Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Tantangan Berat Setelah Pertumbuhan Lewat

Angka pertumbuhan ekonomi tak mampu mendongkrak kurs rupiah. Inflasi Amerika Serikat yang akan berujung pada kenaikan suku bunga The Fed masih menjadi ancaman. 

13 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pertumbuhan ekonomi mencapai 5,72 persen pada kuartal III.

  • Fluktuasi kurs rupiah lebih bergantung pada suku bunga The Fed.

  • Indonesia harus mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed.

KETIKA pasar keuangan sedunia masih terguncang-guncang tak menentu, optimisme masih merebak di Indonesia. Sumbernya adalah statistik pertumbuhan ekonomi yang terbit pada Senin, 7 November lalu. Per akhir kuartal III 2022, secara tahunan ekonomi Indonesia tumbuh 5,72 persen. Para pejabat pemerintah dengan ceria membanggakan ketangguhan ekonomi Indonesia di tengah ekonomi global yang sedang bergejolak.

Sebaliknya, pasar keuangan bereaksi biasa saja. Bahkan terbitnya statistik pertumbuhan ekonomi itu tak bisa menahan kemerosotan nilai rupiah. Di akhir hari itu, kurs rupiah justru melemah menjadi 15.685 per US$ ketimbang 15.600 pada saat pembukaan di pasar Jakarta. Nilai rupiah baru menguat dengan cepat setelah ada statistik lain yang terbit dua hari kemudian. Dan itu bukan soal ekonomi Indonesia, melainkan inflasi di Amerika Serikat.

Di luar perkiraan pasar, laju inflasi tahunan di Amerika per akhir Oktober 2022 melambat menjadi 7,7 persen daripada bulan sebelumnya yang sebesar 8,2 persen. Melunaknya inflasi di Amerika membawa harapan bahwa The Federal Reserve tidak akan lagi terlalu agresif menaikkan bunga di bulan-bulan mendatang. Pasar keuangan pun tersengat euforia. Kabar ini juga menyetrum energi rupiah, yang langsung menguat dengan cepat. Pada akhir pekan, Jumat, 11 November lalu, nilai tukar rupiah kembali berkisar 15.500.

Begitulah memang realitasnya. Naik-turunnya kurs rupiah lebih bergantung pada angka inflasi di Amerika dan suku bunga The Fed ketimbang statistik pertumbuhan ekonomi Indonesia. Artinya, pergerakan kapital di pasar keuangan lebih menentukan nasib rupiah ketimbang pergerakan ekonomi riil yang sesungguhnya. Masuk-keluarnya dolar lewat investasi portofolio di pasar keuangan memang jauh lebih cepat. Tak aneh jika naik-turunnya kurs rupiah lebih bergantung pada sentimen yang berkembang di pasar keuangan ketimbang baik-buruknya statistik pertumbuhan.

Tentu, pertumbuhan ekonomi tetap merupakan indikator yang amat penting. Hal ini menunjukkan baik-buruknya kinerja ekonomi pada suatu periode tertentu. Bagi politikus, statistik pertumbuhan bahkan menjadi tolok ukur yang menentukan, bagaikan rapor keberhasilan atau kegagalan.

Sebaliknya, bagi investor di pasar keuangan, statistik pertumbuhan hanyalah referensi tentang hasil kinerja yang sudah berlalu. Dalam menggerakkan uang, investor di pasar keuangan akan lebih menimbang masa depan, bagaimana proyeksi imbal hasil investasinya kelak. Kinerja ekonomi di masa mendatang yang lebih menentukan.

Maka, setelah euforia mengendur pada akhir pekan lalu, para analis akan kembali berkonsentrasi menelaah bagaimana kira-kira pergerakan inflasi di Amerika Serikat. Apakah inflasi benar-benar sudah melampaui titik tertingginya dan pelan-pelan akan turun hingga di bawah target The Fed yang cuma 2 persen? Melihat fakta bahwa inflasi di Amerika masih 7,7 persen, perjalanan tampaknya masih akan panjang. Untuk membuat inflasi menurun hingga di bawah target, The Fed belum akan berhenti menaikkan bunga dalam waktu dekat.

Saat ini bunga rujukan The Fed masih 4 persen. Sementara itu, dalam sidang awal November lalu, Ketua The Fed Jerome Powell sudah memberi isyarat bahwa The Fed akan lebih perlahan menaikkan bunga, tapi titik puncak kenaikan itu bakal lebih tinggi ketimbang target sebelumnya yang dipatok 4,6 persen. Kesimpulannya, pasar keuangan masih harus mengantisipasi kenaikan bunga beberapa kali lagi hingga target itu tercapai.

Bagi Indonesia, ini menjadi tantangan berat untuk menjaga pertumbuhan. Bunga tinggi akan membawa perlambatan ekonomi global dan menurunkan permintaan akan berbagai komoditas ekspor dari Indonesia. Risikonya bisa lebih besar jika kelesuan permintaan terjadi pada ekspor hasil manufaktur padat karya, seperti tekstil atau alas kaki. Lesunya pasar ekspor industri padat karya dapat berbuntut pemutusan hubungan kerja besar-besaran.

Inilah yang sekarang sudah mulai terasa dan mungkin terus berlanjut di bulan-bulan mendatang. Investor tentu lebih memperhatikan kemungkinan ini. Bagi mereka, tak ada gunanya terbuai angka pertumbuhan ekonomi atau kehebatan statistik yang sudah lewat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus