persen itu menunjukkan daya tukar produk pertanian terhadap konsumsi barang dan jasa untuk biaya produksi. Angka nilai tukar bisa menunjukkan daya beli petani. Dengan kata lain, nilai tukar merupakan salah satu ukuran tingkat kesejahteraan petani.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sebenarnya nilai tukar petani terus meningkat. Tapi peningkatannya superlelet (lihat grafik). Hingga akhir Juli lalu, misalnya, nilai tukar tercatat 101,77 atau naik 0,38 persen dibanding bulan sebelumnya. Peningkatan tipis itu ditopang oleh penguatan indeks nilai tukar untuk subsektor hortikultura—terutama pada kelompok sayur-sayuran—yang meningkat 3,73 persen.
Kenaikan patokan harga gabah petani turut mengerek nilai tukar petani. Ketentuan baru itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan. Di situ diatur harga pembelian gabah kering panen dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa atau kotoran maksimum 10 persen senilai Rp 2.640 per kilogram di tingkat petani atau Rp 2.685 di penggilingan. Kebijakan yang dirilis 29 Desember 2009 itu berlaku efektif 1 Januari tahun ini.
Namun usaha pemerintah mendongkrak nilai tukar petani tak sanggup mengejar indeks harga pangan yang terus meroket. Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi tak menampik kenyataan itu. ”Memang begitu. Tapi sebaiknya juga dilihat pendapatan riil petani,” katanya.
Lantas siapa yang mendulang keuntungan atas kenaikan harga beras dari tahun ke tahun? Tudingan dialamatkan kepada pedagang perantara, dan itu tidak mengada-ada. Simak saja kesibukan Iti, 50 tahun, tengkulak asal Cirebon. Pada musim tanam gadu alias kemarau seperti saat ini, perempuan itu lebih rajin datang ke sawah-sawah. Gabah yang dihasilkan musim panen ini memiliki kadar air lebih rendah ketimbang gabah musim tanam rendeng alias musim hujan. Rasa berasnya juga lebih enak dan tahan lama di tempat penyimpanan.
Sabtu dua pekan lalu, Tempo memergoki Iti duduk di pinggir sawah Syafei, di Kedawung, Cirebon. Si empunya sawah tengah sibuk mengemas gabah yang baru selesai dikeprek—bulir padi dipisahkan dengan batang—dan dimasukkan ke dalam karung. ”Sudah dibeli Ibu Iti, harganya tiga ribu sekilo,” kata Syafei sumringah. Tujuh ton gabah yang dihasilkan dari satu hektare sawah Syafei laku di atas harga patokan pemerintah. Padahal padi baru dipanen, belum sempat dikeringkan.
Transaksi antara Iti dan Syafei beres. Belum dua ratus meter Iti meninggalkan sawah, Syafril, seorang laki-laki, menawar berkarung-karung gabah yang dibawa Iti. Ia memberikan iming-iming harga lebih tinggi, yakni Rp 3.600 per kilogram. Iti tertarik juga. Ia sepakat. Tak sampai sejam, barang sudah berpindah tangan. ”Lumayan,” ujar Iti. Ia tak usah mengeluarkan ongkos angkut karena semua ditanggung Syafril. Gabah kemudian disetor ke penggilingan yang siap membeli dengan harga Rp 3.800 per kilogram.
Rantai pemasaran yang panjang itulah yang membuat harga melonjak, tak terkecuali di daerah lumbung beras seperti Subang dan Cirebon. Di Pasar Pagi Cirebon, misalnya, beras kualitas satu dijual Rp 8.000 per kilogram, kualitas dua Rp 7.500, dan kualitas tiga Rp 6.200. ”Dari penggilingan harganya sudah naik,” kata Dewi, pemilik kios beras Adirasa. Akibat harga naik, Dewi hanya sanggup menjual empat ton, padahal biasanya ia menjual enam ton beras sehari.
Di Pasar Panjang, Subang, setali tiga uang. Imi Kholimah, pemilik toko beras Sinar Jaya, mengatakan beras jenis medium dijual Rp 6.500 dan beras super Rp 7.000 per kilogram. Meski mahal, bisnis Imi lancar-lancar saja. Saban hari, sepuluh ton dagangannya ludes. ”Untungnya kecil, paling banter kebagian seratus perak sekilo.” Menurut dia, beras terkerek naik sejak bulan lalu. Panen gagal gara-gara serangan wereng. Akibatnya stok terbatas. ”Kami mungkin akan kesulitan mencari barang.”
Pemerintah agaknya risau dengan tren kenaikan harga beras. Itu sebabnya, sepekan sekali digelar rapat koordinasi pengendalian harga pangan di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. Awalnya rapat diadakan sebulan sekali, itu pun dihadiri oleh pejabat eselon satu. Kini rapat langsung dihadiri oleh para menteri.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menjamin stok pangan—terutama beras—aman. Ia merujuk pada angka ramalan Badan Pusat Statistik bahwa produksi beras nasional naik 1,17 persen dari total produksi tahun lalu 40 juta ton. Jumlah produksi itu masih di atas kebutuhan domestik 35-36 juta ton. Artinya, kata Hatta, ada surplus lima juta ton.
Menteri Pertanian Suswono optimistis kenaikan harga beras ini mendatangkan keuntungan buat petani. Apalagi harga pokok pembelian gabah dinaikkan sejak awal tahun. Ia mengkalkulasi, petani mendapat keuntungan tambahan Rp 1,2 juta per hektare—dengan asumsi hasil panen lima ton per hektare. Dengan biaya pembelian pupuk Rp 200 ribu, artinya petani mendapat keuntungan Rp 1 juta.
Lain hitungan menteri, lain pula kenyataan di lapangan. Syafei, yang berasnya ludes diborong tengkulak, umpamanya, tidak menerima sebesar hitungan menteri. Penghasilannya—setelah dipotong sewa lahan, utang pembelian pupuk dan insektisida, serta upah buruh—hanyalah Rp 1,5-2 juta untuk kerja selama tiga bulan.
Nasib Enda, petani Desa Cihambulu, Subang, lebih parah lagi. Tak sebulir padi pun ia panen dari sawah peninggalan orang tuanya seluas satu hektare. ”Tanaman saya puso,” katanya sedih. Kalau sudah begitu, tentu kesejahteraannya pun ambruk.
Retno Sulistyowati, Nanang Sutisna (Subang), Ivansyah (Cirebon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo