Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bala Bantuan dari Markas Besar

Polisi berpangkat brigadir jenderal memimpin tim pengacara terdakwa penyerang Novel Baswedan. Dikhawatirkan tak membuka fakta-fakta baru di persidangan.

21 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tersangka kasus penyiraman penyidik senior KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis/TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengadilan Negeri Jakarta Utara menggelar sidang perdana penganiaya Novel Baswedan.

  • Ronny dan Rahmat didampingi sembilan pengacara dari Mabes Polri.

  • Pengacara Novel Baswedan menyangsikan isi terdakwa.

GEDUNG Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, terlihat lebih ramai pada Kamis, 19 Maret lalu. Puluhan polisi berseragam hitam dengan label Brigade Mobil bersiaga di depan pintu masuk pengadilan. Ada pula puluhan pria dengan raut Indonesia timur berkerumun di samping gedung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu, Pengadilan Negeri Jakarta Utara menggelar sidang perdana penganiayaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Dua personel Brimob, Brigadir Ronny Bugis dan Brigadir Rahmat Kadir Mahulette, menjadi terdakwanya. Sebelum ditangkap, keduanya bertugas di Markas Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski surat dakwaan Ronny dan Rahmat dibuat secara terpisah, keduanya didakwa dengan pasal yang sama. Jaksa mendakwa Ronny dengan Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan berat dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara. Jaksa juga menyertakan Pasal 353 dan 351 KUHP tentang penganiayaan dengan ancaman masing-masing maksimal lima dan dua tahun penjara.

Ronny dan Rahmat terlihat tekun mendengarkan pembacaan dakwaan. Keduanya mengenakan kemeja berlengan panjang warna putih di persidangan itu. Ada sembilan pengacara dari Markas Besar Kepolisian RI yang mendampingi mereka. Tanpa atribut kepolisian, mereka mengenakan toga hitam dalam persidangan.

Brigadir Jenderal Edy Purwatno dari Divisi Hukum Mabes Polri memimpin tim pengacara Ronny dan Rahmat. Edy mengatakan tak akan berusaha mematahkan dakwaan jaksa. Ia beralasan kedua terdakwa sudah mengakui perbuatannya. “Kami tidak mengajukan eksepsi,” ucap Edy seusai persidangan.

Meski tak menyiapkan pembelaan, tim pengacara tetap berupaya meringankan hukuman Ronny dan Rahmat. Edy menganggap mereka sudah mengakui kesalahannya. Tim pengacara, kata dia, sudah menyiapkan strategi dalam proses pembuktian di sidang berikutnya. “Sudah ada beberapa. Lihat saja nanti,” ujarnya.

Reserse Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dan Mabes Polri menangkap Ronny dan Rahmat pada akhir Desember tahun lalu. Sebelumnya, dua tim gabungan pencari fakta Mabes Polri tak menemukan penganiaya Novel Baswedan selama hampir tiga tahun. “Yang mengungkap kasus ini justru pengakuan terdakwa Ronny yang melapor karena dihantui perasaan bersalah,” kata jaksa penuntut, Ahmad Patoni.

Ronny dan Rahmat mendapat bantuan pengacara dari Divisi Hukum Mabes Polri sejak menjalani pemeriksaan. Brigadir Jenderal Edy merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum oleh Polri soal alasan memberi pendampingan itu. “Layanan hukum ini berlaku sama bagi semua anggota Polri tanpa memandang jabatan atau jenis perkara,” ucapnya.

Salah seorang anggota tim pengacara Novel, Alghiffari Aqsa, menilai peran Divisi Hukum Mabes Polri dalam persidangan bakal menutup fakta-fakta baru yang dianggap penting. Ia juga menyoroti peran Kepala Divisi Hukum Polri Inspektur Jenderal Rudy Heriyanto Adi Nugroho. Rudy menjabat Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya yang menangani kasus ini ketika pertama kali mencuat. “Ada sejumlah kejanggalan yang sudah muncul saat beliau memimpin proses penyelidikan kasus ini,” kata Alghiffari.

Ia menganggap penyelidik gagal mengamankan petunjuk penting penyiraman air keras ke wajah Novel. Salah satu petunjuk adalah sidik jari yang menempel pada gagang cangkir yang dipakai menyiram air keras, yang disebut sebagai asam sulfat oleh polisi. Polisi mengaku tak bisa mendeteksi jejak sidik jari tersebut lantaran terhapus cairan air keras.

Penjelasan polisi berbeda dengan keterangan seorang saksi. Alghiffari menyebutkan tak seluruh badan cangkir saat itu tertutup cairan asam sulfat. “Saat penyitaan, polisi tidak menaburkan serbuk hitam pendeteksi sidik jari. Tapi langsung dimasukkan ke dalam plastik,” ujarnya.

Penyerangan terhadap Novel berlangsung pada Selasa subuh, 11 April 2017. Novel sedang berjalan pulang menuju rumahnya setelah mendirikan salat subuh di Masjid Al-Ihsan, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Akibat penyerangan tersebut, mata kiri Novel tak berfungsi lagi.

Jaksa Ahmad Patoni menjelaskan, Rahmat Kadir Mahulette menyiapkan rencana penyerangan tiga hari sebelumnya. Rahmat diketahui pernah meminjam sepeda motor Ronny untuk menyurvei situasi di sekitar rumah Novel pada 8 dan 9 April.

Setelah memetakan lingkungan, Rahmat menyambangi pul kendaraan tim Gegana, Brimob, di Kelapa Dua, Depok. Ia menemukan cairan asam sulfat dalam botol plastik berwarna merah. Rahmat menyimpan air keras itu ke cangkir kaleng bermotif lurik hijau, lalu dibungkus kantong plastik. “Yang punya peran dominan dalam perkara ini adalah Rahmat,” tutur Patoni.

Rahmat Kadir Mahulette saat menjalani sidang perdana kasus penyiraman di PN Jakarta Utara, Jakarta, Kamis, 19 Maret 2020./TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Surat dakwaan menyebutkan Rahmat meminta Ronny mengantarkannya ke Kelapa Gading. Keduanya sempat menunggu berjam-jam sebelum beraksi. Menurut Patoni, Rahmat tak menjelaskan rencana penyerangan itu kepada Ronny. Ronny baru mengetahui rencana itu ketika kendaraan mereka mendekati Novel. “Rahmat yang membonceng motor, lalu menyiram air keras ke arah Novel,” katanya.

Patoni mengatakan Rahmat menganggap Novel telah mengkhianati Polri. Sebelum beralih status menjadi pegawai KPK, Novel adalah polisi berpangkat komisaris. Kepada jaksa, misalnya, Rahmat menyoroti peran Novel dalam kasus korupsi yang menjerat bekas Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo.

Alghiffari Aqsa sangsi terhadap alibi Rahmat. Ia menganggap tak masuk akal mengaitkan penyerangan terhadap Novel dengan kasus Djoko Susilo. Penyidikan kasus Djoko berlangsung pada 2012 atau lima tahun sebelum penyerangan. Itu sebabnya, ia menduga Rahmat tak sendirian. ”Polisi belum mengejar otak penyerangan,” ujarnya.

Kepala Divisi Hukum Inspektur Jenderal Rudy Heriyanto Adi Nugroho tak merespons panggilan telepon dan pesan pendek permintaan wawancara Tempo. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Raden Argo Prabowo Yuwono enggan menanggapi persidangan Ronny dan Rahmat. “Silakan dipertanyakan di sidang pengadilan,” katanya pada Sabtu, 21 Maret lalu.

Ronny dan Rahmat tak meladeni pertanyaan Tempo saat menuju ruang persidangan. Keduanya memilih bungkam di tengah pengawalan ketat polisi. Keduanya juga mengunci mulut saat menuju mobil tahanan yang akan membawa mereka ke rumah tahanan Markas Brimob di Kelapa Dua.

RIKY FERDIANTO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus