KEPASTIAN itu terungkap Rabu siang pekan lalu. Seusai menemui Presiden Soeharto di Bina Graha, Menpen Harmoko mengatakan bahwa koran sore Sinar Harapan, yang dibatalkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers)-nya mulai 9 Oktober 1986, tak diizinkan terbit lagi. Menurut Menpen, pembatalan itu sesuai dengan undang-undang. "Berarti ia tidak bisa diterbitkan lagi," ujarnya. Keputusan itu, katanya, diambil setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers (lihat Alasan-Alasan Kumulatif). Hampir semua orang kaget dan gundah mendengar vonis tersebut, terutama kalangan pers. Ini berarti, sejak berlakunya sistem SIUPP, sekitar dua tahun silam, baru pertama kali ini sebuah penerbitan pers dibatalkan SIUPP-nya. Yang paling terpukul dengan keputusan itu, tentu saja, adalah keluarga besar Sinar Harapan. Ini bukan hanya pukulan moral, tapi juga finansial, karena -- menurut sebuah sumber -- pendapatan dari SH merupakan 60 persen dari penghasilan kelompok Sinar. Menurut sumber yang sama, sejak SH terhenti terbit, kelompok ini mengalami kerugian Rp 50 juta setiap hari. Kelompok SH, dengan sekitar seribu karyawan, meliputi juga percetakan PT Sinar Agape Press, biro perjalanan PT Agaphos Tours & Travels, usaha transportasi PT Sitra Express, perusahaan periklanan PT Karya Espera, penerbitan PT Pustaka Sinar Harapan, dan radio swasta PT Pelita Kasih. Menurut Christianto Wibisono dari Pusat Data Bisnis Indonesia, SH dengan nilai hampir Rp 10 milyar merupakan harian dengan nilai kekayaan nomor dua di Indonesia, setelah Kompas yang ditaksir bernilai Rp 15,6 milyar. Ditutupnya SH, kata sebuah sumber, berarti setiap tahun pemerintah kehilangan penghasilan Rp 2 milyar -- yakni pajak yang disetor harian ini. Memang, selain memiliki sejumlah usaha yang disebutkan tadi, kelompok SH juga mengelola dwimingguan Mutiara, serta mengadakan afiliasi dan membina sejumlah penerbitan lain: dwibulanan Higina, mingguan Tribun Olahraga, serta beberapa koran daerah Obor Pancasila (Manado), Suara Indonesia (Malang), dan Nusa Tenggara (Denpasar). Namun, tampaknya, berbagai usaha itu tidak akan bisa menampung para karyawan SH, terutama sekitar 200 wartawannya. Bisa dimaklumi bila suasana di gedung SH yang bertingkat enam di Cawang, Jakarta Timur, di hari-hari terakhir ini tampak suram. Sejak November, para wartawan SH misalnya, cuma mendapat 50 persen gaji. Dan bila situasi ini terus berlanjut, mungkin saja akan terjadi PHK. Bagi sebuah koran sore terbesar -- dengan sederet prestasi jurnalistik yang cukup baik -- yang baru saja merayakan 25 tahun usianya, ini memang sebuah kejadian yang menyedihkan. Yang agaknya membuat keluarga SH lebih gundah adalah beredarnya kabar burung tentang adanya suatu kelompok yang ingin merekrut para wartawan SH bagi sebuah harian sore baru. "Ya, kalau mereka mau ke sana, terserah. Saya tidak bisa melarang," kata seorang redaktur SH. "Kalau cuma mau diikat duit, ya...," ujarnya lagi. Hari-hari yang sulit dan penuh percobaan tampaknya sedang menimpa SH. Para pengelolanya, kabarnya, sedang mencoba berbagai upaya. Antara lain mengusahakan agar Mutiara diperbolehkan menjadi majalah berita mingguan. Namun, perhatian lebih banyak dicurahkan agar SH bisa terbit lagi, misalnya dengan memperoleh SIUPP baru. "Kami tetap berupaya agar Sinar bersinar lagi," kata seorang pimpinan SH. Dan, seperti diisyaratkan oleh Menpen Harmoko jalan ke arah itu tampaknya tidak sama sekali tertutup, dengan memenuhi sejumlah persyaratan, tentunya. Susanto Pudjomartono Laporan Agus Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini