Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan mengubah 20,6 juta hektare kawasan hutan menjadi lahan pertanian demi mempercepat swasembada pangan pada 2027. Dalam 100 hari kerja di bawah komando Presiden Prabowo Subianto, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengumumkan telah mengidentifikasi kawasan hutan Indonesia seluas 20,6 juta yang berpotensi menjadi cadangan pangan hingga energi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raja Juli mengklaim kawasan hampir seluas dua kali Pulau Jawa itu tidak didapat dari pembukaan lahan besar-besaran atau lewat pembabatan hutan. “Saya tegaskan kembali, di areal 20,6 juta hektare ini tidak dengan membuka hutan atau deforestasi melainkan diharapkan justru menyempurnakan pola food estate yang pada saat ini sedang digulirkan oleh pemerintah,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Jumat, 24 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dokumen Kementerian Kehutanan, total luas hutan Indonesia saat ini sebesar 120,33 juta hektare. Menteri Kehutanan mematok 20,6 juta hektare untuk cadangan pangan dan energi dengan menggabungkan 15,53 juta hektare kawasan hutan belum berizin serta 5,07 juta hektare hutan berizin. Raja Juli mengklaim bisa menyulap 20,6 juta hektare hutan terbuka bekas penebangan dan kebakaran menjadi lahan produksi untuk komoditas padi gogo dan jagung.
Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu pun menarget setiap 1 juta hektare hutan bisa menghasilkan 3,5 juta ton padi dan 1,5 juta ton jagung per tahun. Raja Juli mengatakan proyeksi produksi padi itu bisa menutup kebutuhan impor beras Indonesia sesuai realisasi tahun 2023. Lulusan UIN Jakarta itu menilai targetnya bisa tercapai dengan menerapkan pola penanaman tumpang sari di kawasan hutan terpilih.
“Jadi tugas kami mendukung, memaksimalkan lahan yang ada untuk menyukseskan program swasembada pangan yang menjadi inti pekerjaannya Kementerian Pertanian,” ucap Raja Juli mengungkap alasan pengadaan 20,6 juta hektare hutan.
Sejumlah pegiat lingkungan mengecam rencana pemerintah yang dinilai serampangan karena tergesa-gesa mewujudkan swasembada pangan. Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan hampir tidak mungkin pemerintah bisa menyiapkan 20,6 juta hektare lahan tanpa menggunduli hutan yang masih utuh.
Dia mencontohkan proyek food estate seluas 2,29 juta hektare di Merauke, Papua Selatan, sebagai bukti bantahan untuk klaim Menteri Kehutanan soal anti-deforestasi. “Deforestasi itu risiko terbesarnya dan itu akan diikuti oleh pelepasan emisi karbon dalam jumlah yang masif,” ujar Leonard saat dihubungi pada Senin, 27 Januari 2025. Temuan Greenpeace Indonesia, sedikitnya 619 hektare hutan alam di area tepi Selat Mariana, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, telah hancur pada September 2024 karena dibabat untuk food estate.
Selain di Merauke, daerah lain yang menjadi percontohan food estate era Presiden Joko Widodo juga meninggalkan jejak deforestasi. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Refky Saputra mencatat food estate di Kalimantan Tengah menyebabkan rusaknya hutan di Kabupaten Gunung Mas. “Kurangnya informasi yang beredar di publik tentang di mana lokasi program 20,6 juta hektare akan dilaksanakan tidak bisa menggaransi tidak ada deforestasi dalam program tersebut,” kata Refki ketika dihubungi pada Senin, 27 Januari 2025.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga mendesak transparansi Kementerian Kehutanan dalam memilih titik sebaran proyek 20,6 juta hektare. WALHI menilai pemilihan kawasan hutan itu perlu dikritisi karena kondisinya tak terungkap untuk publik. “Kami tidak mau di publik seolah-olah menyatakan 20,6 juta hektare ini diambil dari wilayah tidak berhutan atau bekas tebangan dan kebakaran, tapi kemudian tidak sesuai dengan klaim,” ujar Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional Uli Arta Siagian pada Senin, 27 Januari 2025.
Menurut data Global Forest Review yang dirilis World Resources Institute (WRI), Indonesia menyumbang sekitar 5,6 persen dari total kehilangan hutan primer dunia pada 2022, yakni sekitar 230 ribu hektare. Indonesia pun menjadi negara keempat di dunia dengan jumlah kehilangan hutan primer terbesar. Angka tersebut kemudian bertambah menjadi sekitar 290 ribu hektare pada 2023.
Uli berpendapat proyek 20,6 juta hektare hutan akan memicu kiamat ekologis karena mempertaruhkan keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup. Pasalnya, Uli menyebut hilangnya kawasan hutan seluas itu akan melepaskan emisi yang sangat besar dan menyebabkan bencana lingkungan, kekeringan, gagal panen, pendidihan global hingga penularan penyakit dari hewan ke manusia.
“Pembukaan 20 juta hektare hutan ini juga akan makin memperparah persoalan kebakaran hutan lahan, jika hutan-hutan tersebut juga merupakan kawasan gambut,” kata Uli. Selain itu, ia juga memprediksi setidaknya akan ada kerusakan biodiversitas dan konflik agraria antara pemerintah dengan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan. Masyarakat itu, kata Uli, akan tergusur dan rentan dikriminalisasi karena pendekatan kekerasan yang kerap dipakai pemerintah.
Uli mencatat saat ini 33 juta hektare hutan dibebani izin di sektor kehutanan, di mana 4,5 juta hektare di antaranya digunakan konsesi tambang yang berbatasan langsung dengan hutan. Ia juga menyebut ada 7,3 juta hektare yang dilepaskan, di mana 70 persennya dipakai untuk Perkebunan sawit. Uli menilai pemerintah tidak menunjukkan komitmen penegakan hukum, dan justru melegalisasi perusakan hutan dengan membiarkan hutan dikuasai oleh korporasi.
Kendati pemerintah beralibi mengubah 20,6 juta hektare kawasan hutan untuk meningkatkan produksi komoditas pangan, ahli pertanian-ekonomi justru menyangsikan niat bombastis tersebut. Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian menyebut target menghasilkan 3,5 juta ton padi dan 1,5 juta ton jagung dari lahan hutan seluas 1 juta hektar sulit tercapai.
Eliza membeberkan tekad pemerintah itu akan terhalang oleh tanah hutan yang kondisinya jauh dari ideal untuk menanam padi karena miskin unsur hara dan bersifat asam. “Untuk membuat tanah itu bisa ditanami, banyak sekali usaha yang harus dikeluarkan dengan biaya yang tidak sedikit,” ucap Eliza kepada Tempo pada Selasa, 28 Januari 2025.
Eliza merinci pemerintah berpotensi boros anggaran hanya untuk mengurangi keasaman tanah, pemupukan dalam jumlah besar, dan mengerahkan jumlah tenaga kerja terlampau banyak untuk mengolah lahan hutan menjadi layak tanam. Padahal, kata Eliza, dengan usaha mati-matian itu produktivitas padi gogo lebih rendah dibandingkan padi umumnya.
Selain soal produktivitas, kontradiksi wacana proyek 20,6 juta hektare lahan hutan juga ditemukan dalam komitmen iklim Indonesia di kancah internasional. Pada 20 Januari 2025 Kementerian Lingkungan meluncurkan dagang karbon internasional yang diklaim sebagai wujud komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon global sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan mancanegara pada 2030.
Namun, dengan keluarnya gagasan mengalihkan fungsi hutan menjadi lahan pertanian, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard mempertanyakan komitmen Indonesia yang ingin mencapai forestry and other land uses atau FOLU Net Sink pada 2030. “Jadi kalau deforestasi secara masif, apa yang mau ditawarkan ke pembeli kredit karbon?” ujar Leonard mempertanyakan keseriusan pemerintah. Menurut laman Kementerian Lingkungan, FOLU Net Sink 2030 adalah kondisi yang ingin dicapai melalui penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan yang menyerap karbon dengan tingkat minimal sama atau lebih pada 2030 mendatang.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Refki Saputra mengatakan sektor hutan dan penggunaan tanah lain atau FOLU menjadi sasaran tercapainya serapan emisi gas rumah kaca sebesar 140 juta ton setara karbon dioksida. Menurut Refki, membiarkan terjadinya deforestasi 20,6 juta hektare hutan akan merugikan pemerintah bertubi-tubi. “Pertama dengan bertambahnya emisi karena hutan ditebang, dan semakin jauh dari cita-cita NET Sink karena hutan yang menyerap karbon semakin berkurang,” kata Refki memperinci.
Di 100 hari pertama kepemimpinan Prabowo Subianto, Refki menyatakan pemerintah seharusnya melakukan studi kelayakan untuk menuju swasembada pangan. Saat ini, Refki tidak bisa melacak landasan berfikir pemerintah mengeluarkan wacana proyek 20,6 juta hektare. Seolah-olah kebijakan itu, kata Refki, muncul karena ada kawasan hutan yang belum dibebani izin maupun yang sudah berpotensi untuk dimanfaatkan. “Ini menandakan watak pemerintah yang melihat sumber daya alam sebagai barang modal, bukan sebagai penyangga kehidupan yang kompleks sebagai sesuatu yang saling terhubung,” ucap Refki.
Menurut peneliti CORE Eliza Mardian, sebaiknya pemerintah berfokus pada optimalisasi lahan non-hutan yang sudah ada dengan perbaikan sistem distribusi pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani. “Jika pun masih bersikukuh ingin melaksanakan food estate, diprioritaskan saja di lahan-lahan terdegradasi dengan dampak ekologis minimal, bukan pada area yang masih memiliki tutupan hutan yang vital untuk keseimbangan ekosistem,” kata Eliza menjelaskan.
Ia menambahkan, yang dibutuhkan adalah keseimbangan cerdas antara produksi pangan dan perlindungan lingkungan, bukan pertukaran yang berisiko mengorbankan masa depan ekologis negeri ini. Eliza berpesan selagi masih ada strategi lain untuk meningkatkan produksi tanpa harus utak-atik hutan, itu yang harus dipilih. “Jangan sampai program pemerintah penuh dengan konflik kepentingan karna masa depan taruhannya. Hutan tersisa ini mestinya mati-matian dijaga,” kata Eliza menegaskan.
Pilihan Editor: 100 Hari Kabinet Prabowo: Besar Angan Brigade Pangan