Astra & Bisnis Automotif Kebesaran kelompok Astra langsung tercermin dari data PDBI. Astra Group meliputi 235 perusahaan. Seluruhnya berbentuk PT (perusahaan terbatas), baik perusahaan induknya: Astra International, maupun anak-anak usahanya. Sang bos adalah William Soeryadjaya alias Tjia Kian Liong, 66 tahun, yang mulai membangun "kerajaannya" dengan berdagang hasil bumi di Bandung. Itu terjadi pada 1957. Nama perusahaannya PT Astra. Usaha Om Willem, begitu panggilan akrab William Soeryadjaya, menderap maju sejak Orde Baru. Dia mulai dengan memasok kebutuhan logistik Kostrad: truk-truk Toyota. Pada 1977, Astra kejatuhan hoki lagi, berupa order pemerintah memasok kendaraan bermotor untuk pemilihan umum. Sejak itu, laju Astra hampir tak tertahan lagi. Syahdan, dalam konglomerat Astra, paling banyak perusahaannya bergerak di bidang automoti. Jumlahnya 36. Misalnya PT Bina Traktor Kubota, PT Daihatsu Indonesia, PT Toyota Astra Motor, PT Honda Federal Inc. Juga PT United Tractors, yang belum lama ini sahamnya dijual (sebesar Rp 19,5 milyar) kepada masyarakat, alias go public. Andalan usaha Astra memang pada automotif -- sekitar 65% menguasai bisnisnya. Namun, labanya tidak hanya dari si. Bisnisnya bisa dikelompokkan ke dalam 24 jenis bidang usaha perdagangan, keuangan, kontraktor, elektronik, hotel, kayu lapis, sampai pertanian. Agrobisnis Astra, dalam data PDBI, kini sudah mencakup 29 perusahaan, seperti PT Astra Tani, PT Bunga Sari Indah, dan PT Multi Agro, yang didirikan pada 1973. Yang terakhir ini sistemnya PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Meskipun pernah goyang pada 1974, karena krisis Pertamina, lalu dihantam devaluasi rupiah pada 1978, toh Astra tetap bertahan dan terus berkembang. Agustus lalu, majalah Fortune memasukkan PT Astra International Inc., dalam daftar 500 perusahaan terbesar di luar AS. Ia berada pada peringkat ke-446, karena asetnya mencapai 352,1 juta dolar AS, dan omsetnya 1,64 milyar dolar. Bond-nya yang dikeluarkan di pasar modal internasional-minimal tiga kali -- selalu terjual habis, baik di Eropa maupun Asia. Lippo & Bisnis Keuangan Nama Mochtar Riady sudah terlalu besar, untuk sekadar disangkutkan pada jabatannya sebagai Wakil Presdir Bank Central Asia (BCA). Bankir ulet yang dikenal bertangan dingin itu, selain bekerja sama dengan Liem Sioe Liong pada BCA, dalam beberapa tahun terakhir telah sukses mengembangkan konglomerat Lippo Group. Dalam catatan PDBI, jumlah perusahaan dalam kelompok ini ada 62. Tak jelas berapa omsetnya, namun modal disetor seluruhnya kira-kira Rp 105 milyar. Tapi nama-nama perusahaannya tidak selalu menggunakan "merk" Lippo. Misalnya Maskapai Asuransi Nasuha, PT Mega Pratama Citra, PT Republik Steel Raya Ind. Ltd.. Dalam konglomerat itu, kendati Mochtar Riady, 60 tahun, mengembangkan usaha ke berbagai bidang (perdagangan, elektronik, tekstil, kehutanan, mesin automotif, real estate), bisnis utamanya bertumpu di bidang keuangan, terutama bank, leasing, asuransi. Dari jajaran ini, yang menonjol adalah Lippobank. Cabang Lippobank ada di 43 tempat, belum termasuk Bank Bhumy Bahari dan Bank Umum Asia. Nama Mochtar kian semarak tatkala Lippobank sukses menyedot dana masyarakat melalui Tahapan, dengan hadiah Rp 500.000.000. Lippo semakin berkibar ketika Lippobank, bersama 3 perusahaan lain dalam grup itu, terjun ke pasar modal. Mochtar Riady juga cepat mengembangkan sayap ke negeri orang. Grup Lippo sudah membeli Bank of Trade di Amerika Serikat. Jagoan perbankan kelahiran Malang itu mengamalkan jurus "naik kuda mengejar kuda". Itu ia terapkan ketika membeli Hong Kong Chinese Bank di Hong Kong. Melalui kerja sama yang baik dengan Wali Kota Hong Kong, Chinese Bank yang dibeli pada 1984 itu -- tiap tahun rugi 200 juta dolar Hong Kong, lalu dibeli sekitar 600 juta dolar Hong Kong -- asetnya kini mengembang jadi 5 milyar dolar Hong Kong (sekitar Rp 1,1 trilyun). Begitulah, "Kalau saya sendirian, mungkin butuh waktu 20 tahun untuk mengejar kepercayaan masyarakat Hong Kong," demikian Mochtar. Dharmala & Bisnis Aneka Rupa Nama Dharmala Group belum terlalu lama mencuat, tapi sungguh melesat. Bagaikan meteor. Bisnis keluarga Suhargo Gondokusumo atau Go Ka Him itu, dalam catatan PDBI, meliputi 69 perusahaan. Kabarnya, Grup Dharmala malah menyetir 80 perusahaan di dalam negeri, plus 30 perusahaan di luar negeri. Yang jelas, usahanya berjenis-jenis: industri makanan, plastik, perdagangan, kontraktor, perhotelan, travel, automotif, dan jasa konsultan. Tapi data PDBI kurang lengkap, terutama yang menyangkut struktur pemodalan dan pemilikan sahamnya. Pada 1954, Dharmaia Group merintis usahanya di Surabaya, di bidang perdagangan komoditi tradisional seperti kopi. Namun, ekspansinya menjadi konglomerat baru diawali pada 1980. Sebagian perusahaannya merupakan patungan dengan asing, seperti. PT Ekahasta Oriental, PT Darmo Sewu Sejahtera. Namun, sebagian perusahaannya dimiliki keluarga sendiri, seperti yang bergerak dalam bidang kontraktor real estate, PT Chris Kencana. Di situ Suhargo Gondokusumo punya saham 36,7%, Suyanto Gondokusumo 14,7%, Dwiyanto Gondokusumo 5,9%, dan sisanya dimiliki keluarga Gondokusumo yang lain. Sedikit demi sedikit Dharmala Grup terbuka, karena beberapa perusahaannya sudah go public. Misalnya PT Dharmala Sakti Sejahtera, PT Asuransi Bina Dharma Arta, PT Maskapai Reasuransi Indonesia. Yang belum lama ini terjun ke bursa adalah PT Wisma Dharmala Sakti, yang bergerak di bidang pembangunan dan pengelolaan gedung bertingkat. Dharmala tampak lebih berani ketimbang konglomerat lainnya dalam perkara go public. Penerbitan saham sebuah perusahannya, agen perjalanan PT Bayu Buana Travel, sempat menjadi isu kontroversial. Enak sekali, sebuah biro perjalanan yang tak termasuk 10 besar bisa jadi tempat penitipan dana masyarakat. Ternyata, saham yang diragukan itu laris juga. Mungkin berkat nama Dharmala. Menurut Micky Thio, Wakil Direktur Keuangan Dharmala, dana yang masuk itu akan dipakai untuk merestrukturisasi utang jangka pendek PT Dharmala Sakti Sejahtera. Akhir Agustus lalu, perusahaan yang beraset Rp 500 milyar itu memang punya utang jangka pendek Rp 160 milyar. Grup Salim & Multi-Usaha Siapa yang pantas mendapat predikat biangnya konglomerat di Indonesia? Jawabnya: Salim Group. Soalnya, "Tak ada sektor usaha yang tidak dimasuki Salim Group," begitu komentar Christianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI). Kelompok usaha yang dipimpin oleh Liem Sioe Liong alias Sudono Salim ini memang luar biasa untuk ukuran orang sini. Di bawah payung Taipan Liem, setidaknya bernaung sekitar 236 perusahaan. Itu baru yang di dalam negeri. Usaha Om Liem, begitu panggilan akrabnya, mencakup perdagangan ekspor-impor, distribusi, bank, industri semen, tepung terigu, karet, plastik, baja, automotif, real-estate, industri mesin, tekstil, kimia, perkebunan kelapa sawit, minyak goreng, dan pabrik mi. Di mancanegara, usaha Salim Group melanglang sampai ke Belanda, Hong Kong, Australia, AS, Singapura, Taiwan, RRC, dan beberapa negara lainnya. Di negara-negara itulah, 65 perusahaannya tersebar dan bergerak di bidang keuangan, perbankan, perkapalan, elektronik, trading, broker, asuransi, kaset, kosmetik, kertas, bahan kimia, distributor minuman dan pakaian jadi. Seluruh aset milik kelompok Salim ada sekitar Rp 6 trilyun. Tahun lalu omset perdagangannya mencapai Rp 8,1 trilyun. Kekayaan pribadi Om Liem sendiri ditaksir majalah Fortune ada US$ 2 milyar. Dalam daftar orang kaya yang dibuat majah ekonomi bergengsi dari AS itu, Liem Sioe Liong berada di peringkat ke-50. Tapi banyak yang tak tahu, Om Liem merintis itu semua dari bawah. Sekitar setengah abad yang lalu, pemuda perantau kelahiran Fukkien, RRC, ini memulai upayanya dengan magang pada seorang paman yang antara lain berdagang jagung, beras, dan kedelai. Lahir sebagai Lin Shao-liang, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie, hijrak ke Tanah Jawa pada 1930-an. Ia kemudian berdagang minyak kacang di Kudus, Jawa Tengah. Kemudian mencoba sebagai penyalur cengkeh di Kota Kretek itu. Ketika pecah perang kemerdekaan, Liem ikut membantu Republik dengan dana dari hasil dagangnya. Pada 1951, Liem masuk Jakarta. Mula-mula ia mendirikan pabrik sabun, kemudian pabrik paku, ban sepeda, pengilangan karet, kerajinan, dan makanan. Sejak itulah bintangnya terus berpijar. Pembangunan Jaya & Bisnis Konstruksi Siapa tak kenal Ciputra? Dialah raja real estate, yang kini menjadi Presiden Federasi Pengusaha Real Estate International (FIABCI). Bos dari kelompok Pembangunan Jaya (PJ) ini menguasai sejumlah bisnis pembangunan perumahan, pusat perbelanjaan dan perkantoran yang bertebaran di Jakarta dan seanteronya. Terakhir, yang banyak dibicarakan adalah Bumi Serpong Damai -- terletak di kawasan Tangerang, Jawa Barat. Di kawasan seluas 6.000 ha itu, akan muncul sebuah kota baru yang mandiri. Sebelumnya, Ciputra juga sukses menyulap kawasan Ancol yang penuh rawa menjadi daerah hiburan termegah dan terlengkap di Asia Tenggara. Di atas lahan bekas sarang monyet itu, dibangun 11 unit fasilitas hiburan yang tersohor dengan nama Taman Impian Jaya Ancol. Belakangan dibangun Dunia Fantasi, yang banyak menarik pengunjung. Sementara ini, kelompok Jaya juga melakukan pengurukan laut (reklamasi), hingga garis pantai Ancol, yang semula 3,5 km, tak lama lagi bakal menjadi 10,5 km. Majunya PJ memang tak lepas dari peran Ciputra, kini 58 tahun, dan kerja samanya dengan Pemda DKI. Cikal bakal itu semula datang dari PT Pembangunan Jaya pada awal 1960-an. Ciputra -- terlahir Tjie Tjin Hoan -- berasal dari Parigi, Sulawesi Tengah. Ia dipromosikan sebagai Direktur Utama PJ pada 1968. Kini ada 64 anak perusahaan berada di bawah naungan PJ. Dari real estate, usahanya merebak ke konsultan pembangunan, perdagangan, automotif, industri mesin, elektronik, perkayuan dan permebelan, pertambangan, rekreasi, hotel, turisme, perbankan, percetakan, dan penerbitan. Sampai 1987, PDBI mencatat aset PJ sekitar Rp 115,5 milyar, dan omsetnya lebih dari Rp 113,6 milyar, dengan untung sekitar Rp 5,7 milyar. Tentang suksesnya ini, apa kata Ci? "Yang saya pikirkan adalah bagaimana melayani masyarakat sebaik mungkin. Kalau grup kami bikin Jaya Bank, tujuannya bukan untuk memberikan kredit kepada perusahaan kelompok sendiri. Namun, untuk melayani penyewa ruang di Proyek Senen, atau memberikan kredit buat seniman di Pasar Ancol. Kemudian, mungkin ada 100 bank yang tersaingi oleh Jaya Bank, tapi masyarakat kan sudah untung," kata Ci, yang mahir bertutur kata ini. Bimantara: Industri + Perdagangan Belum lagi berusia 10 tahun, tangan-tangan bisnis Bimantara yang lentur dan panjang sudah menyentuh banyak sektor. Tak kurang dari 53 perusahaan yang menjadi anggota perusahaan induk Bimantara Citra. Dari jumlah itu, ada sekitar 30 yang mayoritas sahamnya dikantungi Bimantara Citra. Tapi Plaza Indonesia, misalnya, digarap bersama oleh Bimantara dengan Teguh Ferry Santosa (Ometraco) dan Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas Group). Ada yang bilang, kelompok yang disetir Bambang Trihatmodjo ini tumbuh subur berkat adanya berbagai fasilitas. "Soal fasilitas itu wajar-wajar saja. Tapi yang saya pikirkan adalah bagaimana memanfaatkan fasilitas itu dengan baik. Kalau tidak, bisa jadi bumerang," ucap M. Tachril Syapi'ie alias Aling, teman Bambang Tri sewaktu SMP -- satu dari 5 orang terpenting kelompok ini. Manajemen puncak Bimantara tak ubahnya reuni teman sekolah, tetangga, dan keluarga. Aling dan Rosano Barack alias Cano adalah teman akrab Bambang di SMP. Peter Gonta adalah the boy next door", ketika orangtua Bambang -- yakni Presiden Soeharto -- masih tinggal di Jalan H. Agus Salim, Menteng, Jakarta. Sedangkan Indra Rukmana (Presiden Komisaris) adalah kakak ipar sang bos. Mula-mula Bimantara lebih banyak bergerak di sektor perdagangan umum (80%), dan sedikit di industri (20%). Tapi belakangan kedua sektor itu telah fifty-fifty digeluti. "Ke depan kami menargetkan 70% industri, dan 30% perdagangan," kata Bob Hippy, bekas pemain bola yang kini duduk sebagai bos Divisi Investasi dan Pengembangan Usaha Bimantara. Sekarang Bimantara menekuni real estate, elektronik, petrokimia, kimia, pengangkutan udara dan laut, jasa pengiriman, kayu, televisi swasta, pabrik gula, asuransi, perhotelan, agen mobil, pabrik komponen mobil, dan sebagainya. Bimantara Citra, sebagai holding company, memiliki modal sendiri Rp 23 milyar dengan penyertaan sekitar Rp 70 milyar (per 31 Des. 1988). Sepertiganya penyertaan Astra International Inc., yang sudah mencapai Rp 215 milyar. Gajah Tunggal & Industri Ban Meskipun belum tergolong dalam konglomerat papan atas, Gajah Tunggal Group diam-diam berkembang pesat. Dalam tiga tahun terakhir saja, anggota grup ini melesat dari 5 menjadi 38 perusahaan. Sementara itu, investasinya mencapai US$ 61,8 juta dolar plus Rp 121,6 milyar. Di bawah komando Sjamsul Nursalim, 47 tahun, Direktur Utama PT Gajah Tunggal, konglomerat ini merasuk ke 13 bidang usaha. Mulai dari industri ban, keuangan perdagangan, automotif, industri hasil hutan, transportasi, percetakan, kertas, real estate, cat, kabel, dan lain-lain. Lewat tangan dingin Nursalim, 38 perusahaan itu terus mengembangkan sayapnya. Nursalim alias Liem Tjoen Ho semula lebih dikenal sebagai industriawan. Namun, sejak 1980, predikat bankir melekat pada dirinya. Mengapa? Tak lain karena Direktur Utama PT Gajah Tunggal ini telah "menyelamatkan" Bank Dagang Nasional Indonesia dari lilitan utang US$ 30 juta. Lewat dukungan sebuah bank Prancis, Societe Generale cabang Singapura, konon Nursalim berhasil menyuntikkan dana US$ 15 juta. Hasilnya, BDNI bisa bernapas lagi. Pria ini pun duduk di kursi direktur utama bank milik keluarga almarhum Sultan Hamengku Buwono IX itu. Sudah sejak tiga tahun lalu, PT Gajah Tunggal menggelindingkan dolar dari Amerika, lewat ekspor 30 ribu ban sepeda, jumlah yang merupakan seluruh kapasitas terpasangnya. Konon, awal 1990, Gajah Tunggal akan mampu mengambil 10% pangsa pasar ban sepeda dunia. Di samping dalam bidang industri, pada September baru lalu Gajah Tunggal Grup, lewat PT Gajah Surya Multi Finance, telah menggelarkan dua juta sahamnya di Bursa Efek Jakarta. Perusahaan leasing peringkat ke-5 terbesar di Indonesia ini diharapkan akan mampu menyedot dana masyarakat Rp 17 milyar. Dana tersebut akan dipergunakan untuk memperluas usahanya di bidang anjak piutang, modal ventura, perdagangan efek, dan kartu kredit. Sinar Mas Group: Bisnis Minyak + Kertas Sinar Mas Group, dengan 96 "belalai"-nya, sempat membikin repot god fahther Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek Tjhong). Ia merasa perlu membelahnya menjadi tiga: subkelompok Sinar Mas, subkelompok Bank Internasional Indonesia, dan subkelompok Sinar Mas Inti Perkasa. Meskipun kelompok Eka sering diidentikkan dengan bisnis minyak goreng Bimoli -- yang mengontrol 60% konsumsi di dalam negeri -- toh menurut Eka cuma menghasilkan Rp 10 milyar. "Kita rugi di minyak goreng tahun-tahun belakangan ini," ujar Eka, seperti dikutip majalah Swa. Namun, ia yakin bisnis minyak gorengnya akan kembali melaba, setelah kebun kelapa sawitnya yang mahaluas (220 ribu ha) -- bekerja sama dengan Liem Sioe Liong -- mendatangkan hasil. Bekas imigran miskin dari Cuan Cu, Provinsi Fukien, Cina Selatan ini memang berjaya setelah mengutak-atik bisnis kopra dan minyak goreng. Tapi belakangan ekspansi Eka menjalar di sektor perdagangan, keuangan, plastik, kertas, kimia, perkebunan, percetakan, perhotelan, dan logam. Omset Eka di sektor industri ada Rp 1,5 trilyun. Paling menguntungkan adalah industri kertas dan pulp alias bubur kertas. Kertas produksi Sinar Mas yang diproduk sebagai buku tulis kini merajai 90% pangsa Timur Tengah. Eka juga memiliki dua pabrik pulp di Surabaya dan Pekanbaru. Total ekspor kertas Sinar Mas tahun lalu mencapai Rp 110 milyar. Konglomerat Eka menyerap 40 ribu tenaga kerja, hingga ia tak merasa pantas kalau konglomerat itu diserang. Ia juga menampik kalau usahanya dibilang hidup dari monopoli. "Bagaimana kami bisa memonopoli. Sedangkan pabrik minyak goreng ada lebih dari 100, dan pabrik kertas tak kurang dari 50 buah," katanya. Eka juga mengelak kalau ada yang bilang kelompoknya menerbangkan uang ke luar negeri. "Bodoh, kalau membawa modal keluar," katanya kepada TEMPO. "Kami malah mendatangkan modal asing. Pokoknya, aksi untuk antikonglomerat itu belum waktunya." Ometraco & Bisnis Pakan Ternak Inilah kelompok yang sedang mencuat dan berkembang dari belahan timur Pulau Jawa, tepatnya Surabaya. Tak banyak yang tahu, Ometraco sekarang kian berani menjelajah Indonesia. Tumbuh sehat karena merajai pangsa pasar pakan ternak, yang diproduksi oleh pabriknya PT Comfeed Indonesia, Ometraco juga berani menyertakan modal di bisnis tanah dan bangunan alias property. Bos Ometraco, Ferry Teguh Santosa alias Kam Som Thjiang, sering mengajak serta bekas Gubernur Ja-Tim Mohamad Noor duduk dalam berbagai perusahaannya. Di Jakarta, Ferry menggandeng Eka Tjipta Widjaja, bersama Bimantara, membenamkan uang US$ 260 juta di Plaza Indonesia. Belum lagi pembangunan jaringan hotel bintang 4 dan bintang 5, yang akan dioperasikan oleh Sheraton Inc. di pelbagai kota menengah dan Jakarta. Ferry juga banyak menanam uang di bidang perdagangan, makanan, peternakan, kontraktor, permesinan, kertas, periklanan, mebel, alat-alat listrik, dan transportasi. Belakangan juga mendirikan Bank Tiara Asia. Sekarang Ometraco memiliki tak kurang dari 32 perusahaan, dan telah menginvestasikan hampir setengah trilyun rupiah. Namanya kurang bergema, mungkin karena Ferry lebih suka meniru "ilmu padi", semakin sukses, semakin merunduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini