Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEJAKSAAN Agung perlu segera menjelaskan secara gamblang perkara dugaan korupsi pemberian izin impor garam industri periode 2016-2022. Bila tidak, kesan bahwa Kejaksaan tebang pilih dan suka mengkriminalkan kebijakan sulit dihindarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awal bulan ini, Kejaksaan Agung menetapkan tiga pejabat di Kementerian Perindustrian sebagai tersangka korupsi impor garam. Kejaksaan kemudian menetapkan dua pemimpin Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia. Jaksa menuduh para tersangka merekayasa data untuk menentukan kuota impor garam industri sebesar 3,7 juta ton dengan nilai Rp 2,05 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaksa menjerat para tersangka dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua pasal ini intinya melarang tindakan memperkaya diri atau orang lain, dengan cara melanggar hukum atau menyalahgunakan wewenang, sehingga merugikan keuangan atau perekonomian negara. Masalahnya, jaksa belum menjelaskan secara benderang perbuatan para tersangka serta jumlah kerugian keuangan atau perekonomian negara akibat perbuatan mereka.
Selama ini, opini yang terbangun adalah izin impor garam besar-besaran telah merugikan petani garam lokal. Ada juga dugaan bahwa garam impor yang seharusnya untuk keperluan industri merembes ke pasar garam konsumsi. Padahal garam industri yang diimpor itu berbeda spesifikasinya dengan garam konsumsi yang diproduksi petani.
Repotnya, penggunaan pasal “merugikan keuangan dan perekonomian negara” telanjur menjadi kegemaran Kejaksaan. Sebelumnya, jaksa memakai pasal karet dan sapu jagat itu untuk menjerat para tersangka perkara pemberian izin ekspor minyak sawit mentah di Kementerian Perdagangan. Seperti halnya kasus izin impor garam, hingga kini duduk perkara kasus izin ekspor sawit masih berselimut kabut.
Kejaksaan tak pernah membeberkan bagaimana mereka menghitung kerugian negara serta standar audit mana yang menjadi acuan. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, yang berwenang menyatakan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan. Faktanya, jaksa acap menggunakan jasa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Alasan Kejaksaan, BPKP lebih cepat menghitung dan BPK tak punya jaringan hingga ke pelosok daerah.
Kerunyaman ini sejatinya berpangkal pada pembatasan impor garam industri. Kuota impor kerap menjadi ajang korupsi bagi para pemburu rente serta mereka yang memperdagangkan pengaruh dan kekuasaan. Semestinya, untuk garam industri yang tidak bisa dipasok petani lokal, keran impornya dibuka bebas saja. Kalaupun ada kuota, harus ada lelang yang terbuka dan adil bagi semua importir.
Lebih jauh, izin impor garam industri berhulu pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018. Peraturan yang mencabut wewenang Menteri Kelautan dan Perikanan untuk merekomendasikan kuota impor garam itu bermasalah sejak awal. Sebab, peraturan tersebut membuat kategori yang tak ada pada undang-undang di atasnya, yakni garam bahan baku dan penolong industri yang rekomendasi impornya dari Menteri Perindustrian.
Selain harus terbuka, agar tak berkesan tebang pilih, Kejaksaan semestinya memeriksa semua menteri—bahkan Presiden—yang berkaitan dengan kebijakan izin impor garam industri. Memangnya jaksa berani?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo