Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Keputusan ada pada bcn

Wawancara tempo dengan menteri pertanian wardoyo tentang rencana pembakaran cengkeh oleh bppc, kelebihan produksi dan suplai cengkeh serta konversi cengkeh.

14 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABTU, 29 Februari 1992, ketika dicegat TEMPO untuk ditanyai pendapatnya mengenai usul pembakaran cengkeh, Menteri Wardoyo spontan menjawab "tidak setuju" (TEMPO, 7 Maret 1992). Akhir pekan lalu, tatkala ditanyakan lagi hal yang sama, pendapat Wardoyo tidak berubah. Hal ini terungkap dalam wawancara lewat telepon dengan wartawan TEMPO Dwi S. Irawanto. Kutipan wawancara itu: Bagaimana dengan rencana pembakaran cengkeh oleh BPPC? Saya pribadi tetap tidak setuju. Secara psikologis, dampaknya bagi petani tidak baik. Saya kira masyarakat juga tak setuju. Mungkin hanya beberapa yang setuju. Tapi keputusan akhir masih akan dibicarakan di Badan Cengkeh Nasional. Menurut saya, cengkeh itu disimpan saja dan ditanggung dulu biaya gudangnya. Nanti, kalau sekali waktu produksi turun, kan bisa dipakai. Jangan sampai di masa depan, kita malah kekurangan cengkeh. Apakah kemungkinan itu ada? Kemungkinan itu tak bisa dianggap enteng. Dewasa ini ada dua serangan terhadap cengkeh. Pertama, penyakit pembuluh kayu, yang dalam dua tahun akan mematikan pohon. Lalu serangan cacar daun, yang menurunkan produksi. Menurut statistik, hampir semua kebun cengkeh di Sumatera sudah terkena. Kini serangan yang sama mulai memasuki kebun-kebun cengkeh di Jawa. Patut diingat jumlah produksi cengkeh terbanyak berasal dari Pulau Jawa. Apakah betul ada kelebihan produksi sampai 50%? Balai Penelitian Rempah dan Obat (Balitro) pernah meneliti konsumsi cengkeh, dengan mengambil sampel beberapa merek rokok. Ini dilakukan untuk mengetahui kandungan cengkehnya. Jika rata-rata kandungan cengkeh dikalikan jumlah produksi rokok, akan ditemukan angka konsumsi cengkeh. Nah, ketika angka konsumsi cengkeh dibandingkan angka produksi, memang ada sedikit kelebihan. Tapi tidak banyak. Meskipun kelebihan itu dikumulatifkan, jumlahnya tak sampai 50%. Gappri juga punya angka sendiri. Jika angka konsumsi cengkeh Gappri dibandingkan dengan jumlah produksi, hasilnya menunjukkan, ada tahun-tahun kekurangan produksi, ada pula tahun-tahun yang produksi dan konsumsinya seimbang. Saya menyimpulkan, produksi dan konsumsi cengkeh masih seimbang. Ini berdasarkan angka Gappri dan hasil penelitian Balitro tadi. BPPC mengaku stoknya sekarang sampai 170.000 ton, sedangkan data kelebihan suplai cengkeh pada akhir 1991 menurut catatan Dirjen Perkebunan cuma sekitar 29.000 ton. Mengapa selisihnya begitu besar? Sekarang ini, kami dengan BPS sedang melakukan survei percengkehan. Survei ini dimulai Januari lalu, antara lain dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan seberapa besar sebenarnya tingkat produksi dan konsumsi cengkeh di Indonesia dan trendnya di masa depan. Kita harus punya angka yang akurat. Hasil sementara dapat dilihat April mendatang. Hasil finalnya baru Juli nanti. Dari hasil ini, kita dapat mengambil beberapa keputusan, misalnya apakah konversi lahan untuk tanaman lain diperlukan atau tidak. Jadi, usul konversi tanaman cengkeh bisa diterima? Konversi cengkeh menjadi tanaman lain sebenarnya sudah kita mulai jauh sebelum ada usul dari BPPC. Dari empat PTP yang memiliki kebun cengkeh PTP XII, PTP X, PTP XVIII, dan PTP XXIII PTP XII sudah melakukan konversi. Tahun 1987 PTP XII memiliki kebun cengkeh 864 ha. Sejak tahun 1988 (ketika harga cengkeh jatuh sampai Rp 1.500 per kg Red.), sekitar 95 ha kebun cengkeh milik PTP itu diubah menjadi kebun teh. Setahun kemudian ada 187 ha dikonversi menjadi kebun kakao. Tahun 1990, 199 ha lagi dijadikan kebun teh, dan tahun 1991 58 ha dikonversi untuk teh. Total ada 539 ha lahan kebun cengkeh yang telah dikonversi. Keputusan konversi kami ambil karena harga tidak menguntungkan lagi, padahal biaya begitu tinggi. Apakah betul kelebihan suplai cengkeh disebabkan oleh kebijaksanaan Pemerintah? Sebenarnya, sejak tahun 1983 kami tidak lagi mengadakan pengembangan cengkeh. Ini berarti, dana pengembangan tak lagi dianggarkan. Keputusan ini diambil karena Departemen Pertanian melihat potensi produksi cengkeh sudah mencukupi tingkat konsumsi. Lalu secara bertahap sejak 1988 kami tidak lagi memperluas penanaman cengkeh. Ini kita lakukan dengan menyetop penanaman cengkeh di PTP-PTP. Tahun 1991 tidak ada lagi pembibitan cengkeh. Bahwa masih banyak petani yang mengembangkan cengkeh, itu karena mereka membuat pembibitan sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus