Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Analis Beberkan 6 Faktor yang Harus Diperhatikan untuk Kembangkan Potensi Energi Terbarukan

Analis dari Climate Policy Initiative Albertus Prabu Siagian mengungkap apa yang harus diperhatikan saat mengembangkan potensi energi baru terbarukan.

18 Agustus 2022 | 14.43 WIB

Kegiatan 21 dosen dari 7 politeknik negeri di Indonesia berkunjung ke tiga pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang ada di Bali. Mereka menuju persiapan pembukaan program D4 Spesialisasi 1 Tahun Energi Terbarukan Bidang Solar, Hydro, dan Hybrid pada September 2022. (FOTO/RESD)
Perbesar
Kegiatan 21 dosen dari 7 politeknik negeri di Indonesia berkunjung ke tiga pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang ada di Bali. Mereka menuju persiapan pembukaan program D4 Spesialisasi 1 Tahun Energi Terbarukan Bidang Solar, Hydro, dan Hybrid pada September 2022. (FOTO/RESD)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Analis dari Climate Policy Initiative Albertus Prabu Siagian mengungkap beberapa hal yang harus diperhatikan saat mengembangkan potensi energi baru terbarukan (EBT). Ketika berbicara potensi EBT, menurut dia, kebanyakan orang langsung kepada berapa megawatt yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atau pembangkit listrik tenaga angin (PLTA).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Namun ia menilai hal tersebut tidak cukup karena ada banyak aspek yang harus diperhatikan. Pertama, potensi geografi yang merupakan faktor alam. “Itu sifatnya enggak begitu banyak yang bisa kita lakukan. Indonesia di sini tidak bisa pindah ke lokasi lain di bumi,” ujar Albertus dalam diskusi daring bertajuk Merdeka dari Energi Fosil yang digelar pada Kamis, 18 Agustus 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menjelaskan tiap provinsi memiliki keunikannya masing-masing soal potensi geografis. Secara keseluruhan, potensi EBT diestimasikan mencapai 443 gigawatt. Dari angka tersebut, 10 gigawatt di antarannya sudah digunakan sebagai kapasitas terpasang, 62 gigawatt lainnya secara teoritis dapat digunakan untuk menggantikan batu bara, gas, dan solar saat ini.

“Sisanya 371 gigawatt secara teoritis dapat digunakan untuk memperluas kapasitas terpasang Indonesia saat ini hingga 6 kali,” kata dia.

Kedua, seberapa besar labor readiness. Albertus menilai faktor itu juga penting untuk dilihat dalam pengembangan potensi EBT. Jangan sampai hanya karena potensi secara geografisnya besar tapi lupa dengan potensi sumber dana manusianya. “Apakah kita ready atau tidak.”

Ketiga, harus juga melihat manufaturing capacity, apakah Indonesia sanggup mengimbanginya atau tidak. Misalnya ketika ingin membuat EBT, bagaimana komponennya, dari mana asal komponennya, apakah inpor atau memproduksi sendiri, sanggup atau tidak.

“Terus bahan bakunya juga datang dari mana, misalkan kalau panel surya itu dari mana bahan bakunya,” tutur Albertus mempertanyakan.

Hal keempat yang harus diperhatikan adalah supporting infrastructure. Albertus mencontohkan, apakah transmisi dan distribusi dari EBT itu cukup. Ia menyarankan agar tidak asal membuat pembangkit listrik terbarukan yang terlalu banyak di daerah terpencil.

“Harus dipikirkan bagaimna menyambungkan listriknya ke pusat kota dan juga energy storage-nya juga harus dipikirkan,” kata Albertus. “Karena kan namanya juga terbarukan itu intermiten, kadang ada kadang enggak, misalkan angin atau matahari jadi harus bisa ditimbang untuk men-stabilitasi sistem.”

Kelima ada financing power, harus bisa melihat seberapa besar dan kuat potensi Indonesia untuk mendanai. Karena proyek-proyek EBT kebanyakan tipenya memiliki belanja modal (capex) yang besar, tapi pengeluaran belanja operasionalnya (opex) kecil.

Ia lalu mencontohkan PLTS yang butuh modal besar tapi pengoperasiannya tidak sulit karena tidak berganti bahan bakar, cukup memantau matahari saja. “Nah ini artinya kita butuh jumlah dana yang besar di awal, bagaimana uang ini bisa datang, dari mana, bagaimana potensinya itu juga harus kita pikirkan,” tuturnya.

Faktor keenam yakni demand factor. Albertus menyatakan pengukuran seberapa besar potensi energi baru terbarukan di Indonesia sifatnya relatif terhadap seberapa besar permintaan atas energi tersebut. “Itu juga harus kita pikirkan."

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

M. Khory Alfarizi

Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bergabung di Tempo pada 2018 setelah mengikuti Kursus Jurnalis Intensif di Tempo Institute. Meliput berbagai isu, mulai dari teknologi, sains, olahraga, politik hingga ekonomi. Kini fokus pada isu hukum dan kriminalitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus