LANGKAH raksasa PT Astra Scott Cellulosa (ASC) secara mendadak terhenti pada pertengahan Oktober ini. Usaha patungan Indonesia (Grup Astra) dan Amerika (Scott Paper Company) itu akhirnya bubar jalan, sebelum mesin pabrik pulp yang akan mereka pasang menderam. Padahal, Pemerintah RI mendukung usaha mereka, bahkan mencadangkan sekitar 600 ribu ha hutan di lembah Sungai Digul, Ir-Ja, untuk menjamin kebutuhan bahan baku pabrik itu. Pada rencana semula, perusahaan patungan itu hendak menanamkan modal senilai US$ 650 juta (atau sekitar Rp 1,15 trilyun) untuk pabrik bubur kertas (pulp) itu, yang berkapasitas produksi 1.000 ton sehari. Tapi mendadak Scott Company menarik diri, meninggalkan Astra sendirian. Alasan yang dikemukakan oleh Scott Company, seperti termuat dalam penjelasan pers yang beredar dua pekan lalu, menyebut soal permintaan pasar pulp mulai menyusut. Jadi, usaha pengadaan pulp dianggap tak lagi memberikan prospek cerah. Maka, Scott Paper Company, perusahaan kertas tisu terbesar di dunia, memilih banting setir: membuka usaha pendaurulangan kertas. Yang gembira atas rontoknya PT ASC itu tentu saja kelompok pembela lingkungan hidup semacam Skephi (Sekretariat Kerja Sama Pelestarian Hutan Indonesia) yang bermarkas di Tebet, Jakarta Selatan. "Syukurlah, paling tidak eksploitasi hutan tropis Ir-Ja bisa ditunda," ujar Indro Tjahyono, tokoh Skephi yang menentang pengusahaan hutan Digul itu. Skephi bahkan menuding Scott enggan berterus terang dalam soal keputusan penarikan diri dari lembah Sungai Digul. Perusahaan Amerika itu, menurut Skephij tak mau mengakui mereka mundur karena tekanan pencinta lingkungan sedunia. Indro yakin, tekanan dari organisasi pencinta lingkungan tak bisa diabaikan begitu saja oleh Scott Company. Kendati tak kuasa menyetop investasi dan produksi, kelompok pencinta alam itu berpengaruh kuat di kalangan konsumen. Maka, perusahaan multinasional seperti Scott Company memilih mengalah. Sebab, pertikaian dengan kaum environmentlist itu salah-salah bisa merugikan nama baik produknya, yang antara lain Scotties Facial Tissue, Cashmere Bathroom Tissue, dan Viva Towel Paper. "Mereka khawatir konsumen memboikot produknya," kata Daniel, rekan Indro di Skephi. Memang, puluhan organisasi pelestarian lingkungan secara keroyokan bergerak, membentuk opini publik, untuk memojokkan perusahaan kertas tisu itu. Dan Scott memang sasaran empuk untuk digoyang, lantaran dia memang punya sejumlah "dosa" pencemaran. Salah satu "dosa" Scott ialah kasus pencemaran di pelabuhan Pitcou, Nova Scotia, Kanada, tahun lalu. Pada kasus itu, Scott Maritimes Ltd., salah satu dari 22 pabrik pulp berbendera Scott Paper Company, divonis bersalah oleh pemerintah setempat karena membuang limbah pencemar, dan didenda 10.000 dolar Kanada. Tekanan terhadap proyek pulp di Merauke itu tak bisa dipandang enteng. Kampanye antieksploitasi hutan lembah Sungai Digul itu, dalam klaim Skephi, ternyata memancing datangnya 6.000-an pucuk surat protes kepada Scott Company. Para pemrotes secara serentak mendesak agar Scott mundur dari kawasan Merauke. Puncak dari segala protes itu adalah dimuatnya sebuah iklan berukuran lebih dari setengah halaman, di harian besar The New York Tmes 8 Agustus lalu, yang dikirim oleh Rainforest Action Network, lembaga swadaya masyarakat penyayang lingkungan dari San Francisco. Di situ dipajang foto 8 orang yang dianggap punya peran besar dalam eksploitasi hutan tropis. Di antara mereka terdapat wajah Presiden AS George Bush Barber Conable, Presiden Bank Dunia dan Philip Lippincott, Dirut Scott Paper Company. Di bawah deretan foto itu tertulis dengan huruf besar sebuah kalimat: "Inilah delapan pria yang menentukan nasib anak-cucu kita." Rencana pembabatan hutan Digul disinggung pula di situ. Pada 18 Agustus lalu muncul iklan dari Apkindo (Asosiasi Panel Kayu Indonesia) di media yang sama. Di situ disebutkan penebangan hutan di Indonesia dilakukan tanpa mengabaikan kelestariannya. Namun, kelompok pembela lingkungan terus menentang rencana ASC yang hendak membabat hutan Digul, lalu menyulapnya menjadi hutan monokultur, yang melulu berisi pohon eucalyptus. Apalagi terdengar kabar bahwa eucalyptus yang akan ditanam harus diekspor dari Brasil dan Australia. Perubahan hutan perawan yang heterogen menjadi hutan budidaya yang monokultur (tanaman tunggal) itulah yang antara lain menjadi keberatan Skephi. Keragaman jenis pepohonan di lembah Digul, kawasan peralihan hutan Asia-Australia, menurut Skephi, harus tetap dipertahankan. Sebab, "Hutan di situ adalah warisan dunia," ujar Indro Tjahyono. Lebih jauh, Indro khawatir bahwa kawasan monokultur itu bakal mengubah keseimbangan tata air. Sebab, eucalyptus termasuk jenis pohon yang boros air. Sebatang eucalyptus tua, yang tingginya 40 m misalnya, sehari memerlukan 720 liter air, yang sebagian besar hanya untuk diuapkan. Jika hutan eucalyptus itu diadakan, akan lebih banyak lagi air yang tersedot, yang berakibat menambah kelengasan udara dunia. Apalagi pabrik pulp memang termasuk jenis industri yang butuh air dalam jumlah besar. Untuk setiap ton pulp yang dihasilkan, dibutuhkan air bersih 110-600 m3. Dan begitu keluar dari pabrik, air itu mengangkut bermacam-macam jenis limbah, mulai dari serat kayu, bahan pewarna, sodium, dan lumpur. Jika tak diolah secara benar, "limbah pulp bisa menyebabkan pencemaran berat," ujar Ir. Soeparwadi, Dosen Teknik Kimia ITB. Nilai BOD (biological oxygen deman) air limbah pulp bisa mencapai 30.000 ppm, yang berarti air limbah itu sangat kekurangan oksigen. Sementara itu, kandungan sodiumnya bisa mencapai 230-1.400 ppm. Tapi Markus Colchester, pimpinan Survival International, lembaga pembela hak asasi manusia yang mangkal di London, lebih tertarik menyoroti dampak pabrik pulp itu bagi suku-suku Auwyu, Marind, dan Mandobo, yang mendiami lembah Digul. Populasi mereka, dalam catatan Colchester, sekitar 15.000 orang. "Kami khawatir, proyek itu tak memberikan manfaat bagi mereka," ujar Colchester kepada TEMPO, lewat telepon internasional. Colchester waswas, kesempatan kerja di proyek itu justru akan disambar oleh tenaga yang datang dari pulau lain. Berbekal kecurigaan itu, Survival International mengirimkan surat protes kepada Scott Company. Mereka juga minta dukungan protes dari puluhan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tersebar di 63 negara. Alhasil, terbitlah iklan layanan di The New York Times itu. Tudingan Colchester itu ditolak oleh Edwin Soeryajaya, putra mahkota Grup Astra. Dari 120 ribu tenaga kerja yang akan terlibat dalam proyek itu, "sembilan puluh persen di antaranya akan diisi oleh putra asli Irian Jaya," ujarnya. Edwin juga membantah merencanakan membabat 800 ribu ha seperti yang dituduhkan Skephi. "Hanya sekitar 220 ribu hektar," tambah Edwin. Tapi, menurut Edwin, industri pulp itu memerlukan hutan tambahan seluas 330 ribu ha, sebagai daerah penyangga. "Dan jangan ada HPH masuk ke situ," kata Edwin. Sebab, pada daerah penyangga itu, Astra berniat mempertahankan keragaman vegetasi yang ada. Soal rencana impor bibit eucalyptus dari Brasil atau Australia itu pun ditampik oleh Edwin. "Semuanya sedang dicoba, dan kami akan memilih yang paling cepat tumbuhnya," tambahnya. Tentang mundurnya Scott Paper Company? "Akan tebih baik kalau kami ketemu dengan pihak yang canggih dalam bidangnya," kata Edwin. Astra tetap berniat melanjutkan proyek itu. Yang kecewa dengan mundurnya Scott Company itu adalah Gubernur Irian Jaya Bas Suebu. "Kami butuh investasi untuk pertumbuhan perekonomian Ir-Ja," ujarnya. Dia pun menyesalkan tekanan dari berbagai LSM itu. "Sebagai putra daerah, saya lebih tahu apa yang dibutuhkan rakyat Ir-Ja," tuturnya. Sementara ini, ASC baru menanamkan modal awalnya senilai US$ 1 juta, dan studi Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) sedang dijalankan. Pada prinsipnya, Menteri Negara KLH Emil Salim setuju, sejauh industri itu tak membuat problem pencemaran. Tapi, "Saya tak bisa mengatakan pabrik itu mencemari atau tidak, tergantung nanti hasil studi Amdalnya," ujar Emil. Putut Tri Husodo, Laila Chudori, G. Sugrahetty Dyan, dan Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini