Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

10 Tahun Jokowi, Hilirisasi Nikel Dinilai Tak Berkontribusi Positif terhadap Ekonomi Warga Lokal

Pengamat Ekonomi Energi UGM mengatakan selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, industri nikel belum berkontribusi positif terhadap ekonomi lokal.

15 Oktober 2024 | 20.45 WIB

Setelah melarang ekspor nikel pada 1 Januari 2020, Presiden Joko Widodo akan menyetop ekspor bauksit mulai 1 Januari 2023. Larangan berikutnya akan berlaku pada konsentrat tembaga, pasir timah, dan komoditas tambang lain mulai tahun ini.
Perbesar
Setelah melarang ekspor nikel pada 1 Januari 2020, Presiden Joko Widodo akan menyetop ekspor bauksit mulai 1 Januari 2023. Larangan berikutnya akan berlaku pada konsentrat tembaga, pasir timah, dan komoditas tambang lain mulai tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan bahwa selama 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi, pengembangan industri nikel masih belum berkontribusi positif terhadap ekonomi masyarakat lokal. Menurutnya, baik penambang maupun hilirisasi nikel telah menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah sekitar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Dan yang paling parah menderita itu ya masyarakat sekitar tadi," ujarnya saat diwawancarai Tempo pada Selasa, 15 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fahmy menjelaskan bahwa selain kerusakan lingkungan, masyarakat di sekitar lokasi industri, khususnya di daerah yang memiliki smelter nikel, masih terjebak dalam kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan industri nikel tidak serta merta mengangkat taraf hidup masyarakat di sekitarnya.

Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengembangan industri nikel di zaman pemerintahan Jokowi masih sangat kecil. Hal tersebut diawali dengan larangan ekspor nikel yang kemudian mengharuskan hilirisasi smelter.

"Tetapi yang terjadi, smelter tadi dikuasai oleh investor Cina. Sehingga lebih banyak yang menentukan itu Cina tadi," ujarnya.

Hal tersebut menurutnya membuat nilai tambah pada industri ini menjadi rendah. Pasalnya, Indonesia hanya mengekspor hasil produksi turunan nikel yang pertama atau paling tidak yang kedua. "Sehingga tidak membentuk ekosistem industri tadi, makanya nilai tambahnya rendah," katanya.

Selanjutnya, Fahmy mengatakan pemerintah sebaiknya bersikap tegas kepada investor dalam pengembangan industri, terutama di wilayah yang memiliki smelter, untuk memastikan bahwa kegiatan operasional mereka tidak merusak lingkungan.

"Kalau misalnya terjadi gitu ya, kalau tak bisa dihindari (kerusakan lingkungan), maka perlu ada semacam reklamasi yang dibiayai oleh investor tadi," tutur Fahmy.

Lebih lanjut, Fahmy menambahkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, investor juga perlu menyisihkan sebagian dari keuntungan mereka. Ia mengusulkan agar setidaknya 10 persen dari profitabilitas yang diperoleh dialokasikan kepada pemerintah daerah, sehingga dapat didistribusikan kepada masyarakat di sekitar lokasi industri.

Selain Fahmy, Direktur Eksekutif Institut Kajian Krisis & Strategi Pembangunan Alternatif (INKRISPENA) Y. Wasi Gede Puraka mengatakan bahwa perkembangan pesat industri nikel saat ini tidak sejalan dengan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kebutuhan energi dan pangan masyarakat di wilayah tersebut. Pernyataan ini merupakan komunike bersama yang dikeluarkan oleh Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI).

Menurutnya, meskipun perusahaan tambang beroperasi di wilayah mereka, dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal hampir tidak terlihat. Keuntungan besar yang diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut tampaknya datang dengan mengalihkan risiko-risiko sosial dan ekonomi yang harus ditanggung oleh warga sekitar.

"Tidak mungkin petani, pekerja, atau warga di wilayah tambang dan kawasan-kawasan industri pengolahan mineral kritis akan sejahtera selama pendekatan yang dipakai pemerintah dan dunia bisnis masih tetap mengedepankan militerisme dan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Senin, 14 Oktober 2024.

Ia melanjutkan bahwa pentingnya penguatan masyarakat adat dan lokal dalam menyikapi kehadiran industri mineral kritis di Indonesia. Terlebih, mereka memerlukan informasi yang jelas mengenai keberadaan industri dan kampung di wilayah mereka.

Selain itu, Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry, menyoroti praktik eksploitasi mineral kritis di Indonesia tampaknya mengabaikan tantangan krisis yang sedang dihadapi, terutama krisis biodiversitas dan polusi. Ia mengingatkan bahwa pemerintah perlu merumuskan strategi ekonomi mineral yang tidak justru memperburuk situasi krisis ini.

"Dampaknya bersifat lintas batas, saling terkait, dan dengan konsekuensi jangka panjang," katanya.

Oleh karena itu, KNMKI mengeluarkan komunike bersama yang mendesak pemerintah, khususnya di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, untuk mengutamakan perlindungan hak asasi manusia bagi kelompok marjinal serta memastikan tata kelola lingkungan dan sosial yang berkelanjutan dalam pengelolaan mineral kritis, terutama nikel. Adapun acara konferensi tersebut berlangsung di Palu, Sulawesi Tengah pada 9 hingga 10 Oktober 2024.

M. Rizki Yusrial

Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam ini mulai bergabung ke Tempo pada 2024. Awal karier aktif meliput isu ekonomi dan bisnis

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus