PARA ekonom belakangan ini secara agak menda|dak dibikin sibuk mengupas istilah "baru": konglomerat. Sekalipun sejak sekitar 20 tahun silam lebih dari 70 konglomerat besar bermunculan di Asia Tenggara. Kecuali, tentu saja, di kawasan Indocina. Mereka tergolong dalam "klub" milyarder (dalam ukuran dolar AS). Di Indonesia, adalah nama Liem Sioe Liong yang paling menonjol. Di Muangthai, mendiang Chin Sophonpanich yang hingga kini menjadi buah bibir. Sementara itu. di Malaysia dan Singapura, dan belakangan sampai di Hong Kong, nama Roberet Kuok yang dipandang sebagai konglomerat paling jempolan. Apa kiatnya? "Diversifikasi," Icata banyak pengamat. "Tapi mereka juga sering menjala perusahaan lain. " Makanya, tak perlu aneh kalau melihat ada sebuah grup usaha yang mengusai berbagai sektor industri, mulai dari hulu hingga ke hilir. Artinya, perusahaan itu bergerak lengkap, mulai dari pengadaan bahan baku, produksi, hingga ke pemasaran. Bahkan kini tak sedikit grup yang membiayai bisnisnya dengan bank sendiri. Itu tampaknya merupakan sebuah pilihan yang paling jitu. Buat para konglomerasi, tentunya. Sebab, dengan menggunakan dana dari bank sendiri -- kendati banyak bank yang bergabung karena perilaku seperti ini -- mereka tak lagi tergantung lembaga-lembaga keuangan di luar kekuasaannya. Lihat saja apa yang terjadi setelah deregulasi perbankan, yang populer dengan sebutan Pakto 88. Selain bank-bank yang sudah lama berdiri sibuk mendirikan cabang baru, muncul pula bank-bank muka baru. Mereka, kalau diperhatikan, merupakan bank-bank yang berdiri karena beking dari grup perusahaan mereka yang sudah besar. Sehingga, kendati beroperasi dengan nama yang masih asing di telinga, mereka tak perlu khawatir tak punya nasabah. Dari perusahaan-perusahaan yang ada di lingkungan sendiri pun, sudah lumayan untuk menghidupi banknya. Ambil Jaya Bank punya kelompok Ciputra, lalu Risjad Salim Bank yang lahir dari patungan antara Ibrahim Risjad dan Liem Sioe Liong. Atau Bank Subentra milik Sudwikatmono dan Benny Saputra, yang sebelumnya sudah berpatungan dalam usaha impor dan distribusi film. Sementara itu, Modern Bank, berdiri karena grup yang mendukungnya -- Modern Grup, yang memproduksi berbagai alat-alat fotografi -- sudah cepat besar. Langkah serupa juga diambil oleh Gudang Garam, raja rokok kretek. Dan masih banyak lagi bank baru yang sudah dan akan berdiri. Bagaimana sebuah grup bisa berkembang demikian cepat? Bahkan, boleh dibilang, tumbuh pesatnya konglomerat di Indonesia baru berlangsung dalam dasawarsa ini. Jawabnya, seperti yang banyak diungkapkan oleh kalangan ekonom, adalah diturunkannya berbagai paket deregulasi. Selain deregulasi perbankan, yang dimulai sejak 1983, paket deregulasi ekonomi lainnya pun turun silih berganti. Mari kita lihat, apa saja yang sudah diberikan pemerintah pada kalangan swasta. Di sektor impor bahan baku, misalnya, berbagai tarif impor diperingan. Apalagi bahan baku yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor bebas dari bea masuk. Sebaliknya, yang terjadi pada barang-barang impor yang sudah diproduksi di dalam negeri, bea masuknya dinaikkan. Tujuannya tentu saja untuk melindungi industri dalam negeri yang baru mulai berkembang. Contohnya banyak, seperti barang elektronik, komponen kendaraan bermotor, dan industri baja. Memang, ada efek sampingan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, yang ujung-ujungnya memukul sebagian pengusaha lokal. Larangan untuk mengimpor lembaran baja tipis, misalnya. Sejak PT Cold Rolling Mill Indonesia (CRMI) di Cilegon, Jawa Barat, beroperasi, industri hilir diharuskan membeli baja produksi mereka. Padahal, seperti dikatakan oleh Dirut PT Bostinco yang memproduksi berbagai peralatan kantor, harga produk CRMI 20-30% lebih mahal dibanding dengan jika mengimpor dari Jepang ataupun Taiwan. Apa boleh buat, itulah sebuah risiko yang harus ditanggung oleh sebuah kebijaksanaan yang ingin mengembangkan sektor industrinya. Sebab, sebagai sebuah perusahaan yang baru dua-tiga tahun belajar jalan, CRMI belum bisa berproduksi dengan efisien. Sehingga, jangan heran kalau harganya membuat para konsumen berteriak. Tapi tidak selalu industri hilir dirugikan oleh sebuah kebijaksanaan proteksi hulu. Seperti yang terjadi di sektor mebel, yang menggunakan bahan baku rotan maupun kayu. Sudah sejak beberapa tahun lalu rotan mentah dilarang diekspor. Kemudian, setelah itu, tahun lalu rotan setengah jadi juga kena sasaran. Begitupun dalam soal kayu. Setelah kayu gelondongan hanya diperuntukkan bagi industri hilir di dalam negeri, bulan lalu kayu gergajian pun tak lagi boleh dijual ke luar negeri. Memang, khusus untuk kayu gergajian, pemerintah tak melarang langsung. Tapi bagaimana mungkin kayu gergajian bisa bersaing di pasar asing, kalau pajak ekspornya dinaikkan dari 3-160 dolar (tergantung jenis kayunya) menjadi 250-2.400 dolar per meter kubik. Karena itu, industri hilir yang menggunakan bahan baku rotan dan kayu boleh bernapas lega, kendati 2.000-an pengusaha kayu gergajian terpaksa siap-siap untuk gulung tikar. Paket deregulasi berupa kemudahan juga merasuk ke bidang investasi. Beberapa bulan lalu, Daftar Skala Prioritas (DSP) diganti dengan Daftar Negatif Investasi (DNI), dengan maksud agar para investor lebih mudah menanamkan modalnya. Bagaimana kalau modalnya kurang? Gampang, sekarang siapa pun bisa dengan cepat terjun ke pasar modal. Yang penting, perusahaan yang bersangkutan sehat dan sudah melaba. Kecuali perusahaan-perusahaan yang mendapat dispensasi dari pemerintah, yang dibolehkan untuk go public walau masih merugi. Itulah, beberapa dorongan yang diberikan pemerintah, untuk memajukan sektor swasta. Di luar itu, masih ada faktor lain yang membuat kaum swasta tumbuh menjadi grup-grup perusahaan besar. Seperti yang dikemukakan dalam beberapa diskusi yang berlangsung akhir-akhir ini (lihat Menyorot...). Tidak sedikit para pembicara dalam diskusi-diskusi tersebut telah menilai tumbuhnya konglomerat tak terlepas dari kemudahan yang diberikan oleh pemerintah, antara lain berupa fasilitas. Grup Astra, misalnya, disebut-sebut mampu berkembang pesat karena ketika memulai usahanya memperoleh dispensasi mengimpor 800 unit truk. Konon, ditambah dengan keuntungan kurs, dari situlah Astra antara lain memperoleh modal awalnya. Kepandaian untuk memanfaatkan kemudahan, dan kerja keras, yang yang membuat kelompok Astra kini bisa melahirkan 235 anak perusahaan. Tak hanya Astra yang memperoleh fasilitas seperti itu. Nyaris semua konglomerat yang kini berkibar-kibar juga turut menikmatinya. Suatu hal yang lazim terjadi dengan konglomerat besar di Asia Tenggara. Misalnya Grup Liem Sioe Liong, yang menguasai pasar terigu dengan PT Bogasarinya. Atau Sukanto Tanoto, bos Raja Garuda Mas (RGM) Group, yang pada usia 24 tahun telah memperoleh Hak Pengusahaan Hutan seluas 250 ribu hektare. Dan kini Grup RGM sudah menjadi sebuah konglomerat dengan 26 perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, keuangan, perikanan, perkebunan, konstruksi, bahan bangunan, dan kertas (PT Indo Rayon Utama, yang baru-baru ini heboh karena limbahnya). Nah, dari semua itu, diperkirakan total investasi RGM sudah mencapai sekitar 507 juta dolar. Kalau ditengok ke belakang sesungguhnya sejak awal pemerintah memang sudah melonggarkan berbagai aturan main untuk mendukung kalangan swasta. Di zaman makmurnya petrodollar, berbagai proyek besar dengan serempak dipergelarkan. Nah, di situlah lahan-lahan subur bermunculan. Waktu itu, tak sedikit pengusaha yang hidup dari proyek-proyek pemerintah. Entah itu pembangunan jalan, jembatan, dam, pabrik, hotel, sampai biro perjalanan. Tapi, yang paling beruntung dari situasi lonjakan harga minyak itu yang berlangsung cukup lama adalah pengusaha-pengusaha yang jeli melihat ke depan. Pada tahun 70-an itu, pasar dalam negeri sedang dalam proses perkembangan meningkat. Sementara itu, pemerintah mengobral modal dengan bunga yang murah. Kredit investasi, misalnya, dijual dengan bunga 12%, sementara untuk kredit modal kerja hanya dibungai 18%. Bagaimana dengan pengusaha kecil? Mereka bisa mengambil KIK (Kredit Investasi Kecil) yang berbunga 8%. Mudah ditebak, pengusaha-pengusaha yang memanfaatkan peluang-peluang itulah yang kini beken dengan julukan konglomerat. Dan sederet nama besar pun kini acap muncul di media massa. Seperti Grup Sinar Mas (Eka Tjipta Widjaja), Grup Lippo (Mochtar Riady), Grup Gudang Garam (Rachman Halim), dan masih ada sederet grup besar lainnya, yang bisa dengan mudah dikenal siapa pemiliknya. Apalagi setelah bursa efek dideregulasi, satu demi satu mereka mulai terjun. Sebutan "besar", bagi para konglomerat itu, memang bukan sekadar ungkapan kosong. Mereka tidak hanya besar karena anak perusahaannya banyak, tapi juga "besar" karena aset dan total penjualannya yang raksasa (lihat Potret-potret...). Mereka malang-melintang di dunia bisnis dengan omset ratusan milyar rupiah. Bahkan ada beberapa grup -- seperti Jan Darmadi, Panin, Djarum -- yang beromset di atas Rp 1 trilyun. Konon, menurut sebuah sumber, yang omsetnya di atas Rp 2 trilyun hanya ada dua perusahaan, yakni Grup Liem Sioe Liong (sekitar Rp 8,5 trilyun) dan Astra (sekitar Rp 2,3 trilyun). Konglomerat segede Liem Sioe Liong, yang juga dikenal sebagai Salim Economic Development Corporation (SEDC), yang menebar sayapnya sampai ke Eropa dan AS, sudah lama menjalin hubungan dengan perusahaan multinasional (MNC). Sekalipun konglomerat di Asia Tenggara yang umumnya dimiliki oleh kaum nonpribumi (keturunan Cina) masih tergolong perusahaan keluarga. Maka, berbagai keputusan dan pengawasan di tingkat atas masih berada pada seseorang atau keluarga dekat mereka. Itulah sebabnya, nama Anthony Salim, yang santer disebut sebagai calon pengganti ayahnya, dan James Riady, salah seorang putra Mochtar Riady yang memegang pucuk pimpinan Lippobank, mendapat kepercayaan yang besar dari sang ayah. Begitu pula dengan Edward Soeryadjaya, putra sulung William Soeryadjaya, yang kini diserahi tugas memimpin Summa Group, sebuah konglomerat baru yang bagaikan bayi ajaib sudah mulai berlari. Era deregulasi memang memungkinkan pertumbuhan pesat tadi. Seperti diketahui, sejak awal Repelita IV pemerintah telah mengajak swasta beramai-ramai melakukan investasi. Waktu itu, pmerintah mengharapkan swasta nasional menanamkan modalnya Rp 40 trilyun. Undangan itu diulang tahun ini, dengan harapan yang lebih besar lagi. Dalam Repelita V, pemerintah mengaharapkan investasi swasta Rp 131,6 trilyun. Gayung pun bersambut. Ajakan pemerintah ditanggapi oleh banyak pengusaha besar. Apalagi setelah BKPM mengeluarkan sejumlah kemudahan perizinan yang mendorong ekspansi. Kelompok Liem, misalnya, akhir Juli silam dikabarkan telah membuka dua pabrik kelapa sawit bernilai Rp 100 milyar di Kalimantan. Menyusul setelah itu, ada 289 pabrik yang bergerak di bidang industri kimia dasar dan aneka industri, dengan investasi total sekitar Rp 2,8 trilyun. Nah, dari investasi-investasi baru itulah ekspor nonmigas diharapkan bisa bertambah 866 juta dolar per tahun. Sementara itu, devisa yang dihemat diperkirakan mencapai 283 juta dolar per tahun. Tapi, lagi-lagi, jangan heran kalau banyak di antara pabrik tersebut-baru ataupun yang berguna perluasan -- merupakan salah satu kepanjangan tangan dari para konglomrat. PT Asahimas Subentra Chemical, yang menanamkan 197 juta dolar, misalnya. Perusahaan yang memproduksi berbagai bahan kimia ini (di antaranya bahan baku plastik) dimiliki oleh Sudwikatmono, Tan Siong Kie dari Grup Roda Mas, serta dua perusahaan asing (Jepang dan AS). Begitupun PT Nalco Perkasa, juga memproduksi bahan kimia, yang menanamkan 11 juta dolar. Dalam PMA ini terdapat saham dari Ibrahim Risjad, dan Henry Pribadi, yang keduanya juga memegang saham di PT Indocement. Dari gerakan investasi para konglomerat itu, jelas terlihat bahwa mereka juga berusaha masuk ke wilayah industri hilir. Dan itu dihenarkan oleh Eka Tjipta Widjaja, bos Sinar Mas. Contohnya, ya, grup perusahaan Eka sendiri. Semula ia hanya memproduksi kertas, tapi kemudian ikut mendirikan perusahaan penerbitan buku. Setelah itu, ia mendirikan pabrik pulp (bahan baku kertas). Kini, perusahaan Eka sudah terbentang dari hulu ke hilir, di bawah panji-panji PT Indah Kiat Pulp & Paper Corporation. Hal yang sama dilakukan Eka pada bisnis minyak gorengnya. Di bagian hulu dia telah memiliki perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengilangan. Sedang di hilir, Eka memiliki pabrik minyak goreng, margarin, dan kosmetik. Monopolikah itu? Menurut Eka, tidak. "Masih ada 100 perusahaan minyak goreng, dan 50-an pabrik kertas lainnya," ujarnya. Yang tak kalah menarik, dari gerakan-gerakan investasi yang tampak, adalah kerja sama yang dijalin di antara konglomerat itu sendiri. Misalnya yang terjadi belum lama ini, Liem berpatungan dengan Eka untuk membuka perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau. Juga di bisnis real estate Bumi Serpong Damai, Liem berpatungan dengan Eka dan Grup Pembangunan Jaya. "Jenis ini namanya konglomerat campuran," komentar Christianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia. Tapi, apalah artinya sebuah julukan. Yang agaknya pasti, dari kasus itu jelas terlihat bahwa grup besar tidak selalu memiliki dana nganggur yang besar pula. Bahkan sering mereka mengandalkan pinjaman dari bank-bank pemerintah. Seperti diakui oleh Eka Tjipta, investasinya yang Rp 150 milyar di bisnis minyak sawit, 90% dibiayai oleh kredit dari pemerintah. Sisanya yang 10% merupakan modal sendiri, plus pinjaman dari bank-bank asing. "Itu tidak sehat," kata Menko Ekuin Radius Prawiro. Makanya, pemerintah pun menghidupkan pasar modal, agar para investor bisa menangguk dana dari sana. Hanya saja, pasar modal diselenggarakan bukan cuma untuk para investor mencari dana. "Sarana ini juga berfungsi untuk memeratakan kepemilikan perusahaan," kata Tungky Ariwibowo, Menteri Muda Perindustrian. Hingga saat ini, ia melihat konglomert bukan merupakan sebuah gurita yang membahayakan, "Selama mereka melaksanakan pemerataan. Misalnya menjadi bapak angkat bagi golongan ekonomi lemah," ujarnya. Tindakan seperti itu memang bukan semata-mata menolong pengusaha lemah. Tapi juga bermanfaat buat konglomerat. Di Jepang, misalnya, banyak perusahaan besar yang mengangkat subkontraktor, karena dengan begitu gerak mereka menjadi lebih efisien. Upaya mereka untuk menekan biaya memang patut dipuji. Tapi yang paling menarik adalah konglomerat campuran tadi. Atau "perkawinan" antara para besar. Mereka, para konglomerat itu, rupanya menghindari saling pukul, yang bisa berarti merugikan diri sendiri. Maka, bergabunglah mereka menjadi raksasa-raksasa bisnis. Kini, pada saat modal asing dari Jepang dan beberapa negara industri baru seperti Korea Selatan dan Taiwan ingin masuk ke Indonesia, yang akan mereka cari sebagai mitra usaha biasanya adalah kelompok yang itu-itu juga. Nah, di sinilah pemerintah dan juga Kamar Dagang Indonesia (Kadin) harus lebih banyak berperan. Bagaimana sebaiknya membagi-bagi rezeki dari luar itu agar lebih merata, baik di Jakarta maupun untuk para pengusaha di daerah, seperti di Jawa Timur. Budi Kusumah, Bambang Aji, Priyono B. Sumbogo, Budiono Darsono, Ahmadie Thaha, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini