SEJUMLAH redaktur, antara lain dari l'Express (Perancis), Time
(AS), The Statesmen (India) dan TEMPO (Indonesia), telah diminta
untuk berdiskusi dalam suatu kelompok. Tugas kelompok ini ialah
menyusun laporan tentang Arus Berita Internasional. The
Twentieth Century Fund, satu yayasan riset di New York, yang
membentuk kelompok diskusi itu menerbitkan laporan itu dalam
satu buku kecilnya baru-baru ini. Jelas pesannya ditujukan juga
ke UNESCO yang sedang hendak membikin deklarasl tentang media
massa.
Laporan itu mencatat adanya ketimpangan serius dalam arus
informasi antara negara-negara berkembang dan yang sudah maju.
Ini bisa diatasi dengan memperbaiki mutu informasi dan menambah
kwantitas berita dari Dunia Ketiga di Media Barat, baik yang
cetak ataupun elektronik.
Tapi banyak ketimpangan itu juga karena adanya kecenderungan
semua kawasan, negara dan suku bangsa ke arah ethnocentricity.
Umpamanya, kalangan negara Dunia Ketiga sendiri diketahui
sedikit saja berminat mengenai berita negara Dunia Ketiga
lainnya. Adanya distorsi, kekeliruan, dalam laporan pers Barat,
biasanya memang tidak karena disengaja, tapi karena adanya
perbedaan kebudayaan. Maka sebaiknya kaum wartawan, terutama
gatekeepers (pimpinan redaksi) supaya membuat diri tambah
mengerti soal kebudayaan dan kondisi di negara berkembang. Tapi
semua itu meminta kebebasan bergerak dan melaporkan.
Dicatat pula ada suara Dunia Ketiga yang menginginkan "suatu
orde penerangan baru" yang justru hendak membatasi arus
informasi di seluruh dunia.
Tentang kemerdekaan pers diakui masih rapuh, malah juga di
Barat, hingga tidaklah realistis untuk menterapkannya di
mana-mana dalam satu rumus. Esensi dari arus informasi yang
bebas, seperti dimengerti di Barat, ialah supaya melayani
publik, bukan pemerintah. Sebaliknya, rezim otoriter mau
mengekang informasi dengan dasar bahwa kepentingan warganegara
dianggapnya sinonim dengan kepentingan negara. Dalam menghadapi
dua pendirian itu, banyak negara Dunia Ketiga menempuh jalan
tengah.
Diusulkan supaya dibentuk suatu badan swasta yang terdiri atas
kaum jurnalis bebas dan para ahli komunikasi dari negara-negara
berkembang maupun maju untuk memonitor, menilai, dan melaporkan
saran yang berhubungan dengan arus informasi yang bebas dan
seimbang. Sifatnya sementara, tidak lebih dari dua tahun, untuk
menilai kerja UNESCO dalam hal komunikasi serta laporan badan
lainnya yang sama. Boleh ia diberi nama Ad Hoc Committee for the
International Flow of News.
Di samping itu, disetujui gagasan untuk membentuk Multinational
News Aency (MNA), yang dibantu oleh berbagai kantor-berita dari
negara-negara maju dan berkembang. Gagasan itu dicanangkan di
Konperensi Kairo 1978 tentang media internasional. MNA tidak
akan bersaing dengan operasi kantor berita yang ada, tapi
bertindak sebagai pusat penyalur atau jembatan kerjasama para
wartawan dari dua Dunia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini