DI tengah ramairamainya kampanye pemilu, pemerintah tibatiba menurunkan kebijaksanaan yang mengejutkan: Ekspor kayu gelondongan dan rotan mentah dibuka kembali. Larangan terhadap kayu gelondongan dilakukan sejak 1984, dan rotan mentah tahun 1989. Dicabutnya larangan itu berarti kayu gergajian dan rotan setengah jadi pun kini boleh lagi dijual ke luar negeri. Apalagi yang namanya webbing alias rotan anyaman, dengan munculnya aturan baru ini, siapa yang suka boleh mengekspor. Tapi SK yang diteken Menteri Keuangan pekan lalu itu tampaknya belum tentu menggembirakan pengekspor. Karena dicabutnya larangan ekspor itu dibarengi dengan syarat yang sangat ketat, yaitu pajak ekspor. Jadi persis seperti yang pernah diterapkan pemerintah atas ekspor kayu gergajian dua tahun lalu. Makanya tidak perlu heran jika muncul tanggapantanggapan yang bernada sumbang atas turunnya SK tersebut. "Ekspor kayu gelondongan dibuka? Omong kosong. Itu kan hanya untuk konsumsi politik," kata Sofyan Siambaton, salah seorang pengusaha kayu. Reaksi dari pengusaha kayu itu sebenarnya tak berlebihan. Tengok saja isi dari SK tersebut. Kayu perupuk salah satu contohnya. Ketika pajak ekspor yang baru diterapkan dua tahun lalu, kayu jenis ini terkena pajak ekspor 1.000 dolar per kubik. Dan kini, setelah gelondongannya boleh diekspor, pajaknya dinaikkan menjadi 2.400 dolar. Padahal para pengusaha tahu persis, kayu ini hanya dihargai sekitar 1.000 dolar di pasaran dunia. Begitu juga pajak terhadap ekspor veneer (kayu yang digunakan sebagai bahan baku kayu lapis), chip (kayu bulat kecil untuk industri kertas), dan rotan anyaman. Veneer, misalnya, harganya hanya sekitar 200 dolar di pasar internasional, pajaknya ditetapkan 250 dolar. Sedangkan pajak chip, bergantung pada jenis kayunya, ditetapkan antara 500 dolar dan 4.800 dolar per meter kubik. Lantas apa yang dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dengan membuat ketetapan seperti itu? Entahlah. Tapi menurut sebuah sumber, pemerintah pada dasarnya tetap melarang ekspor kayu gelondongan, kayu setengah jadi, rotan mentah, dan rotan anyaman. Hanya saja, lantaran takut dianggap melakukan proteksi yang berlebihan maka ditempuhlah kebijaksanaan tarif barrier. Seperti diketahui, sebelum ekspor log, rotan, dan kayu gergajian "diganjal" oleh pajak ekspor, di Indonesia terdapat 2.400 pabrik kayu gergajian yang setiap pabriknya ratarata mempekerjakan 100 orang. Kini jumlah pabrik itu menyusut tinggal 800an. Artinya, dari sektor itu saja ada 160 ribu orang kehilangan pekerjaan. Begitu pun industri kayu olahan kini tinggal 200 buah (dua tahun lalu jumlahnya masih 540 pabrik). Tegasnya, "SK ini hanya menambah peraturan saja, sedangkan situasi bisnisnya tetap tak berubah," kata seorang pengusaha mebel rotan. Padahal salah satu yang menyebabkan munculnya SK ini adalah atas permintaan beberapa gubernur yang merasa waswas karena banyak perusahaan kayu dan rotan di daerahnya bergelimpangan. Beberapa gubernur di Kalimantan, misalnya, sudah lama meminta agar ekspor webbing dibebaskan. Alasannya, Indonesia setiap tahunnya memanen tak kurang dari 110 ribu ton rotan sedangkan kebutuhan dalam negeri tak pernah melebihi dari 30 ribu ton. Begitu pun di Irian Jaya, beberapa bupati pernah mengusulkan agar kayu gergajian dibebaskan dari pajak ekspor yang mencekik. Bahkan ketika itu seorang bupati di sana pernah wantiwanti, "Jika permintaan kami tidak segera direalisir, di daerah kami Golkar terancam kalah dalam Pemilu." Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini