NATIONAL POLICY IMPLICATIONS OF THE BASIC NEEDS MODEL
Oleh: (Dr.) Soedjatmoko
Terbitan: Bappenas, 7 Maret 1978
43 halaman, mimeograph ukuran kwarto.
BUKU kecil ini adalah suatu cetak ulang dengan sedikit perubahan
dari-pada kertas-kerja yang diajukan kepada seminar tentang
'Implikasi Contoh Hajat-hajat Pokok' yang diselenggarakan oleh
Dewan Nasional Penasihat Kerjasama Pembangunan, Belanda pada
tanggal 24 Pebruari 1978 di Den Hagg, Nederland.
Penulisnya di sini telah tampil tidak saja sebagai seorang
sarjana ilmu-sosial yang mencoba secara obyektif meninjau
perkembangan dunia ketiga dari luar melainkan juga sebagai
seorang cendekiawan yang menyembul dari kancah pergolakan
kesulitan dunia ketiga itu sendiri. Ia bertolak dari sudut
pendirian seorang patriot dan demokrat yang hadir di
tengah-tengah pergumulan tersulit tanah-airnya.
Dan karena tanah-airnya sendiri merupakan integral daripada
dunia tersebut, maka pembahasannya tidak saja sederhana dan
mudah dipahami, melainkan juga getaran himbauannya jelas
dirasakan. Namun permasalahannya sedemikian rumit, keadaan dunia
ketiga sendiri demikian beragam, di dalam sumber bantuan alam
dan persediaan tenaga-kerja dan kader pembangunannya, sehingga
dengan sendirinya tidak semua pertanyaan dapat terjawab dengan
tuntas.
Tak Terjawab
Dalam pada itu karangan ini telah memenuhi fungsinya sebagai
suatu cetakan-biru (blue-print) bagi suatu peralihan yang tak
mengagetkan dan berangsur-angsur. Dengan cermat pengarang
menyoroti berbagai masalah seperti makanan, gizi, penempatan
tenaga-kerja, kesehatan, perumahan, pendidikan, komunikasi,
kebudayaan, riset, teknologi, pemerintahan, hukum, dinamika
politik dan implikasi ideologi, transformasi desa, bahkan
land-reform yang biasanya dihadapi dengan segala emosi dan
keberpihakan.
Tapi ia berhasil mendekati segala persoalan tersebut dari sudut
pembangunan masyarakat (community development) yang
rasionel-logikal dengan melepaskan diri dari keterlibatan
pertentangan politik yang cenderung untuk mewarnai kebanyakan
pembahasan demikian. Terasa sekali di sini pengalamannya sebagai
seorang diplomat, seorang empu di dalam memberikan acuan-acuan
kata kepada pikiran-pikirannya. Ia berhasil mengungkapkan secara
netral kritiknya terhadap misalnya kecenderungan anti-demokratik
pada pihak para penguasa sebagian dunia ketiga di dalam
keinginan mempercepat penerapan sesuatu pola pembangunan.
Dalam pada itu penulis membiarkan tak terjawab berbagai
persoalan, seperti pembentukan modal nasional untuk membiayai
pembangunan, kekurangan bahan-baku dan bahan bakar, kekurangan
ketrampilan teknik dan kecakapan managerial, ledakan penduduk
dan ketakmerataan persebaran penduduk, bagaimana mengatasi
kecenderungan-kecenderungan birokratik, penyalahgunaan dana pada
elite baru barisan pimpinan berbagai negeri dunia ketiga.
Pembangunan industri di berbagai negeri atau daerah yang
kekurangan tenaga, juga mekanisasi pertanian merupakan prasyarat
bagi peninggian GNP dan produktivitas per kapita. Tapi tabungan
nasional kerapkali dihambat oleh ketidakstabilan moneter, bahkan
kadang-kadang dirongrong oleh kecenderungan inflatoire yang
menahun. Padahal gerak serentak pembangunan yang hendak
dipercepat biasanya justru berpaku dengan ledakan penduduk,
harapan perbaikan nasib yang melambung dan ketaksabaran pada
masyarakat luas serta urbanisasi spontan ke kota-kota besar yang
telah terlalu kepadatan penduduk, tapi kekurangan perumahan dan
lapangan kerja. Kesulitan lain adalah, bahwa negeri-negeri
sedang berkembang biasanya mewarisi pertentangan sosial yang
tadinya hanya potensial dan terpendam, menjadi gawat oleh vakum
yang ditinggalkan oleh elite asing sebelum tercapainya
kemerdekaan nasional serta keinginan elite baru untuk
mendesakkan kehadirannya yang terlambat.
Patut dipuji ketajaman pandangan prospektif pengarang yang
menegaskan perlunya memperkecil perbedaan kota dan desa dengan
mempolakan suatu perkembangan desa yang akan membuat suatu
urbanisasi tidak seberapa menggiurkan lagi. Tapi memang di dalam
pelaksanaan program pembangunan masyarakat desa yang dipolakan,
lagi-lagi rintangan utamanya adalah kekurangan modal. Padahal
kesediaan negara-negara donor kepada komitmennya kerap-kali
diragukan, bahkan kerap mengecewakan. Dalam pada itu meski pun
pada umumnya masyarakat desa bekerja sangat keras, tapi biasanya
produktivitasnya terlalu rendah. Demikianlah industri
rumah-tangga atau koperasi kerap kali ditempatkan di dalam
kedudukan yang sulit di dalam perebutan pasar dengan hasil
industri kota dan barang-barang impor. Ini dibuktikan oleh
seringnya industri rumah-tangga atau perusahaan kecil desa
gulung tikar, karena biaya produksinya tak lagi sebanling
dengan harga pasar. Hal-hal lain sayang kurang disorot penulis.
Betapa pun konsep yang di ajukan penulis sangat berharga untuk
memancing suatu pemikiran yang lebih terperinci berdasarkan
perbedaan regional di dunia ketiga yang sangat beragam. Untuk
Afrika dan negeri-negeri Arab yang intensitas sinar mataharinya
sangat tinggl, disampmg tenaga anginnya yang melimpah,
penggunaan tenaga sinar matahari dan angin paling penguntungkan.
Sedangkan bagi Indonesia, Filipina, dan Oseania, listrik pasang
surut laut adalah yang paling murah. Memang konsep 'Contoh
Hajat-hajat Pokok' (Basic Needs Model) bukanlah suatu pola yang
beku.
Tulisan Soedjatmoko ini merupakan contoh yang baik tentang
bagaimana seharusnya seorang cendekiawan mengintegrasikan diri
dengan jamannya dan pergumulan dunianya. Pada tempatnya kita
ajukan harapan kepada penulis untuk menerbitkan bukunya ini di
dalam bahasa Indonesia.
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini