Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Bandung - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) membukukan total pendapatan sebesar Rp 210 triliun pada saat ini. Direktur Eksekutif Klaim dan Resolusi Bank LPS Suwandi menjelaskan, angka tersebut naik 12,25 persen ketimbang tahun lalu yang mencapai Rp 187,09 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Total uang kita Rp 210 triliun, dengan modal awal Rp 4 triliun, kemudian asetnya sekitar Rp 195 triliun," ujar Suwandi, di Bandung, Jawa Barat, Kamis, 9 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ia menjelaskan aset LPS tersebut bisa disetorkan ke Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP. Namun sebelumnya aset itu harus memenuhi syarat nilai setara dengan 2,5 persen total simpanan seluruh industri perbankan.
"Misalnya aset Rp 10 ribu triliun, berarti harus ada Rp 250 triliun. Cadangan penjaminan kita sudah sampai di sana atau belum? Bila sudah, pendapatan surplus yang dihasilkan oleh LPS dialokasikan untuk pencadangan jaminan, nanti disetorkan kepada negara Penerimaan Negara Bukan Pajak," ujar Suwandi.
Tapi hal itu belum bisa dilakukan sebab aset LPS belum sampai 2,5 persen. Bila mengacu Pasal 81 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, disebutkan bahwa modal awal lembaga tersebut adalah kekayaan negara yang dipisahkan dan ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun hingga Rp 8 triliun.
Sumber pendapatan LPS berasal dari modal awal pemerintah sebesar Rp 4 triliun ditambah kontribusi kepesertaan yang dibayarkan oleh bank mendaftar menjadi peserta, premi penjaminan bank setiap semester sebesar 0,1 persen dari dana pihak ketiga (DPK), serta dari hasil investasi cadangan penjaminan.
Lebih jauh, Suwandi memperkirakan, target aset LPS 2,5 persen dari total simpanan industri perbankan bakal tercapai pada 2035. “Itu kan bisa naik turun, bisa bergeser. Karena ada bank gagal misalnya kepakai uangnya, kalau kondisi yang normal-normal saja mungkin bisa 2035 target dana penjaminan bisa tercapai,” kata dia.
Bila target dana cadangan penjaminan tercapai, menurut Suwandi, bukan berarti bank yang menjadi anggota LPS berhenti membayar premi. Bank tetap menyetorkan premi hanya sebagiannya akan disetorkan ke negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Premi yang dibayarkan bank tersebut 80 persennya dicatatkan sebagai dana cadangan penjaminan sementara sisanya sebagai dana cadangan tujuan. “Dari 80 persen ke cadangan penjaminan karena sudah lewat, maka akan dimasukkan sebagai penerimaan negara bukan pajak, jadi tidak menambah cadangan penjaminan,” kata dia.
LPS mencatat bank yang menjadi peserta penjaminan per September 2023 menembus 1.688 bank. Angka ini terdiri dari 105 bank umum dan 1.583 BPR/BPRS. Jumlah tersebut turun dibandingkan yang tercatat pada tahun 2022 yakni 1.714 bank yang terdiri dari 106 bank umum dan 1.608 BPR/BPRS.
Penurunan tersebut disebabkan beragam hal. Jumlah bank umum per September 2023 berkurang 1 bank dibandingkan tahun 2022 karena bank terserbut berubah izin usahanya menjadi BPR.
Sementara BPR/BPRS per September 2023 berkurang 25 bank dibandingkan jumlahnya pada tahun 2022. Pengurangan BPR/BPRS tersebut karena 2 bank dicabut izin usahanya, 1 bank self liquidation, 24 bank merger, dan 1 bank umum yang berubah izin usahanya menjadi BPR, dan ada penambahan 1 BPR baru.
LPS juga mencatat per September 2023 ada 99,94 persen dari 535.119.932 rekening di bank umum yang dijamin LPS. Semntara untuk BPR/BPRS persentase rekening yang dijamin menembus 99,98 persen dari total rekening nasabah seluruhnya berjumlah 15.652.238 rekening.
AHMAD FIKRI | ANTARA