Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perusahaan gabungan XL dan Smartfren berencana beroperasi pada paruh pertama 2025.
Ada risiko pengaturan harga saat jumlah pemain di industri makin kecil.
Persaingan usaha yang sehat penting untuk mengantisipasi risiko oligopoli.
PEMAIN jaringan seluler di dalam negeri bakal makin berkurang tahun depan. PT XL Axiata Tbk serta PT Smartfren Telecom Tbk dan PT Smart Telecom memutuskan bergabung menjadi satu perusahaan pada 11 Desember 2024. Jika tak ada aral melintang, perusahaan gabungan mereka yang diberi nama PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk itu bakal beroperasi pada paruh pertama 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah itu menyebabkan industri layanan seluler di Indonesia hanya akan dikuasai tiga perusahaan, yaitu PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk, dan PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk. Makin berkurangnya perusahaan yang menguasai pasar bisnis seluler ini menimbulkan kekhawatiran munculnya praktik oligopoli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persaingan di bisnis telekomunikasi memang ketat. Data pelanggan hingga kuartal III 2024 menunjukkan Telkomsel masih memimpin di sektor ini. Anak usaha Telkom Indonesia tersebut memiliki 158 juta pelanggan. Di posisi kedua ada Indosat dengan 98,7 juta pelanggan. Kondisi itu timpang dengan XL yang memiliki 58,6 juta pengguna dan Smartfren hanya 34,5 juta pengguna. Namun, setelah merger, jumlah pelanggan dua perusahaan itu bisa mendekati Indosat.
Melihat komposisi tersebut, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Fanshurullah Asa mengatakan pasar telekomunikasi akan dikendalikan tiga perusahaan saja. Dengan kata lain, kondisi itu bisa menciptakan struktur industri oligopoli. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, oligopoli bisa terjadi jika dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
"Keberadaan struktur tentu saja tidak salah karena yang diawasi adalah perilaku," kata Ifan—sapaan Fanshurullah—kepada Tempo, Ahad, 15 Desember 2024.
Salah satu contoh perilaku yang dimaksudkan Ifan itu adalah perjanjian penetapan harga atau price fixing. Dengan penguasa pasar yang sedikit, mereka bisa bersepakat mengatur harga yang harus dibayar konsumen. Jika itu terjadi, konsumenlah yang akan dirugikan karena tidak memiliki pilihan selain mengikuti harga yang ditetapkan penyedia jasa.
Praktik main mata antar-operator ini pernah terjadi pada 2007. KPPU mengusut kasus pengaturan harga pesan pendek atau SMS. Lima operator seluler terbukti bersepakat mengatur tarif layanan tersebut dan merugikan konsumen hingga Rp 2,827 triliun.
Untuk mengantisipasi perilaku tersebut, Ifan mengungkapkan, diperlukan pengaturan dan pengawasan yang lebih ketat saat struktur industri terkonsentrasi. Pemerintah, regulator, dan KPPU harus bekerja sama. "Baik dalam hal tarif, interkoneksi, akses, maupun kualitas," tuturnya.
Direktur Eksekutif Information and Communication Technology Institute Heru Sutadi mengatakan risiko oligopoli akan muncul jika pemerintah tak bisa menjaga kompetisi sehat antar-pelaku usaha. "KPPU harus mengawasi agar kompetisinya sehat. Jangan sampai ada operator yang main mata dengan operator lain," ujarnya. Pria yang juga menjabat Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional ini mengatakan masyarakat akan dirugikan karena menanggung tarif yang mahal jika pengawasan tidak berjalan.
Meski begitu, Heru masih optimistis persaingan sehat bisa terjadi jika pengawasan dilakukan dengan baik. Selain itu, ia melanjutkan, pasar seluler beririsan dengan pasar Internet. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia punya lebih dari 1.200 anggota. "Para operator jaringan seluler semestinya juga sudah belajar banyak dari kasus kartel SMS yang terjadi beberapa tahun silam," ujarnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies Nailul Huda justru melihat bergabungnya XL dengan Smartfren sebagai hal positif. Merger dua perusahaan itu akan mendorong efisiensi dan penambahan modal yang bakal menambah kekuatan untuk bersaing dengan Telkomsel yang saat ini mendominasi penguasaan pasar.
"Saya merasa pasar Telkomsel terlampau besar. Ketika pesaingnya merupakan perusahaan kecil, mereka tidak bisa efisien untuk bersaing dengan Telkomsel," ucapnya.
Bergabungnya sejumlah perusahaan seluler bukan pertama kali terjadi. Pada 2022, Indosat bergabung dengan Hutchison 3 Indonesia. Nilai transaksi kedua perusahaan mencapai US$ 6 miliar. Setelah aksi korporasi ini, perusahaan tersebut lebih mampu bersaing dan meningkatkan pendapatan.
Huda mengatakan operator yang efisien mampu menawarkan harga layanan murah tanpa perang harga. "Harga paket layanan telekomunikasi bisa jauh lebih murah karena cost-nya lebih efisien," katanya.
Head of External Communications XL Axiata Henry Wijayanto tak berkenan berkomentar mengenai kekhawatiran risiko oligopoli di industri telekomunikasi tersebut. Dia hanya menyatakan perusahaan tengah berfokus menyelesaikan proses penggabungan perusahaan. "Kami berfokus dulu pada merger," ucapnya.
Sementara itu, Vice President Corporate Communications & Social Responsibility Telkomsel Saki Hamsat Bramono menuturkan Telkomsel tetap berkomitmen menghadirkan konektivitas andal, solusi inovatif, dan layanan berkualitas. "Kami percaya bahwa konsolidasi ini dapat meningkatkan kualitas layanan, menjadikan akses digital merata, memberikan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan, serta menciptakan dampak positif yang berkelanjutan bagi masyarakat dan bangsa," ujarnya. ●
Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo