Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Bantalan Utang Tak Bisa Selamanya

Utang bisa menahan untuk sementara gejolak rupiah akibat pandemi Covid-19. Tapi seberapa lama?

 

24 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENTING bagi investor untuk mengamati grafik kurs rupiah dalam dua bulan terakhir. Meski wabah Covid-19 mengamuk ganas, rupiah kita relatif stabil. Sebelum serangan varian delta merebak, pekan pertama Juni lalu, kurs rupiah sempat menguat hingga di kisaran Rp 14.100 per dolar Amerika Serikat. Setelah itu, melonjaknya angka kasus Covid-19 memang membuat rupiah tertekan. Namun nilai tukar rupiah tetap stabil di kisaran Rp 14.500 per dolar Amerika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lagi-lagi ini berkah dari utang. Bantal penahan rupiah kali ini adalah masuknya valuta asing hasil penjualan obligasi pemerintah RI di pasar global. Aliran dana ini cukup besar, dari penjualan Samurai Bond senilai 100 miliar yen pada 27 Mei 2021, kemudian sukuk global senilai US$ 3 miliar pada 9 Juni 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Walhasil, cadangan devisa Indonesia relatif tak terpengaruh gejolak wabah. Per akhir Juni 2021, posisinya masih sangat tinggi, US$ 137,1 miliar, tak jauh dari rekor tertinggi sepanjang sejarah yang tercatat pada April lalu sebesar US$ 138,8 miliar. Sepertinya posisi ini akan meningkat lagi. Stabilitas rupiah masih akan bertahan, setidaknya hingga beberapa pekan ke depan.

Bahkan bukan tak mungkin rupiah akan menguat. Sebab, pekan ini, pada 28 Juli 2021, valuta asing akan masuk lagi dari hasil penjualan empat seri obligasi dalam dolar Amerika Serikat dan euro. Nilainya cukup besar: US$ 1,65 miliar dan € 500 juta. Aliran utang dari pasar finansial global ini akan membantali mata uang kita dari gebukan wabah yang belum juga menunjukkan tanda-tanda mereda.

Untuk sementara, situasi memang aman. Namun masalah belum selesai sepenuhnya. Utang tak mungkin terus-menerus menjadi pengganjal untuk menjaga stabilitas rupiah dan mengatasi masalah ekonomi dalam jangka panjang. Berbagai rasio utang pemerintah sudah kian mendekati limit yang dianggap mengkhawatirkan oleh pasar ataupun lembaga pemeringkat.

S&P Global, misalnya, memperkirakan rasio defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara terhadap produk domestik bruto (PDB) naik hingga 6,3 persen jika wabah tak segera teratasi dan aktivitas ekonomi terpasung lebih lama. Proyeksi ini di atas patokan pemerintah sebesar 5,7 persen. Jika rasio defisit melonjak terlalu tinggi, pasar akan menilai pemerintah gagal menjalankan disiplin fiskal.

Ada pula satu perkara penting lain. Pasar akan terus menagih janji pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dalam undang-undang sapu jagat alias omnibus law pertama ini, pemerintah berikrar menurunkan rasio defisit terhadap PDB menjadi 3 persen dalam anggaran 2023. Jika ada gelagat janji ini tak bisa ditepati, reputasi pemerintah akan jatuh. Bukan tak mungkin konsekuensinya berpengaruh buruk pada peringkat utang Indonesia yang saat ini masih masuk kategori layak investasi.

Bukanlah perkara mudah bagi pemerintah untuk memenuhi janji itu. Realisasi pendapatan pemerintah tahun ini besar kemungkinan tak akan mencapai sasaran. Aktivitas ekonomi yang terpasung jelas akan menurunkan penerimaan negara, baik dari pajak maupun berbagai pos penerimaan lain.

Sementara itu, ketika penerimaan menurun, berbagai rencana ambisius proyek infrastruktur yang tak ada hubungannya dengan penanganan wabah malah tetap menggelinding kencang. Belum ada gelagat bahwa pemerintah akan menahan diri mengurangi pengeluaran yang sebetulnya sungguh tak masuk akal jika tetap dibelanjakan di masa pandemi.

Untungnya, ada sinyal positif dari kasir negara. Kementerian Keuangan mengubah target penjualan surat utang untuk semester II 2021 menjadi Rp 460 triliun. Dengan target baru tersebut, penerbitan obligasi negara sepanjang tahun ini di­proyeksikan hanya Rp 924 triliun, berkurang 23 persen dari rencana semula. Penarikan utang baru ini bisa berkurang lan­taran pemerintah masih memiliki kas dari saldo anggaran 2020 yang belum tersalurkan dan pembiayaan anggaran semester I 2021 yang tersisa karena strategi front loading, menarik utang lebih awal.

Kini semuanya terpulang pada kemauan politik presiden dan semua anggota kabinetnya. Jika rencana mengerem utang ini kelak berubah lagi, pasar akan menghukum Indonesia. Jika itu benar-benar terjadi, sebaiknya investor sudah tidak lagi berada di sana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus