DR. Zuhal rupanya cukup gesit. Baru sebulan menjabat direktur utama PLN sudah melawat ke markas Bank Dunia, pekan lalu. Pulang dari Washington D.C., dokumen pinjaman pun sudah ditandatangani. "Besarnya 430 juta dolar untuk perluasan proyek Suralaya 5 6, dan 7," katanya sambil tersenyum. Ini tampaknya memang senyum lega. Maklum, negosiasi hampir gagal. Karena masalah yang sebenarnya boleh disebut tak ada hubungannya dengan listrik, misalnya, pihak Bank Dunia ingin yakin betul bahwa perluasan proyek ini memenuhi kriteria ketat di bidang lingkungan hidup dan pemukiman kembali rakyat yang tergusur proyek. "Ini dibicarakan berjamjam, padahal yang tergusur hanya enam keluarga saja," kata sebuah sumber yang mengetahui. Selain itu, proyek itu memang harus membeli tanah milik 54 keluarga lain. Kendati kredit akhirnya disetujui, bukan berarti pendanaan sudah memadai. "Biaya proyek total sekitar US$ 1,8 milyar," kata Zuhal. Sesudah misi ke Bank Dunia, persiapan harus dimatangkan untuk lawatan ke Manila. "Dari ADB kami mengharapkan pinjaman sebesar 350 juta dolar," katanya. Sisanya diharapkan dari sumber lain, termasuk paket pendanaan yang ditawarkan para calon pemasok di dalam tender. Dengan perluasan proyek Suralaya ini, PLN akan menambah kapasitas terpasangnya sebanyak 3 x 600 MW. Namun, kalau desakan Bank Dunia tak dapat ditolak, mungkin ini proyek besar PLN terakhir. Bank Dunia keras berpendapat dan mendesak agar swastanisasi harus dikembangkan di semua sektor, termasuk penyediaan tenaga listrik. Yang sudah dilirik swasta adalah perluasan Paiton V hingga VIII. Dua konsorsium gabungan swasta lokal dan asing kini sedang bersaing sengit: kelompok Bimantara dan kelompok Hasyim Sumitro. Kabarnya, petunjuk dari "atas" meminta kedua kelompok ini untuk bergabung saja. Yang repot menghadapi kelompok swasta ini justru PLN, yang harus membeli produksi listrik swasta tersebut. "Harga yang ditawarkan mereka lebih tinggi dari harga jual PLN ke masyarakat," kata sebuah sumber di Departemen Pertambangan dan Energi. "Mereka meminta untung terlalu banyak," keluh si sumber. Keuntungan yang diminta swasta memang cukup tinggi, yaitu return on equity (ROE) 2530% dalam mata uang dolar. Padahal, swasta di AS biasanya hanya meminta ROE sekitar 12%. Alasan pihak penanam modal swasta, "Risiko di Indonesia jauh lebih tinggi." Dan sikap pihak swasta ini memang ada dasarnya. Kebocoran listrik dari pembangkit hingga konsumen di PLN saja diperkirakan mencapai 17%, padahal di AS kebocoran ini biasanya hanya 8%. Yang termasuk membengkakkan kebocoran PLN ini adalah pencurian listrik yang diperkirakan mencapai 3%. Yang sulit diperkirakan adalah "kebocoran administrasi". Walhasil, akibat dukungan kuat Bank Dunia, swastanisasi listrik di Indonesia tampaknya akan semakin cepat bergulir. Selain itu, subsidi pun tampaknya akan menghilang. Karena itu, jangan kaget kalau tarif listrik akan naik lagi. "Kalau pemilu sudah selesai," kata sebuah sumber. Kenaikan tarif listrik yang bersamaan waktunya dengan proses swastanisasi memang dapat melahirkan penafsiran yang bukanbukan. Namun, pemerintah tampaknya tak punya banyak pilihan. Bila subsidi listrik dipertahankan, ini berarti penduduk miskin menyubsidi penduduk yang lebih kaya. Bagaimana tidak. Baru 30% penduduk Indonesia yang telah menikmati aliran listrik, dan kebanyakan tinggal di kota. Yang diharapkan adalah agar kenaikan itu tidak terlalu tinggi. Artinya, PLN mengurangi kebocoran listriknya dan pihak swasta mengurangi keuntungannya. Itu saja. Bambang Harymurti (Washington D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini