Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintah bersiap memproduksi bahan bakar minyak baru jenis solar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklaim BBM baru ini lebih rendah sulfur tanpa perlu mencampurnya dengan bahan bakar nabati.
Jika Indonesia ingin memproduksi solar yang sesuai dengan standar berkelanjutan, kandungan sulfurnya harus di bawah 50 ppm.
Masalahnya adalah seberapa besar volume BBM yang mampu diproduksi, mengingat kemampuan kilang Pertamina masih terbatas.
PEMERINTAH bersiap memproduksi bahan bakar minyak atau BBM baru jenis solar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklaim BBM baru ini lebih rendah sulfur tanpa perlu mencampurnya dengan bahan bakar nabati. Solar hijau yang bakal diproduksi ini merupakan hasil pengolahan minyak mentah menjadi BBM solar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan solar hijau ini penting untuk mewujudkan target nol emisi. "BBM rendah sulfur ini bagian dari upaya mendukung bahan bakar ramah lingkungan," ujar anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman, kepada Tempo, Selasa, 16 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kandungan sulfur dalam BBM yang diproduksi Pertamina saat ini masih tinggi. Hal itu tercatat dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 146.K/10/DJM/2020 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Jenis Solar yang Dipasarkan di Dalam Negeri. Dalam aturan itu disebutkan bahwa PT Pertamina (Persero) baru bisa memproduksi BBM dengan kadar sulfur 500 sampai 50 part per million (ppm).
Jika Indonesia hendak memproduksi solar yang sesuai dengan standar berkelanjutan, kandungan sulfurnya harus di bawah 50 ppm. Saleh menuturkan saat ini kilang Pertamina RU VI Balongan baru bisa memproduksi solar dengan kadar sulfur 50 ppm.
Distribusi BBM baru ini akan diuji coba pada 17 Agustus 2024. Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian Energi Agus Cahyono menyatakan pihaknya masih mencari bahan pencampur yang bisa mengurangi kandungan sulfurnya. Selain itu, proyek PT Kilang Pertamina Balikpapan yang akan memproduksinya kini belum rampung.
Namun Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa solar hijau ini sedang disiapkan untuk menggantikan solar bersubsidi.
Luhut membeberkan, pemerintah berencana mendorong produksi bensin alternatif melalui bioetanol. Bioetanol merupakan jenis bahan bakar terbarukan yang dihasilkan melalui proses fermentasi bahan organik, seperti jagung, tebu, dan gandum. Selain mampu mengurangi kadar polusi udara, Luhut mengklaim, tingkat sulfur dalam bahan bakar alternatif ini tergolong rendah.
Sulfur-dan-Oktan-BBM-Pertamina
Jika pemerintah berhasil melakukan transisi ke bahan bakar ini, Luhut Pandjaitan yakin jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bisa ditekan. Bahkan dia mengklaim tanggungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk penyakit ini bisa dihemat sampai Rp 38 triliun. "Ini sedang diproses, dikerjakan Pertamina," kata Luhut melalui unggahan di akun Instagram resminya pada Selasa, 9 Juli 2024.
Bahaya bahan bakar sulfur terhadap kesehatan masyarakat juga menjadi sorotan sejumlah pihak. Pengamat energi dari Universitas Indonesia, Iwa Garniwa, menilai rencana produksi BBM rendah sulfur baik dan perlu segera dilaksanakan. Sebab, selain berbahaya bagi manusia, sulfur dapat merusak logam. Artinya, kendaraan akan lebih mudah rusak dan tentu efisiensi kendaraan dapat menurun.
Iwa pun yakin Pertamina bisa membuat solar hijau ini saat proses pemurnian BBM. Namun, menurut dia, masalahnya adalah seberapa banyak volume BBM yang mampu diproduksi, mengingat kemampuan kilang Pertamina masih terbatas. "Biayanya jelas sedikit lebih mahal dibanding sebelumnya karena perlu ada biaya proses ini," ucapnya.
Aktivitas pengisian bahan bakar di sebuah stasiun pengisian bahan bakar di Kuningan, Jakarta, 12 Maret 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Ihwal biaya produksi solar hijau, Energy Watch mengungkapkan bahwa proses desulfurisasi membuat Pertamina membutuhkan biaya yang tinggi untuk investasi awal. Direktur Energy Watch Daymas Arangga Radiandra memperkirakan ada tambahan biaya 10-15 persen dari harga BBM diesel saat ini.
Kendati demikian, Daymas sepakat langkah ini dapat menjadi salah satu cara mengurangi emisi. Hal ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Enhanced Nationally Determined Contributions pada 2030 dan target net zero emission pada 2060.
Daymas menekankan kunci keberhasilan dalam penerapan bahan bakar diesel rendah sulfur adalah standardisasi yang jelas dan regulasi yang tegas, khususnya ihwal kadar kandungan sulfur maksimum yang diizinkan. Menurut dia, standar ini harus diberlakukan secara konsisten di semua wilayah Indonesia dan didukung mekanisme pengawasan yang efektif.
Di sisi lain, ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, berpandangan bahwa rencana pemerintah mengeluarkan BBM alternatif yang rendah sulfur ini justru akan menimbulkan banyak masalah baru. Pasalnya, bioetanol yang akan diproduksi pemerintah terbuat dari gula. Sedangkan Indonesia hingga kini menjadi importir gula, khususnya dari Brasil.
Untuk mengurangi kadar sulfur dalam BBM baru ini, menurut Faisal, seharusnya pemerintah berfokus pada revitalisasi kilang Pertamina. "Masak, sih, karena standar kita sulfurnya tinggi, kita beli (minyak) yang sulfurnya rendah lalu kita campur?" ucapnya setelah Diskusi Publik Indef di Jakarta Selatan, Selasa, 16 Juli 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Han Revanda berkontribusi dalam penulisan artikel ini