SETELAH dua tahun berlalu tanpa "huru-hara", sektor jeruk mulai memanas lagi. Tanda-tandanya sudah terlihat sejak Juli 1991. Waktu itu komoditi jeruk menurut Menteri Perdagangan tidak perlu diatur tata niaganya diperkenalkan lagi pada sebuah mekanisme baru. Badan Koordinasi Pelaksana Tataniaga Jeruk (BKPTJ) menentukan bahwa pedagang tak bisa langsung membeli jeruk ke KUD seperti biasa, tapi harus ke PT Bima Citra Mandiri. Terbentuklah mata rantai baru, hingga memperpanjang rentang tata niaga jeruk antara petani di Kalimantan dan konsumen di kota-kota besar di Jawa. Badan yang direstui oleh Gubernur Kalimantan Barat ini semula hanya bertindak sebagai "polisi" lalu lintas jeruk. Tapi apa yang kemudian terjadi? Badan yang sebagian besar sahamnya melalui Bima Citra Mandiri dikuasai oleh Bambang Trihatmodjo ini belakangan malah dijuluki pemegang monopoli jeruk. Kenapa? Petani tak lagi bebas menjual jeruknya. Mereka harus berurusan dengan tempat pelayanan koperasi (TPK), yang kini rupanya kekurangan cashflow. TPK tak mampu membeli dengan harga layak minimal Rp 650 per kg untuk kelas A. Padahal, di Jakarta, sejak awal 1992, harga eceran jeruk Pontianak sudah meloncat dari Rp 1.750 menjadi Rp 3.500 per kg. "Dulu, kami bisa menikmati keuntungan yang lumayan, karena masih ada kebebasan untuk menjual," kata seorang petani dari Kabupaten Sambas. Kini petani semakin terpojok. Jangankan memperolah keuntungan yang layak, mereka justru merugi. Harga beli TPK yang Rp 600 per kg jelas masih berada di bawah biaya produksi yang Rp 650. Kalau tadi disebut TPK kekurangan cashflow, asal-muasalnya ternyata dari BKPTJ juga. Badan yang sekaligus menguasai pembelian dan pemasaran jeruk ini rupanya sering terlambat menyalurkan dana ke KUD. Akibatnya, banyak KUD berutang pada TPK. Pada gilirannya, TPK terpaksa membatasi pembelian jeruk dari petani. Lebih tak masuk akal, ketika ada TPK yang berniat menjual jeruk kepada pedagang antarpulau, ia dicegat polisi. Truknya yang bermuatan jeruk dipaksa bongkar di KUD. Alasannya: jeruk itu tidak memiliki surat jalan. Pedagang dan perusahaan pelayaran pun ikut dirugikan. Para pedagang yang bergabung dalam BKPTJ mengeluh, karena mereka diharuskan menyetor komisi Rp 175 sampai Rp 225 per kg jeruk yang akan dikirimkan ke Jakarta (belakangan, komisi diturunkan menjadi Rp 130 per kg). Jika dibandingkan dengan jeruk mutu terendah yang berharga Rp 100 per kg, komisi itu jelas lebih mahal ketimbang harga jeruknya sendiri. Karena perkara komisi itu juga, tengah Februari lalu 10 pedagang menyatakan keluar dari BKPTJ. Lain lagi keluhan perusahaan pelayaran. Mereka tak lagi bebas mengantarpulaukan jeruk Pontianak, padahal tidak ada larangan dari Pemerintah. Masalah timbul lagi-lagi karena BKPTJ. Akibatnya, banyak kapal yang tak beroleh muatan. "Mereka mengutamakan kepentingan para pedagang besar jeruk yang memiliki kapal sendiri," kata Anwar Djafar, pemilik PT Pelayaran Halim. Ketua BKPTJ, Joesef Abdullah, tampak enggan bicara. Ia hanya mengatakan bahwa surat jalan jeruk bukan berasal dari pihaknya. "Itu berdasarkan SK Gubernur," ujarnya. "Tanpa surat jalan, asal dan tujuan jeruk menjadi tak jelas." Mengenai keluhan lain, Joesef cenderung tutup mulut. Tapi, menurut sebuah sumber di BKPTJ, tata niaga yang demikian ketat memang sengaja dilakukan agar peran BKPTJ terlaksana dengan lancar. Panen raya yang berlangsung April-Juli diperkirakan menghasilkan 120 ribu ton jeruk semua akan ditampung BKPTJ dengan harga Rp 600 per kg senilai Rp 72 milyar. Selain itu, BKPTJ kabarnya telah melunasi retribusi Pemda Kalimantan Barat sebesar Rp 200 juta, dan keuntungan bagi 23 KUD sebanyak Rp 200 juta. Menurut sumber itu lagi, untuk pospos pengeluaran itulah, BKPTJ menarik komisi dari para pedagang. Budi Kusumah dan Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini