Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex merumahkan sekitar 3.000 buruh imbas dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang pada Rabu, 23 Oktober 2024. Sampai hari ini, para pekerja raksasa tekstil itu belum mendapatkan kejelasan ihwal kapan mereka terpaksa libur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Serikat Pekerja Sritex Grup Slamet Kaswanto menjelaskan, sekitar 3.000 buruh dirumahkan, terutama yang bekerja di bagian pemintalan. Perusahaan masih terkendala dalam memasok bahan baku, sehingga mereka kini tak memiliki sesuatu untuk dikerjakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Slamet mengakui pemerintah telah mengupayakan jalan keluar agar Sritex tetap beroperasi. Opsi yang selama ini mengemuka adalah going concern. Perusahaan dan kreditur juga mendesak kurator yang ditunjuk pengadilan mengambil opsi itu. Namun sampai hari ini, hal itu belum terjadi.
"Jadi artinya kalau sampai kapan, kalau lama-lama kan bisa pemutusan hubungan kerja (PHK) ini. Perusahaan enggak kuat juga, enggak produksi, tapi harus membayar karyawan," ujar Slamet saat dihubungi Tempo, Ahad, 22 Desember 2024.
Karyawab yang dirumahkan berasal dari empat pabrik berbeda di bawah naungan Sritex, yakni Sritex di Sukoharjo, PT Sinar Pantja Djaja dan PT Bitratex Industries di Semarang, serta PT Primayudha Mandirijaya di Boyolali. Dari hitungan Slamet, jumlah buruh yang dirumahkan di kisaran 3.000 hingga 3.500 orang.
Slamet merinci, jumlah buruh yang dirumahkan di pabrik Semarang mencapai lebih dari 1.000 orang dan di Boyolali sekitar 700 orang. Buruh yang bekerja di Semarang dan Boyolali otomatis terdampak karena pabrik itu khusus di bidang pemintalan. Sedangkan di Sritex mencapai sekitar 2.000 orang.
Para buruh yang dirumahkan tak otomatis berhenti ke pabrik sama sekali. Menurut Slamet, perusahaan masih meminta mereka datang ke pabrik secara berkala untuk bersih-bersih. Pasalnya, mesin yang biasa mereka gunakan bekerja tak serta-merta mati total. Alat-alat produksi itu perlu dirawat.
Sedangkan para buruh yang masih bekerja hanya mengerjakan pesanan-pesanan yang sudah diterima sebelumnya. Perusahaan, menurut Slamet, belum bisa menerima pesanan baru imbas pailit. "Kalau pabrik berhenti yang kena dampaknya juga konsumen. Pesanan enggak bisa masuk karena perusahaan enggak bisa mengerjakan pesanan baru," tuturnya.
Pilihan Editor: Apa yang Dikhawatirkan APINDO Jika PPN 12 Persen Diterapkan