BEBERAPA bulan silam, di Madrid, sebuah peradilan istimewa baru saja usai. Setiap sidangnya selalu diluapi orang. Bahkan pada sidang terakhir -- 21 Mei 1989 -- begitu banyak yang datang ingin mendengar keputusan hakim. Ruangan menjadi tak cukup lagi. Sidang terpaksa dipindah ke satu gedung pertunjukan musik (music hall), di bagian lain Kota Madrid. Lebih dari tujuh jam hakim membacakan keputusannya. Hadirin menyimak dengan tenang dan tertib. Namun, tiba-tiba, begitu pembacaan vonis selesai, terjadi kegaduhan luar biasa. Sejumlah orang berteriak keras, memaki-maki hakim. Sebagian lagi melemparkan batu dan segala macam benda lain ke arah majelis hakim dan terdakwa. Apa boleh buat, untuk mengendalikan situasi, polisi melepas tembakan peringatan. Mengapa mereka menjadi beringas? Apa, sih, keputusan hakim? Dan peristiwa apakah yang sebenarnya telah terjadi? Hari itu, ada tiga puluh tujuh terdakwa -- satu di antaranya wanita -- diadili. Tiga orang menerima vonis penjara, masing-masing 10, 12, dan 20 tahun. Sepuluh lainnya antara 2 bulan dan 4 tahun. Ditambah lagi dengan sejumlah uang denda. Orang-orang jahatkah mereka? Ternyata, pekerjaan mereka hanyalah berdagang minyak goreng. Dalam penyidikan, mereka terbukti mengancam keselamatan masyarakat, sebab celah menjual minyak goreng yang, belakangan hari, ketahuan mengandung racun. Tapi hukuman itu dianggap tidak setimpal dengan kerugian yang ditimbulkannya. Maklum, sekitar 25.000 orang telah ikut menyantap minyak maut itu. Dan akibatnya menderita cacat seumur hidup, 650 orang di antaranya akhirnya mati. Maka, ganti rugi yang diberikan -- US$ 122 ribu untuk setiap korban mati, serta antara US$ 200 ribu dan 730 ribu bagi mereka yang masih hidup -- pun dirasa tidak adil. Apalagi mereka telah menantikan persidangan dengan amat sabar -- sidang itu berlangsung selama 15 bulan. Tetapi mengapa minyak goreng itu bisa menjadi pembunuh biadab? Di Spanyol, bahan utama minyak goreng adalah buah zaitun. Meskipun jumlahnya melimpah, ternyata harganya tetap saja mahal. Maka, sejumlah pedagang memutar otak, untuk mencari untung lebih besar. Mereka tidak lagi mengolah buah zaitun, tapi biji lobak yang memang jauh lebih murah. Untuk membuatnya "menjadi" seperti zaitun, mereka mencampurkan "anilin". Bahan kimia ini, yang sebenarnya beracun, memang biasa dipakai sebagai denaturalizer untuk mengubah warna, aroma, dan rasa minyak. Dan proses pemurnian kembalil yang tadinya diandalkan bakal mengenyahkan anilin, ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Keruan saja, datanglah malapetaka itu. Tiga bulan setelah vonis pengadilan di Madrid itu, tragedi semacam itu meledak di sini. Penyebabnya: biskuit beracun. Diduga asal mulanya adalah keteledoran dan kurangnya pengawasan. Kedua peristiwa itu telah memakan banyak korban. Di sini, biskuit beracun dijual di warung kecil di kampung-kampung, menyebar di 18 provinsi. Korbannya terutama anak-anak dan bayi. Di Spanyol, minyak maut itu dijual door to door dan menyebar di 11 provinsi. Korbannya pun dari golongan orang kecil, terutama keluarga kelas pekerja dan buruh. Padahal, hak mendapat keselamatan tentunya tidak hanya milik orang kaya. Yang menakjubkan dari kisah di Spanyol ini adalah kegigihan konsumen untuk memburu para penebar maut itu. Delapan tahun lamanya, sejak tragedi terjadi pada 1981, mereka berjuang keras. Sampai akhirnya Pemerintah Spanyol bersedia membawa kasus ini ke pengadilan. Perjuangan itu sendiri dimotori oleh Organizacion de Consumidores y Usuarios, suatu organisasi konsumen setempat. Sekarang kasus ini masih dalam proses banding di Mahkamah Agung Spanyol. Di sini, adakah yang bakal terus memburu para penebar maut itu, seperti halnya terjadi di Spanyol? Apakah kasus ini akan diteruskan ke pengadilan sampai tuntas? Dan para korban bisa memperoleh kompensasi secara layak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini