BERITA yang baik itu bagaimana? Dunia Ketiga mempunyai definisi
tersendiri, yang sudah enam tahun membangkitkan kontroversi di
lingkungan UNESCO. Gelombang sengketanya masih hendak diatasi
oleh badan PBB itu dalam General Conference ke-29, kini
berlangsung di Paris.
Masalah pokok ialah bagaimana media massa sebaiknya melakukan
kontribusi mereka untuk perdamaian dan pengertian internasional.
Apakah boleh dengan cara menyiarkan informasi yang mengandung
pendapat berbeda, bahkan selalu kritis? Atau dengan menyebarkan
melulu informasi yang mendukung kebijaksanaan pemerintah? Semua
jawaban yang sedang dicari itu rupanya hendak dituangkan ke
dalam suatu deklarasi.
Rencana deklarasinya, sejak Uni Soviet mempeloporinya dengan
suatu resolusi dalam Konperensi Umum ke-17 tahun 1972, sudah
berulangkali berobah. Namun para anggota UNESCO belum bisa
sepaham. Dalam hal ini mereka dituntut supaya menjembatani
jurang pendapat sejauh mungkin, terutama sejak mereka
berkonperensi di Nairobi, 1976. Sejak Nairobi itu, Direktur
Jenderal UNESCO, kini Amadou-Mahtar M'Bow ditugaskan mengadakan
konsultasi terus-menerus guna mencari the largest possible
measure of agreement, berarti semacam konsensus.
Setelah banyak konsultasi, Dirjen M'Bow dan para pejabatnya
terakhir, 21 Agustus 1978, menyiapkan rencana naskah deklarasi
baru yang kini disodorkan pada sidang di Paris. Ternyata itu
pun, walaupun sudah jauh maju ketimbang isi naskah terdahulu,
masih belum bisa disetujui sepenuhnya terutama oleh Amerika
Serikat. Tanpa AS, jelas naskah baru itu macet lagi. Maka sejak
dibuka sidang di Paris itu 28 Oktober, masuk lagi sejumlah
amandemen. Kini ditunggu munculnya suatu rencana naskah terbaru
menjelang 16 Nopember. Sidang Paris mencoba menghindari
konfrontasi, tapi rupanya sepakat untuk menelorkan suatu
deklarasi tentang media massa. Apakah bisa itu tercapai
menjelang sidang tersebut ditutup 28 Nopember, wallahualam.
Tak Cukup Didengar
Posisi AS, yang sangat menentukan, mendesak supaya deklarasi itu
sejalan dengan Pasal 19 dari Deklarasi Hak Asasi PBB yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak "mencari, menerima dan
melepas informasi dan gagasan melalui media apa pun dan di mana
saja." Rencana naskah 21 Agustus 1978, menurut pendapat AS,
tidak bisa diterima karena antara lain: ia tak akan efektif
melindungi hak orang menyatakan pendapat. Juga cenderung
mencegah media massa untuk menyebarkan informasi yang tak
disukai pemerintah. Rencana naskah itu mengandung sejumlah
referensi kabur yang dapat secara gampang dipakai oleh
negara-negara bersangkutan untuk membenarkan penekanan terhadap
kegiatan media.
Rancangan itu juga tak memadai dalam memberi perhatian pada
nilai informasi yang bersaing dan kritis.
Repotnya, sebagian besar orang yang berbicara di Sidang Paris
kini adalah para birokrat, para pejabat pemerintah, apalagi dari
negeri komunis, dan para wartawan yang bekerja di bidang media
tak cukup didengar.
Tapi pada dasarnya sebagian orang di dunia memang menganggap
sepi perdebatan tentang media di UNESCO itu. Juga Indonesia
kurang bersuara. Maka kolumnis II. Dharmawan Tjondronegoro
menulis di Merdeka: "Saya heran mengapa pers kita kurang
tertarik pada masalah ini."
Mungkin karena dianggap tak penting. Walaupun nanti UNESCO bisa
menghasilkan deklarasinya, memang ia tidak akan mempunyai
kekuatan hukum. Namun dengan deklarasi UNESCO, jika berbau
kontrol, pasti ada saja anggotanya yang akan mendapat pembenaran
untuk mengekang pers di negerinya dan membatasi arus informasi
dari luar -- terutama mereka yang bersistim komunis atau
berkecenderungan kediktaturan lain.
Bahwa banyak anggota UNESCO akan enggan mematuhinya, itu bisa
pula terjadi nanti. Sama saja dengan nasib Deklarasi Hak Asasi
PBB sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini