SETELAH sembilan tahun sukses dengan swasembada beras, tak lama lagi Indonesia akan menjadi importir beras terkemuka. Setidaknya, begitulah yang dikatakan Menteri Negara Urusan Pangan, Ibrahim Hasan, dalam acara dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Kamis pekan lalu. Pernyataan itu tentulah mengejutkan, apalagi Indonesia sudah lama sekali ''mengharamkan'' impor beras. Menurut Ibrahim, impor beras itu baru akan dilakukan andaikata perundingan perdagangan multilateral yang dikenal sebagai Putaran Uruguay, 15 Desember depan berhasil mencapai kesepakatan. Bagi Indonesia, sebagai peserta dari Generale AgreeLment on Tariff and Trade (GATT), rampungnya Putaran Uruguay berarti pula awal dari keharusan membuka kran impor bagi produk-produk negara lain. GATT, perjanjian internasional tentang tarif & perdagangan yang diikuti 92 negara itu, merupakan alat yang mengatur hubungan dagang antar negara. Dalam salah satu klausul GATT disebutkan, produsen produk-produk pertanian, termasuk Indonesia, harus membuka kran impornya sebesar 3% dari jumlah total konsumsinya. Dan secara bertahap, keharusan membuka kran impor itu akan meningkat hingga 5%. Bagi Indonesia yang berswasembada beras, ketentuan itu terasa berat. ''Selama ini kita selalu surplus dan jarang melakukan impor,'' kata Ibrahim Hasan. Bayangkan, dengan rata-rata konsumsi 25 juta ton per tahun, berarti menurut klausul tadi Indonesia harus mengimpor beras 750 ribu ton setahun. Belum jelas dari negara mana beras itu akan diimpor. Yang pasti, tentulah dari pasar internasional. Saat ini harga beras di pasar internasional sekitar sekitar Rp 250 per kilogram (kadar kotor 25%) atau Rp 280 - Rp 285 per kilogram (kadar kotor 10%). Nah, dengan memperhitungkan harga pasar itu, sedikitnya Rp 200 miliar akan dihabiskan untuk membeli beras impor tersebut. Dana ini biasanya diperoleh dalam bentuk kredit likuiditas bank Indonesia. Itu berarti pula, kelak kita harus menyediakan devisa sekitar US$ 100 juta, belum termasuk biaya angkutan, asuransi dan gudang. Itulah sebabnya, meskipun hasil dari Putaran Uruguay itu belum jelas, sejak pagi-pagi Indonesia sudah mengusulkan kepada para perunding Putaran Uruguay, agar hanya diwajibkan mengimpor beras 70 ribu ton saja setahun. Usul itu, menurut Wakil Ketua Bulog, Beddu Amang, didasarkan kepada produksi beras. Terakhir, produksi beras kita mencapai 40 juta ton pertahun. ''Impor beras yang dilakukan paling banyak 140 ribu. Jadi kita minta setengahnya,'' kata Beddu. Belum jelas bagimana tanggapan negara lain terhadap usul dari Indonesia itu. Namun, seperti yang dikatakan Beddu, beberapa negara telah memahami posisi Indonesia yang serba salah itu. Selain minta keringan impor, Indonesia juga telah mendaftarkan Bulog kepada sekretariat GATT sebagai importir beras di Indonesia. Gagalkah kita mempertahankan swasembada pangan? Ternyata tidak demikian. Mari Pangestu menjelaskan, swasembada beras bukan berarti bahwa kita tidak pernah mengimpor beras. Katanya, bisa saja tahun ini Indonesia mengimpor beras tapi dua tahun mengekspor. ''Asal ekpor dan impor berimbang, nah, itu juga bisa dikatakan swasembada,'' kata Marie. Dengan dibukannya kran impor, masalahnya memang bukan cuma soal devisa, tapi lebih dari itu. Yakni soal nasib petani kita. Maklum, harga beras di Indonesia saat ini masih terbilang tinggi, Rp 600 per kilogram. Lebih mahal dari harga di pasar internasional yang berkisar Rp 320 per kilogram. Jelas, dari sini saja sudah bisa diperkirakan, bahwa beras impor akan lebih mudah masuk ke Indonesia. Padahal, dari hasil survey pasar Minggu ketiga November ini diketahui, stok beras yang masih tersimpan digudang-gudang Bulog sudah mencapai 2 juta ton lebih. Jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar, termasuk anggaran sampai musim tanam 1994 mendatang. Nah, dengan masuknya beras impor, beras akan melimpah. Dan ujung-ujungnya, petanipun harus bersaing dengan beras impor. Kemungkinan seperti itu rupanya sudah diantisipasi Bulog. Untuk membendung beras impor, kata Beddu, pemerintah merencanakan akan menaikkan tarif bea impor 180%. ''Langkah itu diambil agar beras impor dapat ditekan jumlahnya,'' kata Beddu. Dengan tarif itu, harga beras impor yang masuk ke Indonesia akan menjadi mahal (Rp 840 per kilogram). Tapi jangan lupa, dalam jangka waktu sepuluh tahun, tarif itu harus diturunkan secara bertahap. Karena itu, menurut Mari Pangestu, mulai sekarang ini perhatian Bulog perlu lebih diarahkan kepada peningkatan daya saing petani. ''Pemerintah harus segera memikirkan bagaimana para petani melakukan diversifikasi,'' lanjut Mari. Seorang pengamat lainnya berpendapat, dengan adanya perdagangan yang semakin bebas, menyebabkan margin semakin tipis. Petani sebagai pihak yang lemah akan menanggung penyempitan margin itu. Untuk itulah, menurut pengamat ini, daya saing petani perlu ditingkatkan melalui melalui Koperasi Unit Desa (KUD). ''Namun kelembagaan ini harus muncul dari bawah, bukan sebagai alat perpanjangan birokrasi,'' katanya. Terlepas dari kesiapan Bulog dan petani, perundingan Uruguay tampaknya akan berhasil. Beberapa negara diam-diam tengah menyusun rencangan pencabutan impor beras. Jepang misalnya, menurut harian Yomiuri, kini tengah menyusun rancangan bagi pencabutan larangan impor beras. Bahkan diramalkan, pencabutan itu akan diumumkan setelah Masyarakat Eropa (ME) dan Amerika mencapai kesepakatan dalam masalah pertanian. Tapi, siapkah kita menghadapi mereka? Siapkah? Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini