DI negara mana pun, selalu ada pengusaha yang pintar dan bisa "mengakali" undang-undang. Bagi mereka, tak begitu sulit untuk berkelit dari pajak. Ketika nama 400 pembayar PPh (Pajak Penghasilan) 1990 terbesar diumumkan Februari lalu, banyak yang menaruh curiga. Mengapa? Ekonom Kwik Kian Gie menilai, banyak perusahaan (tidak terkecuali pemiliknya) meraup uang ratusan milyar dari pasar modal, tapi nama mereka tidak termasuk dalam daftar pembayar pajak terbesar. Berdasarkan data yang dimiliki Kwik, kecurigaan itu memang beralasan. Dari 67 perusahaan yang melempar sahamnya di pasar modal pada 1990, tak lebih dari 15 perusahaan yang masuk dalam daftar pembayar PPh terbesar. "Sepintas lalu, ya aneh. Dan ini perlu diteliti," ujar Kwik. Memang, data itu masih harus dikaji. Berdasar akal sehat saja orang akan mempertanyakan, mengapa seluruh kelompok Lippo tidak ada yang masuk daftar pembayar PPh terbesar. Mengapa justru perusahaan software Multipolar yang masuk? Tak kurang aneh, Indah Kiat Pulp & Paper. Perusahaan ini meraup dana Rp 636 milyar dari pasar modal, tapi namanya juga tidak masuk daftar pembayar PPh terbesar. Kenapa? Ada tiga kemungkinan. Pertama, perusahaan yang meraup dana besar dari bursa tidak masuk dalam daftar jawara karena dia menerbitkan saham baru (new issuance). Dan sesuai dengan aturan yang berlaku, agio bukan obyek pajak. Berarti, dana yang diterima dari hasil go public langsung masuk dalam bentuk modal. Berbeda dengan divest (melepas saham lama). Di sini ada capital gain yang harus dikenai PPh. Maka, perlu dipertanyakan, berapa banyak perusahaan pada tahun 1990 yang menjual saham baru. Benarkah hanya 15 perusahaan yang go public dengan saham lama? "Kita nggak usah apriori," ujar Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad. Dirjen Pajak ini mengaku punya daftar perusahaan yang divest dan yang new issuance. Indah Kiat, yang kapitalisasinya di pasar modal jauh lebih besar dari Gudang Garam, toh tidak terpilih sebagai pembayar pajak terbesar. Tentang ini ada penjelasan dari Vice President BII, Hidajat Tjandradjaja. Katanya, dana murah itu digunakan untuk perluasan pabrik. Berarti bebas pajak. "Jadi, bukan kami tidak membayar pajak. Ini cuma mengulur waktu pembayaran pajak," ujar Hidajat. Kemungkinan kedua, aparat pajak tidak begitu jeli dalam menentukan para jawara. Padahal, mereka telah membayar PPh pribadi yang cukup besar. Sukamdani Sahid Gitosardjono, misalnya, pada tahun 1990 menyetor PPh pribadi sebanyak Rp 470 juta. Hotel Sahid miliknya pada tahun 1990 berhasil pula menarik dana Rp 77 milyar dari pasar modal. Tapi nama Sukamdani tetap tak masuk 200 pembayar PPh terbesar. Kemungkinan ketiga adalah kenakalan wajib pajak. Di Indonesia setiap perusahaan sudah biasa memiliki dua-tiga pembukuan. Untuk pembukuan fiskal, misalnya, wajib pajak lebih suka menggunakan metode penyusutan yang dipercepat, sehingga biayanya tinggi. Otomatis, beban pajak lebih ringan. Sedangkan di pembukuan komersil, mereka menggunakan metode penyusutan normal. "Itu kan tidak dilarang," ujar Mar'ie. Mar'ie benar. Hanya saja, menurut seorang pengusaha, kini banyak perusahaan yang lebih suka menjual aset lalu menyewanya kembali. Maka, terjadi penyusutan yang memang bisa menekan pajak. Di luar itu masih ada celah UU yang bisa diterobos. Biaya entertainment, misalnya, selalu bisa diutakatik. Ini berarti tetap ada orang mahakaya yang lolos dari daftar 200 pembayar pajak terbesar. Bambang Aji, Indrawan, dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini