Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THAMRIN City bak mati suri pada Kamis, 19 Maret lalu. Pembeli yang biasanya memenuhi pusat belanja grosir di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu kini menghilang. Lapak penjualan kain dan pakaian yang tersebar di empat lantai area niaga hanya diisi pemilik dan penjaga toko. Rona wajah mereka yang nanar senada mendadak sontak berubah menjadi ceria setiap kali ada pengunjung, yang hanya segelintir. “Sampai sekarang belum ada penglaris,” kata seorang pedagang di lantai 1.
Siang selepas zuhur itu, langit yang pucat di Ibu Kota seolah-olah mengular ke dalam kompleks pertokoan. Seperti tengah berkabung, pemilik dan penjaga toko sulit diajak berbicara. Kalaupun mau, mereka enggan disebutkan identitasnya. Pemilik dagangan tadi, perempuan berkerudung berusia 40-an tahun, mengatakan sepinya Thamrin City terasa sejak Ahad, 15 Maret lalu, setelah pemerintah mengimbau masyarakat agar membatasi interaksi untuk mencegah penyebaran virus corona.
Tak jauh dari sana, lapak milik Ivan—pedagang yang hanya mau disebutkan nama panggilannya—juga hanya dipenuhi karung dagangan. Sepekan terakhir, tiga unit toko kain dan pakaian batik yang dibuka sejak 2015 itu sama sekali tak menghasilkan rupiah dari omzet normal Rp 10 juta per hari. Tanpa pemasukan di Jakarta, pria 36 tahun itu menyatakan baru saja menghentikan sementara 30 pekerjanya di kampung halamannya di Cirebon, Jawa Barat. “Enggak ada ongkosnya buat setor ke giro,” ucap Ivan. “Kayaknya harus cari tambahan modal ke bank.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kredit dan Dana Pihak Ketiga Bank Umum Konvensional
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang tidak diketahui Ivan, niatnya itu mungkin akan menemui jalan terjal. Sejumlah bank menempatkan sektor perdagangan, termasuk di kelas usaha mikro, kecil, dan menengah, ke daftar kelompok bisnis paling rentan pada masa pandemi Covid-19. Di hulu pendanaan, perbankan memang tengah bersiap mengantisipasi memburuknya kualitas kredit yang bisa mengganggu likuiditas hingga laba mereka tahun ini.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, misalnya. Bank milik negara dengan aset terbesar di Tanah Air ini telah melakukan serangkaian uji tekanan (stress test) atas potensi memburuknya wabah Covid-19. Simulasi ini memperhitungkan dampak pagebluk pada sejumlah sektor ekonomi, seperti pariwisata dan perdagangan. “Kami memasukkan beberapa sektor yang terkena dampak ke watch list sehingga dampaknya dapat minimal,” tutur Corporate Secretary BRI Amam Sukriyanto.
Di tengah masa pandemi, sejumlah sektor, seperti perdagangan, transportasi, dan jasa pariwisata—termasuk perhotelan—dinilai berpotensi menyumbang kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan). Industri manufaktur juga masuk kelompok ini lantaran berkaitan erat dengan kebutuhan impor bahan baku. Menurut Amam, permasalahan saat ini tidak hanya terjadi di sisi permintaan, tapi juga pada rantai pasok dunia.
Rasio Kredit Bermasalah
Dua bank jumbo di bawah BRI, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Central Asia Tbk, melakukan simulasi serupa. Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menuturkan, pengujian atas bahaya Covid-19 digelar sejak Februari lalu. Sejumlah protokol penanganan krisis dan proses keberlanjutan usaha telah diterapkan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya lockdown yang bisa mengganggu operasi layanan.
Menurut Executive Vice President of Secretariat and Corporate Communication Division BCA Hera F. Haryn, sistem peringatan dini diperlukan untuk mewaspadai risiko turunnya kualitas aset dan kemampuan bayar debitor. Secara umum, dia menerangkan, hasil stress test menunjukkan BCA cukup memadai untuk mengantisipasi risiko tersebut. “Belum ada yang menyampaikan kesulitan pembayaran spesifik karena Covid-19," ujarnya.
Hera mengungkapkan, saldo cadangan kerugian penurunan nilai kredit BCA hingga akhir 2019 mencapai Rp 15 triliun atau berkisar 190 persen dari total kredit bermasalah—level yang dianggap sangat memadai. Walau begitu, dampak pandemi corona bagi perbankan akan sangat bergantung pada berapa lama wabah ini berlangsung. Makin pendek waktunya, makin rendah risiko yang harus ditangani. “Kami akan konsisten memonitor dampaknya secara rutin,” kata Hera.
Rasio Kredit Bermasalah Berdasarkan Sektor Usaha 2019
Potensi bahaya Covid-19 terhadap kinerja perbankan juga tengah dipantau ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menuturkan, meningkatnya risiko kredit bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan. Itu sebabnya beragam stimulus kebijakan digulirkan mulai Kamis, 19 Maret lalu, hingga akhir Maret 2021.
Penilaian kualitas kredit atau pembiayaan dana lain sampai Rp 10 miliar, misalnya, kini dilonggarkan hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga. Selain itu, bank dapat merestrukturisasi kredit menjadi lancar tanpa batas plafon pinjaman. Pelonggaran aturan ini, Wimboh menjelaskan, berlaku untuk debitor UMKM dan non-UMKM. “Mekanisme penerapan diserahkan sepenuhnya ke kebijakan masing-masing bank dan disesuaikan dengan kapasitas bayar debitor,” ucapya. Wimboh berharap perbankan proaktif mengidentifikasi para debitor yang terkena dampak persebaran Covid-19.
AISHA SHAIDRA, KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo