Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

3 Siasat BI Hadapi Kematian Globalisasi, Kebangkitan Digitalisasi

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan negara-negara di dunia saat ini menghadapi kondisi kematian globalisasi dan kebangkitan digitalisasi.

29 Agustus 2019 | 11.43 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di gedung BI, Jakarta, Kamis, 18 Juli 2019. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bali - Gubernur Bank Indonesia atau BI Perry Warjiyo mengatakan negara-negara di dunia saat ini menghadapi kondisi kematian globalisasi dan kebangkitan digitalisasi. Kondisi ini ditandai dengan meningkatnya sentimen anti perdagangan global, faktor risiko yang mempengaruhi arus modal antar negara, berkurangnya efektivitas dari kebijakan penyesuaian nilai tukar, dan munculnya financial technology atau teknologi finansial sebagai pesaing bank konvensional.

“Saya tidak tahu, semua hal yang kita pelajari di Universitas saat ini diuji, kita harus berpikir ulang soal teori dan kebijakan makro ekonomi,” kata Perry kepada peserta Konferensi Internasional Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) ke-13 di Bali, Kamis, 29 Agustus 2019. Para peserta konferensi merupakan ekonom dan praktisi yang datang dari berbagai negara di dunia.

Bagi Perry, ada tiga cara yang bisa diambil oleh bank sentral untuk menghadapi situasi ini. Ketiga cara tersebut juga merupakan pelajaran dari kebijakan BI di Indonesia.

Pertama yaitu menerapkan bauran kebijakan dari bank sentral. Menurut Perry, bank sentral tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan penyesuaian suku bunga semata, namun harus dilengkapi dengan kebijakan lain seperti pengaturan peredaran uang dan kebijakan makro-prudensial.

Tak cukup sampai di situ. Perry menyebut harus ada tambahan dari kebijakan fiskal di Kementerian Keuangan. Salah satunya yaitu lewat reformasi struktural pada bidang manufaktur, pariwisata, hingga perikanan. Indonesia, kata dia, memiliki instrumen bersama di dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KSSK yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Kedua sinergi antar pemangku kebijakan, dalam hal ini empat anggota KSSK yaitu Kementerian Keuangan, BI, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan atau LPS. Setiap institusi, kata Perry, memang memiliki independensi masing-masing. Akan tetapi, sinergi kebijakan tetap bisa dilakukan tanpa mengurangi independensi tersebut. “Ini yang kami lakukan di Indonesia,” kata dia.

Sehingga, Perry dengan nada bergurau menyebut Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau The Fed, Jerome Powell, dan teman-teman di bank sentral negara lain iri dengan dirinya. “Saya di sini rajin ketemu presiden, ketemu menteri keuangan, jadi saya tidak jalan sendiri,” kata dia.

Ketiga yaitu memanfaatkan kebangkitan digitalisasi ini dalam mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Untuk itu, kata dia, BI telah menyusun Visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025 yang berikhtiar mengintegrasikan ekonomi dengan teknologi digital. Namun, kata dia, BI tetap ingin menempatkan proses digitalisasi perbankan dalam proses integrasi ini. “Kami mendorong digitalisasi perbankan terus berkembang pesat,” kata dia.

Di saat yang bersamaan, BI juga mendorong fintech agar semakin terhubung dengan perbankan. Ini bertujuan agar tidak ada praktik shadow banking atau perbankan maya, sebuah kelompok yang bertindak layaknya bank namun bukan berstatus resmi sebagai bank.

Selain itu, BI mendorong start up di sektor riil, e-commerce, dan perbankan, untuk terus tumbuh. “Inovasi perlu didorong, tapi perlindungan konsumen dan risiko siber juga harus diperhatikan,” ujarnya.

Menurut
Perry, BI juga terus aktif mempublikasikan kajian, penilaian, dan prediksi terhadap situasi ekonomi yang berubah tersebut. Untuk itu, Ia kembali sesumbar menyebut nilai lebih dari BI dibandingkan bank sentral lainnya di dunia. “Saya kira BI yang paling agresif, dibandingkan yang lain,” kata dia.

FAJAR PEBRIANTO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus