Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Didiek Hartantyo menilai proyek light rail transit (LRT) membebani perseroan. Sebab, KAI ditugaskan sebagai penyelenggara pengoperasian, perawatan, serta pengusahaan proyek infrastruktur dan sarana yang dijadikan satu proyek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Kami berutang itu Rp 20 triliun sendiri. Jadi, bagaimana kami mengembalikan utang kalau tidak ditopang oleh PSO (public service obligation) untuk pengambilan infrastruktur (LRT). Ini desainnya sudah tidak benar dari awal," ucap Didiek dalam rapat di Komisi V DPR, Rabu, 6 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
KAI merupakan operator LRT Jabodebek. Menurut rencana, LRT akan beroperasi secara komersial pada akhir Desember atau mundur dari target sebelumnya yang mulanya ditetapkan Agustus.
KAI mencatat saat ini terjadi pembengkakan biaya pengerjaan proyek senilai Rp 2,6 triliun dari Rp 29,9 triliun menjadi Rp 32,5 triliun.
Seiring dengan membengkaknya biaya pembangunan LRT, pemerintah menyuntik perusahaan dengan penanaman modal negara (PMN) sekitar Rp 10 triliun. Kemudian, sekitar Rp 20 triliun sisanya akan dibayar melalui kredit sindikasi 15 bank yang dibayarkan oleh KAI dengan jaminan pemerintah.
Didiek menceritakan riwayat proyek LRT yang berlangsung sejak 2015. Proyek tersebut mendapat payung hukum setelah Perpres Nomor 49 Tahun 2017 terbit. Namu hingga 2017, proyek itu terkendala kesulitan soal penagihan ongkos pembangunan karena kontraktor BUMN saat itu belum berkontrak dengan pemerintah atau Kementerian Perhubungan.
Di sisi lain, Menteri Keuangan saat itu menyampaikan bahwa negara belum sanggup untuk mengeluarkan dana untuk proyek LRT. Akhirnya, pemerintah memberikan dukungan dengan skema cicilan.
Adapun karena bentuknya penugasan, pembayaran pun dibebankan melalui KAI untuk pembangunan sarana sekaligus infrastrukturnya. Didiek melihat ada keanehan dengan skema ini.
"Proyek ini agak aneh (karena) pemilik proyek Kementerian Perhubungan, kontraktornya Adhi Karya, dan di Perpres 49 (2017) PT KAI sebagai pembayar. Jadi kalau dibuka anatomi Perpres 49 itu memang ini sesuatu yang tidak wajar sebetulnya," kata Didiek.
Kendati begitu, Didiek menilai hal tersebut dilakukan demi menyelesaikan LRT Jabodebek yang merupakan proyek strategis nasional. "Jadi, inilah LRT menjadi bagian dari PT Kereta Api Indonesia, dan ini akan menjadi beban," katanya.
BISNIS
Baca juga: Luhut Tuding Banjir Minyak Sunflower dari Ukraina Bikin Harga TBS Sawit Rendah
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini